Tautan-tautan Akses

Kemarahan atas Pembantaian 1976 Dorong Gerakan Pro-demokrasi Thailand


Aktivis pro-demokrasi melakukan aksi protes di Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (foto: dok).
Aktivis pro-demokrasi melakukan aksi protes di Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (foto: dok).

Pojanee Theil mengunjungi kembali Universitas Thammasat, 44 tahun setelah insiden pembantaian di sana. Ia menggambarkan Thailand sebagai negara yang terjebak dalam lingkaran.

Kampus radikal yang terletak hanya beberapa ratus meter dari istana kerajaan itu kembali menjadi pusat demonstrasi pro-demokrasi yang menyerukan reformasi besar-besaran dalam masyarakat dan politik Thailand.

Tetapi seperti pada masa lalu, militer menolak untuk melepaskan kekuasaan, dan ancaman pengikut setia kerajaan itu bisa dirasakan.

"Bagaimana mereka bisa melakukan ini pada manusia lain?," keluh Pojanee, 64 tahun, seorang saksi mata peristiwa 6 Oktober 1976, di mana gerombolan pengikut setia kerajaan dan pasukan keamanan membunuh sejumlah mahasiswa yang memprotes kembalinya seorang jenderal yang dibenci ke Thailand.

"Saya kembali ke masa ketika masih kecil dan negara ini belum beranjak dewasa sejak saat itu," tambahnya.

Pada tahun 1976, pengunjuk rasa sayap kiri menyerukan konstitusi baru dan penggulingan Jendral Thanom Kittikachorn, seorang anti-komunis ganas yang kembali dari pengasingan.

Kali ini, mahasiswa di Thammasat meningkatkan kewaspadaannya.

Mereka menginginkan perubahan pemerintahan, konstitusi baru, dan reformasi monarki yang belum pernah terjadi sebelumnya - institusi yang tetap tidak bisa dikritik publik, meskipun Thailand mengalami kekacauan politik selama beberapa dekade.

Kemarahan dan kesedihan dirasakan lintas generasi pada peringatan hari Selasa, yang menandai salah satu hari tergelap dalam perjuangan demokrasi berdarah di Thailand.

Di antara mereka yang hadir dalam pertemuan sehari dan peringatan dengan menyalakan lilin itu termasuk anak muda yang mempelajari sendiri tindakan keras berdarah, meskipun penindasan itu ditutup-tutupi dari buku pelajaran sekolah mereka.

“Pembantaian seharusnya tidak pernah terjadi. Itu salah, ”kata Punnapa, siswa sekolah menengah berusia 15 tahun yang nama lengkapnya dirahasiakan karena usianya. Ia bertekad untuk mengambil jurusan hukum di Thammasat kelak.

“Hanya hukum yang bisa membawa perubahan dan keadilan,” katanya. [my/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG