Tautan-tautan Akses

LSM: Parlemen dan Pemerintah Tak Lindungi Tambang Atas Nama Rakyat


Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Andrie S Wijaya, memberi penjelasan usai diskusi bertema “Outlook 2012 Pertambangan Indonesia.”
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Andrie S Wijaya, memberi penjelasan usai diskusi bertema “Outlook 2012 Pertambangan Indonesia.”

LSM Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai buruknya sikap pemerintah tercermin dari ketiadaan antisipasi atas kasus-kasus pertambangan yang mengorbankan rakyat; apakah dalam bentuk sengketa lahan maupun korban jiwa.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Andrie S Wijaya, mengatakan, situasi makin buruk ketika tidak satu pihak berwenang pun di Indonesia yang perduli pada situasi tersebut. Hal ini ia sampaikan usai diskusi bertema “Outlook 2012 Pertambangan Indonesia ”, di Jakarta, Jumat.

“Sebenarnya konflik itu muncul ketika wilayah mereka sudah dirampas oleh izin pertambangan. Jadi kalau tiba-tiba mereka tahu kalau wilayah tani atau wilayah nelayan itu sudah di-kapling baru muncul penolakan dari mereka. Sebelumnya mereka tidak tahu kalau pemangku daerah atau bupati disitu sudah memberikan izin kepada perusahaan. Jadi ada hak asasi yang dilanggar, hak informasi. Dan kalau mereka memilih jadi petani bukan berarti mereka tidak makmur. (Seharusnya) setelah izin diatur secara tepat, kemudian tidak lagi mengulangi memberikan izin (pertambangan) tanpa sepengetahuan masyarakat sekitar,” ungkap Andrie S Wijaya.

Andrie menambahkan, ketidakjelasan sikap pemerintah setempat di masa otonomi daerah, semakin parah dengan tindakan keras aparat kepolisian, yang mayoritas menjadi petugas keamanan perusahaan. Kasus terakhir dapat dilihat pada tragedi penembakan di Bima, Nusa Tenggara Barat.

Menurut Andrie selanjutnya, “Kalau dari berbagai kasus, keterlibatan polisi ini kan karena mereka mendapatkan bayaran (dari perusahaan), lalu ada arogansi karena mereka aparat keamanan yang punya senjata kemudian diekspresikan secara berlebihan di lapangan. Pemahaman mereka soal isu HAM juga rendah. Secara internal reformasi kepolisian harus meningkatkan kapasitas dan pemahaman mereka soal HAM.”

Sementara, Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia mengatakan para pimpinan partai politik tidak bisa diharapkan untuk bertindak tegas karena sebagian besar politisi adalah pengusaha tambang.

Chalid Muhammad dari LSM 'Institut Hijau Indonesia'.
Chalid Muhammad dari LSM 'Institut Hijau Indonesia'.

“Apakah karena pimpinan-pimpinan parpol adalah pelaku bisnis atau penyumbang-penyumbang parpol itu adalah pelaku-pelaku bisnis?, sehingga sulit bagi para pemimpin parpol untuk bertindak tegas berada pada posisi rakyat,” ujar Chalid Muhammad mempertanyakan.

Mantan Direktur Eksekutif WALHI ini juga menyatakan bahwa pengadilan adalah rumah aman bagi penjahat lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia, akibat adanya mafia peradilan.

“Dengan mengeluarkan uang Rp 2-4 Milyar mereka akan bebas dari tuntutan pelaku kejahatan perusahaan. Seluruh gugatan yang dilakukan masyarakat sipil terhadap industri-industri pertambangan berhasil dengan kekalahan mutlak. Mafia peradilan dapat dimanfaatkan sebagai benteng terakhir,” ujar Chalid Muhammad.

Sementara itu, Deputi III Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, DR. Masnellyarti Hilman, menjelaskan pemerintah tidak sembarangan memberikan perpanjangan izin bagi perusahaan tambang yang ketahuan mencemari lingkungan dan merugikan masyarakat. Misalnya pada kasus limbah PT Newmont di Nusa Tenggara Barat.

“Di dalam syarat-syarat izin ini ada administrasi dan teknis. Dalam hal ini KLH mengajak pemerintah daerah dan pakar untuk membantu kita mengevaluasi pihak yang mengajukan izin. Lalu ada tim independen yang ditetapkan oleh Gubernur dan merekapun kita minta masukannya,” jelas Masnellyarti Hilman.

Kementerian Lingkungan Hidup menegaskan perusahaan tambang bermasalah akan dikaji lebih ketat lagi perpanjangan izinnya.

XS
SM
MD
LG