Tautan-tautan Akses

Lansia dan Kalangan Konservatif Paling Sering Berbagi Kabar Palsu


ARSIP – Foto arsip tanggal 16 Juli 2013 menunjukkan sebuah tanda di kantor pusat Facebook di Menlo Park, California (foto: AP Photo/Ben Margot, Arsip)
ARSIP – Foto arsip tanggal 16 Juli 2013 menunjukkan sebuah tanda di kantor pusat Facebook di Menlo Park, California (foto: AP Photo/Ben Margot, Arsip)

Mereka yang menyebarkan kabar bohong yang disajikan seolah-olah sebagai berita di Facebook sebagian besar adalah mereka yang berusia lebih dari 65 tahun dan mereka yang berpandangan ultrakonservatif dibandingkan orang dewasa yang berusia kurang dari kelompok usia itu, mereka yang bersikap moderat, atau berpandangan super liberal dalam masa pilpres di AS tahun 2016, sebagaimana ditemukan oleh sebuah studi baru-baru ini.

Studi utama yang pertama kali yang mengkaji siapa saja yang membagikan tautan dari situs-situs yang berhasil terungkap menemukan tidak banyak orang yang melakukannya. Rata-rata hanya 8,5 persen dari mereka yang menjadi obyek studi – sekitar 1 dari 12 orang – yang menyebarkan informasi palsu selama kampanye pilpres AS tahun 2016, menurut sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Science Advances hari Rabu. Namun mereka yang menyebarkan kabar bohong cenderung dari kelompok berusia tua dan berpandangan konservatif.

“Untuk suatu berita menjadi viral, anda harus tahu siapa yang menyebarkannya,” ujar salah satu penulis dari studi itu, Jonathan Nagler, seorang profesor bidang politik dan salah satu direktur di Social Media and Political Participation Lab di New York University. “Wow, ternyata mereka yang berusia lebih tua memiliki kecendrungan lebih besar dibanding mereka yang berusia muda untuk melakukannya.”

Perlawanan balik

Facebook dan perusahaan media sosial lainnya terbukti lengah saat agen-agen Rusia di tahun 2016 mengeksploitasi platform mereka untuk campur tangan dalam pemilihan presiden AS dengan menyebarkan berita-berita palsu, dengan bertindak seolah-seolah sebagai warga Amerika yang memasang iklan tertarget untuk mencoba mempengaruhi suara pemilih. Sejak itu, perusahaan-perusahaan telah menggelontorkan dana jutaan dolar dan mengerahkan ribuan orang untuk menanggulangi penyebaran berita palsu.

Para peneliti di Princeton University dan NYU di tahun 2016 mewawancarai 2.711 orang yang menggunakan Facebook. Dari populasi tersebut, hampir separuhnya sepakat untuk berbagi semua postingan mereka dengan para profesor di kedua universitas itu.

Para peneliti menggunakan tiga daftar brbeda dari situs berita palsu – satu dikompilasi oleh BuzzFeed dan dua yang lainnya oleh tim riset akademis – dan menghitung seberapa sering orang berbagi dari situs-situs itu. Kemudian untuk memeriksanya dengan seksama, mereka mengkaji 897 artikel spesifik yang terbukti palsu oleh para pemeriksa fakta dan melihat seberapa sering artikel tersebut disebarkan.

Semua daftar itu menunjukkan tren serupa.

Saat faktor-faktor demografis lain dan kecendrungan memposting secara keseluruhan dimasukkan sebagai bahan pertimbangan, rata-rata orang yang berusia lebih dari 65 tahun menyebarkan berita palsu tujuh kali lebih sering dibandingkan mereka yang berada pada kelompok usia 18 hingga 29 tahun. Mereka yang berusia lanjut menyebarkan dua kali lebih banyak berita palsu dibandingkan mereka yang berada pada kelompok usia 45 hingga 64 tahun dan tiga kali lebih sering dibandingkan mereka yang berusia antara 30 hingga 44 tahun, ujar peneliti utama, Andrew Guess, seorang profesor politik di Princeton.

Teori paling sederahana mengapa mereka yang berusia lebih lanjut berbagi lebih banyak berita palsu adalah minimnya “literasi digital” di antara mereka, ujuar salah satu pengarang studi itu, Joshua Tucker, yang juga adalah salah satu direktur pada NYU Social Media Political Lab. Mereka yang berusia lanjut kemungkinan tidak dapat membedakan kabar yang benar dari kabar bohong di jejaring sosial semudah mereka yang berusia di bawahnya, ujar para peneliti.

Menunjukkan identitas

Profesor kebijakan publik dan komunikasi di Harvard, Matthew Baum, yang tidak ikut serta dalam studi itu namun memujinya, mengatakan menurutnya menyebarkan kabar bohong “bukan karena percaya akan kebenaran berita namun menunjukkan identitas partisan seseorang.”

Saat kelompok demografi lain dan praktik-praktik dalam mengunggah artikel jadi bahan pertimbangan, mereka yang menyebut dirinya berpandangan sangat konservatif menjadi kalangan yang paling banyak menyebarkan kabar bohong, seditikit lebih banyak dibandingkan mereka yang mengatakan berpandangan konservatif. Mereka yang berpandangan sangat konservatif menyebarkan kabar bohong 6,8 kali lebih sering dibandingkan mereka yang berpandangan sangat liberal dan 6,7 kali lebih sering dibandingkan mereka yang berpandangan moderat. Mereka yang menyebut dirinya berpandangan liberal pada hakikatnya sama sekali tidak menyebarkan kabar bohong, ujar Guess.

Nagler mengatakan ia tidak terkejut mereka yang berpandangan konservatif pada tahun 2016 menyebarkan lebih banyak kabar bohong, namun ia dan para koleganya mengatakan ia tidak selalu menganggap mereka yang berpandangan konservatif pada dasarnya bersifat naif terkait kabar-kabar palsu. Kondisi ini mungkin sekedar mencerminkan lebih banyak kabar bohong yang memiliki tendesi pro-Donald Trump dan anti-Hillary Clinton di tahun 2016 sehingga jumlah kabar palsu yang beredar lebih banyak, ujar mereka.

Meskipun demikian, Baum menyatakan dalam sebuah email bahwa mereka yang berpandangan konservatif membagikan lebih banyak kabar bohong karena mereka cenderung bersikap lebih ekstrim, dengan hanya sedikit perbedaan ideologi dibandingkan rekan mereka yang berpandangan liberal dan mereka mendapat ide dari Trump, yang “mengadvokasi, mendukung, membagi, dan memproduksi kabar bohong/misinformasi secara reguler.”

Para peneliti mengkaji berbagai perbedaan dari segi gender, ras, dan pendapatan namun tidak menemukan perbedaan yang secara statistik bersifat signifikan dalam peredaran kabar bohong.

Berbagai perbaikan

Setelah mendapat banyak kritikan, Facebook membuat berbagai perubahan untuk melawan peredaran informasi palsu, termasuk tidak memprioritaskan kemunculan kabar-kabar yang terbukti bohong di linimasa penggunanya jadi kemungkinan orang lain untuk membacanya lebih kecil. Tampaknya upaya ini berhasil, ujar Guess. Para pejabat di Facebook tidak bersedia berlomentar.

“Saya rasa kalau kami ulang studi ini lagi, mungkin hasilnya tidak akan sama,” ujar Guess.

Deb Roy, dari the Massachusetts Institute of Technology dan mantan kepala ilmuwan media di Twitter, mengatakan bahwa masalah dengan pola konsumsi berita orang Amerika “penuh dengan naratif yang bersifat permusuhan” dengan orang yang mencari berita yang mereka sependapat dengan isinya sebagai kabar asli dan kabar yang mereka tidak setuju sebagai kabar bohong.

“Kacau sekali,” ujar Roy. [ww]

XS
SM
MD
LG