Tautan-tautan Akses

Lagi, Presiden Jokowi Tidak Hadiri Langsung Sidang Umum PBB


Sidang Umum PBB akan digelar secara tatap muka untuk kali pertama sejak dua tahun lalu. Presiden Joko Widodo tidak akan hadir dalam sidang ke 77 tersebut. (Foto: AP)
Sidang Umum PBB akan digelar secara tatap muka untuk kali pertama sejak dua tahun lalu. Presiden Joko Widodo tidak akan hadir dalam sidang ke 77 tersebut. (Foto: AP)

Sidang Umum PBB akan digelar secara tatap muka untuk kali pertama sejak dua tahun lalu. Presiden Joko Widodo tidak akan hadir dalam sidang ke-77 tersebut.

Indonesia akan mengikuti Sidang Majelis Umum PBB yang berlangsung mulai 13 September di New York, Amerika Serikat. Menteri Retno Marsudi akan memimpin delegasi Indonesia menggantikan Presiden Joko Widodo.

Ini bukan kali pertama Jokowi tidak menghadiri sidang umum yang berlangsung secara tatap muka. Menurut catatan VOA, sejak awal pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla pada tahun 2014, Jokowi tidak pernah menghadiri langsung sidang umum PBB. Jokowi selalu diwakili oleh Jusuf Kalla selaku wakil presiden ketika itu mulai dari 2015, 2016, 2017, 2018 dan yang terakhir 2019. Jokowi hanya hadir ketika sidang itu dilangsungkan secara virtual dalam dua tahun terakhir.

Presiden Jokowi. (Foto: Biro Setpres)
Presiden Jokowi. (Foto: Biro Setpres)

Direktur Jenderal Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri Tri Tharyat, dalam jumpa pers, Senin (12/9) mengatakan rencananya, Menlu Retno akan menyampaikan pidato secara langsung di Sidang Umum PBB mewakili Indonesia. Presiden Jokowi tidak dapat menyampaikan pidato itu secara virtual karena ketentuan PBB yang mengharuskan pemberi pidato hadir secara langsung. Tri Tharyat tidak menjelaskan alasan ketidakhadiran Presiden Jokowi dalam sidang umum PBB kali ini.

Dirjen Kerjasama Multilateral Kemlu RI Tri Tharyat memaparkan “Indonesian Paper” yang mendorong pemusnahan senjata nuklir dalam forum PBB di New York, AS, Selasa (2/8). (courtesy: Kemlu RI)
Dirjen Kerjasama Multilateral Kemlu RI Tri Tharyat memaparkan “Indonesian Paper” yang mendorong pemusnahan senjata nuklir dalam forum PBB di New York, AS, Selasa (2/8). (courtesy: Kemlu RI)

Menurut Tri Tharyat, Indonesia ingin mendorong kembali peran penting PBB dalam penanganan tantangan-tantangan global seperti pandemi, pemulihan ekonomi dan perubahan iklim.

Indonesia tambahnya, juga ingin mendorong penguatan arsitektur kesehatan global dan multilateralisme.

“Kita selalu konsisten tegaskan multilateralisme. Kenapa? seperti saya singgung di awal tadi, kecenderungannya sekarang ini pendekatan unilateral dengan pendekatan take it or leave it dan tidak ada spirit inklusivitas di dalam proses multilateral,”ujar Tri.

Ketika ditanya kemungkinan persoalan Papua akan diangkat pada Sidang Majelis Umum PBB, Tri menyatakan sudah banyak sekali kemajuan yang terjadi di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Pemerintah juga mengupayakan agar isu-isu terkait dugaan pelanggaran HAM di Papua tidak diangkat oleh negara-negara yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat Papua.

“Yang jelas semua negara mendukung NKRI, integritas wilayah, dan kedaulatan Indonesia di seluruh wilayah Indonesia. Bahwa tidak ada internasionalisasi isu Papua. Bahwa semua negara boleh ngomong apa saja di forum PBB karena tidak ada larangan," kata Tri.

Pengamat Hubungan Internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (Brin) Nanto Sriyanto menyayangkan ketidakhadiran Presiden Jokowi dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa.

Dia menilai agenda yang akan dibawa Indonesia ke Sidang Majelis Umum PBB sangat strategis. Secara teknis, tambahnya, memang bisa disampaikan oleh menteri luar negeri namun secara bobot akan lebih berarti bila disampaikan oleh presiden.

Sidang Majelis Umum PBB ini, kata Nanto, sebenarnya semacam pemanasan menjelang forum G20 di Bali, November mendatang. Meskipun kecenderungannya lebih kepada sisi normatif dan suara mayoritas namun tambahnya Sidang Umum PBB ini sangat penting.

Seorang pemimpin, tambahnya, sebaiknya mengambil manfaat dari berbagai event internasional dimana bisa menyampaikan ide-ide dan juga berkonsultasi dengan pemimpin yang lain.

“Buat saya sih menguatkan kesan bahwa Jokowi memang karakternya lebih menekankan negosiasi yang berhasil namun buat saya negosiasi yang berhasil itu tidak mengabaikan peranan bahwa pembawa pesan moral itu sebaiknya disampaikan di forum sestrategis Majelis Umum PBB,” ujar Nanto.

Nanto tidak ingin berspekulasi terkait alasan ketidakhadiran Jokowi pada Sidang Majelis Umum PBB.

Dr. Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional (foto: courtesy).
Dr. Teuku Rezasyah, Pengamat Hubungan Internasional (foto: courtesy).

Sementara itu, Teuku Rezasyah, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Bandung menilai ketidakhadiran Presiden Jokowi dalam Sidang Majelis Umum PBB lebih dikarenakan persoalan yang terjadi di dalam negeri seperti Papua dan kepolisian.

“Kalau kita merunut betapa banyaknya masalah-masalah dalam negeri saat ini yang sangat serius seperti Papua kemudian urusan kepolisian yang tidak selesai-selesai ini. Kemudian kemarin beliau (Jokowi) menyatakan ada permasalahan imigrasi dan ini bisa dimengerti karena ini menyangkut perhatian masyarakat yang besar. Kalau tidak ada presiden itu mempersulit citra di dalam negerinya sendiri,” ungkap Rezasyah.

Rezasyah mengatakan seharusnya presiden Jokowi mengutus Wakil Presiden Ma’ruf Amin untuk menggantikannya dalam Sidang Majelis Umum PBB. Wapres Ma’ruf nantinya, kata Rezasyah, dapat didampingi oleh Menlu Retno Marsudi. [fw/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG