Tautan-tautan Akses

Kuliah Daring Karena Corona, Mahasiswa Keluhkan Paket Data


Tampilan layar kuliah daring di FEB UGM. (Foto courtesy: Rimawan P)
Tampilan layar kuliah daring di FEB UGM. (Foto courtesy: Rimawan P)

Di salah satu bangku taman halaman belakang Perpustakaan UGM, Dipta Bthari Candraruna duduk menatap laptop. Bangku-bangku lain di taman itu sepi, karena kampus sudah menetapkan kuliah dijalankan secara daring sejak Senin, 16 Maret 2020. Mahasiswa Program S2 Ilmu Teknologi Pangan ini baru saja mengikuti kuliah melalui laptopnya.

“Di rumah koneksinya buruk, terus kita ke sini buat cari yang kualitasnya bagus,” ujarnya.

Dipta Bthari Candraruna, mahasiswi Program S2 Ilmu Teknologi Pangan UGM. (Foto: VOA/ Nurhadi)
Dipta Bthari Candraruna, mahasiswi Program S2 Ilmu Teknologi Pangan UGM. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Mahasiswi yang akrab dipanggil Runa itu bercerita, karena virus corona, semua mata kuliah kini memakai sistem daring. Masalah terbesarnya, tentu saja soal kualitas jaringan. Ketika buruk, paparan dosen terputus-putus dan respons mereka atas pertanyaan memiliki jeda. Jika mahasiswa berbicara pada saat bersamaan, suara juga bertumpuk-tumpuk.

Tapi ada kendala lain, yang barangkali menjadi masalah mendasar. Kuliah daring membutuhkan paket data yang tidak sedikit. Mahasiswa UGM yang mengikuti kuliah daring selama dua hari pertama mencatat, setidaknya mereka membutuhkan satu gigabyte data untuk kuliah selama sekitar satu jam.

“Kalau belum pakai kuliah online, saya sebulan cuman butuh delapan giga. Kalau ditambah kuliah online gitu, kan mata kuliah saya satu minggu ada tujuh. Terus kalau setiap hari online, kan tujuh giga per minggu dan kalau perbulan kan 28 giga, bisa minus,” kata Runa sambil tertawa.

Runa menambahkan, sebenarnya ada jalan keluar lain, seperti mengikuti kuliah daring dari perpustakaan umum yang lebih dekat dari rumahnya. Namun, koneksi internetnya tidak bagus. Ada juga pilihan di café, tetapi akhirnya akan lebih mahal karena harus membeli minuman atau camilan.

Annisa Sonia Orintamara, mahasiswi Kedokteran Hewan UGM juga baru saja selesai dengan kuliah daring ketika berbicara dengan VOA. Dia memilih tetap berada di tempat indekosnya, dan mematuhi keputusan Rektor untuk menghindari berkumpul.

Rara, panggilan akrabnya, memiliki masalah yang sama seperti Runa, yaitu mahalnya data internet. Namun, sementara ini dia memilih untuk terjamin kesehatannya, meski menambah biaya bulanan.

“Jadi saya sebisa mungkin di kos, kan kita enggak tahu nih orang yang kita temui itu bawa virusnya atau tidak. Untuk cari amannya, mending kita di kos masing-masing. Dan dari teman-teman saya juga enggak ada kumpul-kumpul seperti itu. Jadi mending keluar uang lebih tapi sehat, enggak berisiko,” kata Rara.

Rara cukup diuntungkan, karena materi-materi kuliah di jurusannya tersedia di bank data. Dalam kuliah daring, mereka tinggal menyesuaikan dengan mata kuliah, mendengarkan dosen dan menyimak paparan yang tersedia di layar. Anehnya, kata Rara, dia merasa jauh lebih fokus mengikuti kuliah dengan sistem daring.

Seorang staf UGM melintas di depan poster terkait Virus Corona di kampus tersebut. (Foto:VOA/ Nurhadi)
Seorang staf UGM melintas di depan poster terkait Virus Corona di kampus tersebut. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Faktor kualitas jaringan internet dari provider juga menentukan. Rara bercerita, sejumlah kawannya memiliki masalah karena berbeda provider. Hanya saja, kualitas itu datang dengan biaya sepadan. Paket data yang dipakai Rara relatif lebih mahal dibandingkan dengan pilihan teman-temannya. Pengalaman Rara dalam dua hari pertama kuliah daring, dia menghabiskan sekitar 1 gigabyte untuk setiap mata kuliah. Sebagai mahasiswa S1, dia bisa mengikuti tiga mata kuliah dalam sehari.

“Dari kemarin teman-teman pada nyari, ada enggak sih provider yang paket harganya murah tapi kuotanya banyak untuk kuliah online ini,” tambahnya.

Penelusuran VOA, harga paket internet untuk operator yang relatif bagus kualitasnya berkisar Rp 9.000 per gigabyte. Ada pula paket pembelian 15 gigabyte seharga Rp 100.000. Menilik perhitungan Runa, setidaknya dia akan membutuhkan Rp 200 ribu untuk pembelian data bulanan untuk tujuh mata kuliah. Bagi mahasiswa S1, biayanya tentu akan jauh lebih besar karena mereka harus melahap 10-12 mata kuliah.

Butuh Proses Panjang

Kuliah daring bukan aktivitas baru bagi Rimawan Pradiptyo. Doktor ekonomi yang mengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini sudah melakoninya di beberapa kesempatan dalam sepuluh tahun terakhir. Jika sedang bepergian ke luar negeri, Rimawan selalu berusaha tetap berbagi ilmu, tentu saja melalui sistem daring.

Rimawan Pradiptyo, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM. (Foto courtesy: Rimawan)
Rimawan Pradiptyo, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM. (Foto courtesy: Rimawan)

Jadi, ketika Kampus UGM menetapkan seluruh perkuliahan harus dilakukan daring, praktis tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hari pertama, kuliah daring diselenggarakan dengan upaya maksimal. Malam harinya, para dosen kemudian melakukan evaluasi untuk perbaikan pelaksanaan hari kedua.

Mahasiswa tetap hadir dalam jumlah maksimal di setiap kelas. Rimawan bahkan mencatat, mereka jauh lebih aktif berinteraksi di kelas daring.

“Yang menarik, adalah fakta bahwa mereka kemudian aktif dalam bertanya. Kita enggak pernah menduga seperti itu. Saya kurang tahu, apakah mungkin karena tidak bertatap muka langsung itu menyebabkan mereka lebih berani, lebih ekspresif atau bagaimana, saya kurang tahu jujur saja. Saya belum tanya ke mahasiswa,” papar Rimawan.

Kuliah daring yang lancar tidak tercipta dalam waktu singkat. FEB UGM telah membangun skema ini selama bertahun-tahun, baik itu terkait sarana, kemampuan dosen, hingga materi perkuliahan yang tersimpan di server. Awalnya, langkah ini didorong untuk meraih akreditasi internasional. Selain itu, banyak dosen yang harus mengikuti seminar atau pelatihan, sementara kuliah tidak bisa ditinggalkan. Karena itulah, fakultas ini membangun sedikit demi sedikit semua sarana dan prasarana pendukung kuliah daring.

“Saya kalau mengajar tidak perlu membawa buku-buku tebal. Cukup bawa kopi ke kelas, lalu membuka materi yang sudah kita simpan di dalam sistem daring ini,” tambah Rimawan.

Dengan kekhawatiran penyebaran Virus Corona, hampir semua kampus di Indonesia menetapkan sistem kuliah daring. Tentu saja, muncul pertanyaan apakah setiap kampus siap dengan sarana dan prasarananya. Rimawan menilai, apa yang ada di FEB UGM bisa dilihat sebagai pengalaman berharga, jika kampus-kampus di Indonesia ingin menyiapkan skema kuliah daring. Tentu saja, bukan hanya terkait Virus Corona, tetapi untuk keperluan jangka panjang.

Rimawan paham, kendala paket data bagi mahasiswa. Dalam dua hari pertama kuliah daring, dia terus melakukan modifikasi untuk menekannya. Salah satunya adalah dengan meniadakan video, sehingga mahasiswa hanya mendengar suara dosen. Selain itu, dia juga merasa perlu ada pembicaraan dengan provider internet secepatnya, untuk membantu mahasiswa terkait isu ini.

Rimawan mengaku, FEB UGM sangat sepi dalam dua hari pertama kuliah daring, bahkan lebih sepi dari musim libur. Namun, kampus tidak tertutup sepenuhnya. Mahasiswa tetap diperbolehkan datang, jika memang tidak ada pilihan dalam mengakses internet. Hanya saja, sudah ada ketentuan tentang social distancing sehingga mahasiswa diminta sadar untuk saling menjaga jarak.

Partisipasi Mahasiswa Lebih Baik

Dosen Teknik Geodesi UGM, I Made Andi Arsana juga memahami kondisi itu. Karena itulah, dia mencoba sejumlah platform yang memungkinkan kuliah daring terselenggara dengan sesedikit mungkin memakan data internet bagi mahasiswa. Salah satu yang dia lakukan adalah menggunakan YouTube live, dengan tambahan perangkat lunak Open Broadcaster Software jika harus menayangkan slide. Selain itu, semua kuliah juga direkam, sehingga dapat diakses mahasiswa yang mengikuti kelas tersebut ketika dia memiliki akses.

I Made Andi Arsana dosen Teknik Geodesi UGM. (Foto courtesy: Made Andi)
I Made Andi Arsana dosen Teknik Geodesi UGM. (Foto courtesy: Made Andi)

Semua ini, kata Andi, tidak lepas dari prinsip prinsip belajar bagi generasi sekarang, yaitu prinsip anywhere-anytime. Mahasiswa sekarang ingin mengikuti kuliah dimanapun dan kapanpun itu memungkinkan. Andi mengamati gejala mahasiswanya yang mulai tidak menonton televisi dan beralih ke YouTube. Namun, ternyata yang mereka tonton di YouTube, mayoritas adalah acara televisi juga. Karena itulah, Andi berkesimpulan, masalahnya bukan pada konten, tetapi media. YouTube memberi keleluasaan kepada mahasiswa untuk menikmati acara televisi dimanapun dan kapanpun dia mau.

Terkait partisipasi mahasiswa, Andi mencatat kuliah daring justru jauh lebih baik dibanding kelas konvensional. Di salah satu kelas daringnya, pada menit delapan kelas dimulai sudah ada 58 mahasiswa dari total 63. Di kelas daring, mahasiswa tidak memiliki alasan parkir penuh atau jalan macet ketika terlambat bergabung.

Dari sisi keaktifan, menurut Andi kondisinya juga jauh lebih baik. Di kelas konvesional, biasanya tidak lebih dari lima pertanyaan yang dia terima untuk satu pertemuan. Di kelas daring, ketika dia meminta mahasiswa mengirim pertanyaan sebelum kelas dimulai, setidaknya ada 50 pertanyaan disampaikan. Di kelas konvensional, tentu partisipasi mahasiswa ada dalam bentuk absen. Tetapi dari sisi antusiasme dan partisipasi, sistem daring tidak berhubungan langsung.

“Karena sering kita lihat mahasiswa hadir di kelas tetapi tidak antusias dan tidak berpartisipasi. Mungkin sekali juga dia tidak mendapatkan ilmu. Tetapi sebaliknya, Kalau dia memang memahami ini penting, penyampaiannya bagus, dosennya menurut dia itu cukup klik sama dia, online pun dia datang,” ujar Andi.

Andi mengaku belum memahami, mengapa di kelas daring mahasiswa justru jauh lebih aktif bertanya. Barangkali, lanjutnya, ini terkait dengan budaya masyarakat secara umum di Indonesia yang cenderung canggung untuk bertanya atau berpendapat secara langsung di depan orang banyak.

Kuliah Daring Karena Corona, Mahasiswa Keluhkan Paket Data
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:29 0:00

Dari sisi dosen, kewajiban kuliah daring ini juga menjadi awal bagi para senior untuk mencoba sesuatu yang benar-benar baru. Hikmahnya, seluruh pengajar senior bahkan harus mau untuk belajar kembali dari titik nol.

“Ini adalah tes sebenarnya, kita pembelajar enggak sih sebenarnya. Kita itu para dosen, para guru. Kita kan sering bilang, pelajar harus selalu belajar setiap waktu. Kita yang mengajarkan itu. Niat mengalahkan segalanya. Dari semua alasan kesulitan yang dikemukakan, niat dan mindset adalah kuncinya. Pertanyaan pentingnya, apakah ini memang sulit atau dosen dan guru yang sudah tidak bisa atau mau berubah,” kata Andi. [ns/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG