Tautan-tautan Akses

Khawatir Tertular Corona, Banyak Anak Perempuan di Sub-Sahara Afrika Dinikahkan


Seorang anak perempuan membawa ember berisi air bersih di Pikine, pinggiran Kota Dakar, Senegal, 9 Maret 2020. (Foto: Reuters)
Seorang anak perempuan membawa ember berisi air bersih di Pikine, pinggiran Kota Dakar, Senegal, 9 Maret 2020. (Foto: Reuters)

Sejumlah laporan mengatakan sejumlah anak perempuan di negara-negara berkembang begitu takut jatuh sakit akibat perebakan virus corona, sehingga memutuskan untuk kawin muda dan segera memiliki anak.

CAMFED, sebuah organisasi yang memusatkan perhatian pada pendidikan anak perempuan di sub-sahara Afrika, mengatakan memburuknya kemiskinan dan kelangkaan pangan akibat perebakan virus corona, dan dengan tutupnya sebagian besar sekolah saat ini, membuat sejumlah anak perempuan lebih memprioritaskan kawin muda dan memiliki anak, dibanding melanjutkan pendidikan.

Menurut anggota CAMFED Rose Alexander, yang bekerja untuk mencegah dan membatalkan kawin anak di Malawi, sejumlah orang mengatakan “sekolah tidak akan dibuka lagi, jadi kawin saja!”

Menanggapi sentimen itu, anggota CAMFED seperti Rose, berupaya menemui anak-anak perempuan itu dan menggambarkan risiko kawin anak dan kehamilan dini, sambil terus mendukung pendidikan anak-anak tersebut.

Sebanya 78 persen responden survei yang disponsori Center for Global Development (CGD), sebuah kelompok penelitian yang berkantor di Washington DC, juga menyampaikan keprihatinan mereka tentang penutupan sekolah, yang ditengarai akan meningkatkan aksi kekerasan berbasis gender.

“Sekolah dan dukungan sosial yang ada di sekeliling sekolah dapat menjadi tempat yang aman bagi anak-anak, khususnya anak perempuan, di mana mereka dapat didukung untuk menghadapi isu-isu yang dialami di sekolah dan rumah,” ujar Faith Nkala, Direktur CAMFED di Zimbabwe.

Seorang guru memeriksa suhu tubuh para murid di sekolah yang mulai buka kembali setelah lockdown terkait pandemi Covid-19 dicabut, di Kota Langa, Cape Town, Afrika Selatan, 8 Juni 2020.
Seorang guru memeriksa suhu tubuh para murid di sekolah yang mulai buka kembali setelah lockdown terkait pandemi Covid-19 dicabut, di Kota Langa, Cape Town, Afrika Selatan, 8 Juni 2020.

Dalam “Penjelasan Teknis Sementara Persiapan dan Tanggapan pada Covid-19,” UNPFA merujuk pada besarnya bahaya yang dihadapi anak perempuan pada masa pandemi ini. “Perempuan dan anak perempuan memiliki risiko sangat besar mengalami kekerasan berbasis gender dan ancaman berbagai praktik berbahaya, termasuk sunat perempuan dan anak perempuan, perkawinan yang dipaksakan dan kawin muda, terutama pada anak perempuan di daerah-daerah yang sulit dijangkau dan rentan,” tulis pernyataan itu.

PBB mengingatkan adanya peningkatan pesat kekerasan berbasis gender yang membayangi pandemi ini.

Survei CGD yang sama juga menunjukkan bahwa anak perempuan telah dirugikan secara tidak proporsional karena penutupan sekolah terkait Covid-19. Sebanyak 69 persen responden mengatakan mereka yakin anak perempuan, dibanding anak laki-laki, lebih terdampak secara negatif dengan kebijakan penutupan sekolah. Dari 69 persen ini, separuhnya mengakui peningkatan pekerjaan rumah saat pandemi telah menghambat pendidikan yang berkelanjutan dan 40 persen lainnya mengatakan mereka khawatir akan dipaksa kawin muda dan hamil akibat penutupan sekolah.

Survei itu mencakup tanggapan dari 82 organisasi yang memberikan pendidikan di sedikitnya 32 negara. Separuh dari organisasi yang ikut dalam kajian ini berasal dari sub-Sahara Afrika. Sisanya dari Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika Utara dan Amerika Latin.

Sejumlah organisasi lainnya merinci isu-isu serupa. The Afghan Institute of Learning juga menyampaikan kekhawatiran tentang devaluasi pendidikan anak perempuan selama pandemi.

“Dibutuhkan waktu dan kerja keras untuk membuat warga di banyak daerah terpencil memahami pentingnya pendidikan anak perempuan, dan saya khawatir kita akan kehilangan hal-hal yang sudah dicapai selama ini bagi generasi anak perempuan saat ini,” ujar Sakena Yacoobi, Direktur Eksekutif AIL dan pendiri empat SMA swasta khusus bagi anak perempuan di Afghanistan.

Seorang anak perempuan duduk dekat tempat mencuci tangan di pintu masuk pusat kesehatan di Pikine, di pinggiran Dakar, Senegal, 9 Maret 2020. (Foto: Reuters)
Seorang anak perempuan duduk dekat tempat mencuci tangan di pintu masuk pusat kesehatan di Pikine, di pinggiran Dakar, Senegal, 9 Maret 2020. (Foto: Reuters)

Keprihatinan tentang pendidikan dan kesejahteraan anak perempuan pada masa pandemi virus corona ini juga terjadi ketika pandemi Ebola pada 2014 dan 2015.

Sebuah laporan oleh Malala Fund mendapati hal ini pada puncak krisis Ebola di Guinea, Liberia dan Sierra Leone yang membuat lebih dari 10.000 sekolah tutup, dan menimbulkan dampak pada sekitar lima juta pelajar. Jumlah anak perempuan bersekolah di negara itu sudah lebih rendah dibanding anak laki-laki, dan tak kunjung meningkat ketika krisis Ebola berakhir.

UNESCO melaporkan peningkatan kehamilan remaja hingga 65 persen di sebagian komunitas Sierra Leone ketika dilanda wabah Ebola, situasi yang sebagian besar dikarenakan anak perempuan berada di luar lingkungan sekolah.

Untuk mencegah hal serupa pada masa perebakan virus corona ini, UNESCO telah meminta pemerintah untuk “melindungi kemajuan pendidikan anak perempuan.”

Namun demikian bagi organisasi-organisasi layanan pendidikan yang ikut serta dalam survei terbaru CGD itu, pemangkasan anggaran dan anjloknya sumbangan yang diberikan donatur swasta dan filantropi akibat meluasnya wabah, semakin menyulitkan misi mereka. [em/jm]

XS
SM
MD
LG