Tautan-tautan Akses

Kelompok Kehutanan Hentikan Rencana Dukung Pabrik Kertas Raksasa Indonesia


Sinarmas Land Plaza di Jakarta (foto: ilustrasi). Pabrik kertas "Asia Pulp & Paper" adalah anak perusahaan Sinarmas.
Sinarmas Land Plaza di Jakarta (foto: ilustrasi). Pabrik kertas "Asia Pulp & Paper" adalah anak perusahaan Sinarmas.

Kelompok global utama yang menjamin usaha perkayuan berkelanjutan telah menunda rencana untuk memberi dukungan kepada pabrik kertas raksasa Indonesia, Sinarmas, setelah terungkap bahwa perusahaan itu menggunduli hutan-hutan tropis dan menggunakan struktur perusahaan yang tidak transparan, untuk menyembunyikan kegiatan tersebut.

Kantor berita Associated Press melaporkan, Dewan Pengelola Kehutanan itu mengatakan hari Kamis (16/8) telah menghentikan proses yang akan mengizinkan Asia Pulp & Paper, anak perusahaan Sinarmas diterima kembali ke dalam organisasi itu.

Kelompok kehutanan itu mengatakan, masih menunggu informasi dari konglomerat Sinarmas “terkait struktur perusahaan dan dugaan adanya kegiatan pengelolaan hutan yang tidak dapat diterima” oleh perusahaan-perusahaan yang diperkirakan terkait dengannya, dan minta pengungkapan secara transparan.

Tiga bulan lalu, Dewan itu telah mengirim ultimatum kepada Sinarmas dan keluarga miliarder pemiliknya yang orang Indonesia supaya berterus terang. Sinarmas adalah salah satu perusahaan kertas terbesar di dunia.

Konglomerat itu mengatakan hari Kamis telah menyewa kantor akuntan, untuk mengadakan “penilaian komprehensif” atas semua perusahaan perkebunan hutan di Indonesia yang akan diawasi oleh The Forest Trust, kelompok yang didukung oleh perusahaan untuk mendorong transparansi dalam rantai pasokan. Asia Pulp & Paper adalah salah satu anggota mereka. Pernilaiannya itu akan menyelesaikan “tuduhan yang tidak berdasar bahwa perusahaan menggunakan struktur kepemilikan yang tidak transparan” kata Sinarmas.

Kelompok Greenpeace memasang banner untuk memrotes perusakan hutan Bukit Tiga Puluh di provinsi Jambi oleh pabrik kertas Asia Pulp & Paper (APP) (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Kelompok Greenpeace memasang banner untuk memrotes perusakan hutan Bukit Tiga Puluh di provinsi Jambi oleh pabrik kertas Asia Pulp & Paper (APP) (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Logo Dewan Pengelolaan Kehutanan FSC yang berupa gambar pohon , banyak dicari oleh produsen kertas dan pengguna kayu lainnya, karena menunjukkan produk mereka “hijau” atau berkesinambungan dan karenanya bisa mendapat harga yang lebih tinggi. Sertifikasi dari Dewan Pengelolaan Kehutanan ini sangat penting untuk bisa masuk ke pasar Amerika Utara yang menguntungkan.

Penghentian dukungan FSC atas Sinarmas muncul setelah penyelidikan oleh kantor berita Associated Press, dan laporan situs berita lingkungan Mongabay menunjukan hubungan yang luas antara Sinarmas dan perusahaan - perusahaan perkebunan, yang tadinya dibantah oleh konglomerat itu, atau disebut sebagai pemasok independen.

Salah satu dari perusahan itu telah menggunduli hutan di Kalimantan Barat, yang merupakan habitat bagi orangutan Kalimantan yang terancam punah, sebuah pelanggaran janji konglomerat Sinarmas tahun 2013, untuk mengakhiri deforestasi. Kelompok Greenpeace yang tadinya ikut memberi nasihat kepada Sinarmas tentang perlunya konservasi hutan, telah memutuskan hubungan dengan konglomerat itu.

Hari Rabu, kelompok-kelompok pelestarian alam merilis laporan berdasarkan data penggunaan kayu yang disusun pemerintah yang menunjukan Asia Pulp & Paper telah membeli kayu dari dua perusahaan perkebunan yang telah menggunduli 32.000 hektar hutan sejak 2013. Mereka juga mengatakan konglomerat Indonesia lainnya, Asia Pacific Resources International, yang dikenal dengan singkatan April, telah melakukan hal yang sama.

Kayu yang dibeli berasal dari perkebunan, bukan hasil hutan alami. Tetapi kelompok-kelompok konservasi mengatakan kedua perusahaan itu melanggar janji untuk tidak melakukan deforestasi karena mereka mengambil kayu yang ditanam di lahan di mana hutan alami terus ditebang secara progresif.

Asia Pulp & Paper mengatakan, telah “ mengkarantina ” di salah satu pabriknya, sekitar 800 truk kayu yang dibeli dari perusahaan Fajar Surya Swadaya.

Katanya pembelian kayu itu disebabkan kesalahan administratif yang terjadi sebelum pemeriksaan atas perkebunan menunjukkan adanya para petugas tidak mengerti apa yang disebut sebagai hutan lindung dan karenanya menebang hutan alam itu. Sementara itu, April (Asia Pacific Resources International), mengatakan perkebunan telah melakukan penilaian konservasi pada bulan April 2015 dan berdasarkan itu, penebangan kayu tidak dilanjutkan di hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi. [ng/ii]

Recommended

XS
SM
MD
LG