Tautan-tautan Akses

Kekerasan Seksual Tersembunyi di Ruang-Ruang Kampus 


Survei Kemendikbudristek tahun 2020 di 79 kampus di 29 kota di Indonesia: 63 persen kasus kekerasan seksual tidak pernah dilaporkan dengan alasan menjaga nama baik kampus. (Foto: ilustrasi).
Survei Kemendikbudristek tahun 2020 di 79 kampus di 29 kota di Indonesia: 63 persen kasus kekerasan seksual tidak pernah dilaporkan dengan alasan menjaga nama baik kampus. (Foto: ilustrasi).

Empat tahun berlalu sudah sejak kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya) mencuat ke publik. Agni adalah seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengalami kekerasan seksual ketika tengah menjalankan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari kampusnya. Kasus tersebut akhirnya menjadi pemantik dari sejumlah laporan mengenai kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus di Indonesia.

Keberadaan kasus Agni diikuti oleh maraknya laporan mengenai kasus-kasus kekerasan seksual lainnya. Yang terbaru kini terjadi di lingkungan kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), di mana baru-baru ini seorang mahasiswa diberhentikan secara tidak terhormat oleh pihak kampus karena keterlibatan dirinya dalam kasus kekerasan seksual.

Rektor UMY Prof. Dr. Ir. Gunawan Budiyanto membacakan keputusan pemecatan itu pada Kamis (5/1) di kampus setempat. UMY menilai, aktivis mahasiswa berinisial MKMT itu terbukti dan mengaku telah melakukan perbuatan asusila. Sesuai aturan kampus, perbuatan tersebut dinyatakan sebagai pelanggaran disiplin dan etik mahasiswa kategori pelanggaran berat.

“Sehubungan dengan pemeriksaan yang sudah dilakukan Komite Etik dan Disiplin Mahasiswa, maka Rektor UMY memutuskan untuk memberikan sanksi maksimal kepada saudara MKMT yaitu diberhentikan secara tetap dengan tidak hormat,” ujar Gunawan dalam sesi penjelasan resmi kepada media di Yogyakarta.

UMY sendiri telah mengatur tindak pelanggaran asusila dalam Pasal 8 Peraturan Rektor nomor 017/PR-UMY/XI/2021 tentang Disiplin dan Etika Mahasiswa UMY.

Dalam investigasinya, Komite Etik dan Disiplin Mahasiswa juga menemukan fakta bahwa jumlah korban lebih dari satu.

Para aktivis gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan menggelar unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP/ilustrasi)
Para aktivis gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan menggelar unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP/ilustrasi)

Selain memberikan sanksi terhadap pelaku, pihak kampus juga telah menjanjikan dukungan terhadap para korban berupa pemberian bantuan hukum dan psikologi, serta berkomitmen akan memperluas jaringan komite serta satuan tugas terkait permasalahan kekerasan seksual.

Deretan Kasus Bermunculan

Kasus kekerasan seksual di UMY hanyalah satu dari sekian banyak kasus lain yang terungkap. Akhir tahun lalu, kasus serupa juga terjadi di Universitas Riau. Saat itu seorang mahasiswi melaporkan pelecehan seksual yang ia alami yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di kampus tersebut.

Pelecehan tersebut, menurut sang mahasiswi terjadi ketika proses bimbingan skripsi sedang berlangsung.

Sejumlah nama kampus akhirnya mencuat ke dalam daftar lingkungan kampus yang rentan akan kekerasan seksual pada 2021. Setidaknya dari sejumlah kasus yang tercatat, nama-nama kampus seperti Universitas Sriwijaya, Universitas Negeri Jakarta, dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri masuk ke dalam daftar kampus tersebut.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali juga memiliki data sangat memprihatinkan terkait kekerasan seksual di kampus. Mereka menerima 45 laporan dari mahasiswi yang diduga menjadi korban tindak asusila, dengan 42 korban mahasiswi dari Universitas Udayana dan tiga mahasiswi asal Universitas Warmadewa.

Kasus-kasus tersebut terungkap dengan pola yang relatif seragam di mana pembeberan kasus muncul dari keterangan yang diungkapkan oleh akun-akun di media sosial, yang lalu akhirnya mendapat atensi dari publik.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tidak tinggal diam menanggapi situasi tersebut. Mendikbudristek Nadiem Makarim telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, sebagai langkah awal untuk mengatasi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus yang ia sebut sudah menjadi pandemi.

Mendikbud Ristek Nadiem Makarim. (Biro Setpres)
Mendikbud Ristek Nadiem Makarim. (Biro Setpres)

“Target selanjutnya, tahun ini semua perguruan tinggi di Indonesia memiliki Satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Dan saya dengar, banyak kampus yang langsung menindaklanjuti dan mengadakan diskusi untuk membedah isi Permen ini,” kata Nadiem dalam acara pemaparan Sikap Publik terhadap RUU TPKS dan Peraturan Menteri tentang Pencegahan Kekerasan Seksual hasil penelitian lembaga survei SMRC, pada Senin (10/1).

Pada 2020, Kemendikbudristek telah melakukan survei pada 79 kampus di 29 kota di Indonesia terkait kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Survei menemukan data, 77 persen dosen mengaku kekerasan seksual pernah terjadi di kampusnya. Sementara, 63 persen kasus kekerasan seksual tidak pernah dilaporkan, dengan alasan menjaga nama baik kampus. Jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus mencapai 90 persen, sementara sisanya adalah laki-laki.

Penegakan Hukum yang Rumit

Pengacara yang juga mantan Direktur LBH Palembang, Taslim SH, mengaku proses hukum kasus kekerasan seksual tidak sederhana. Salah satu tantangan dalam penyelesaian kasus tersebut adalah tidak semua korban mau mengungkap tindak kekerasan seksual yang mereka alami.

“Perlu penguatan-penguatan dan menyadarkan yang bersangkutan, untuk berani berbicara. Ini kadang-kadang persoalannya, korban malu atau menghindar. Perlu orang-orang dekat untuk meyakinkan yang bersangkutan. Memberikan penguatan,” kata Taslim.

Di kampus, kecenderungan mahasiswi yang menjadi korban tidak mau melaporkan tindak kekerasan seksual yang menimpanya. Dalam kasus ini, kata Taslim ada masalah relasi kuasa, terutama jika pelakunya adalah dosen. Mahasiswi yang menjadi korban takut, jika dia melapor akan berdampak pada proses kuliah yang sedang dijalani.

Stigma masyarakat terhadap korban kekerasan seksual, menurut Taslim, membuat para korban enggan mengungkap kasus yang mereka alami. Selain itu, adanya ancaman tuntutan hukum berupa pencemaran nama baik yang mungkin dilakukan pelaku semakin membuat posisi korban tersudutkan.

“Sebenarnya kalau penyidik mau serius, bisa saja dibuktikan. Misalnya soal pengakuan korban ditambah dengan petunjuk di mana kejadiannya,” kata Taslim.

Aktivis perempuan dari gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan dalam demo di depan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk memprotes pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di kampus-kampus, Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP)
Aktivis perempuan dari gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan dalam demo di depan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk memprotes pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di kampus-kampus, Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP)

Kasus kekerasan seksual juga memiliki batas waktu. Di Indonesia, lanjutnya, hanya tersedia waktu enam bulan sejak kejadian bagi korban untuk melaporkan pelaku kepada polisi. Jika melewati tenggat itu, ada kemungkinan laporan tidak akan diproses.

Jangan Pakai Kacamata Kuda

Baharuddin Kamba dari lembaga pemantau polisi, Jogja Police Watch, memiliki satu suara dengan Taslim yang menyatakan bahwa proses hukum kasus kekerasan seksual tidaklah mudah. Setidaknya, kasus Agni di UGM yang kemudian diselesaikan secara non-litigasi bisa menjadi contoh. Banyak juga kasus-kasus lainnya yang bahkan tidak dilaporkan, ataupun jika diproses berakhir dengan kesepakatan damai.

Kekerasan Seksual Tersembunyi di Ruang-Ruang Kampus
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:33 0:00

Salah satu unsur yang sulit sekali dibuktikan dalam kasus kekerasan seksual adalah adanya pemaksaan atau ancaman. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, kata Kamba, KUHP mengatakan jika ada unsur suka sama suka dalam satu tindakan seksual, maka unsur pemaksaan atau ancamannya tidak ada atau gugur. Apalagi, dalam kasus kekerasan seksual di kampus, baik pelaku maupun korban sudah dinilai dewasa, sehingga dianggap bertanggung jawab sendiri atas apa yang mereka lakukan.

“Tetapi itu kan bagi yang punya perspektif kacamata kuda. Tidak punya perspektif kepada korban,” tambah Kamba.

Perspektif korban, lanjutnya, bisa diterapkan ketika penegak hukum tidak sepenuhnya bertumpu pada fakta bahwa pemaksaan sangat mungkin dilakukan dalam kasus kekerasan seksual. Tidak boleh ada dugaan, bahwa tindakan itu dilakukan suka sama suka. Meski sulit sekali, unsur ancaman dan pemaksaan ini bisa menjadi alat bukti, disamping korban itu sendiri. Kamba juga meminta penegak hukum memahami relasi kuasa antara pelaku dan korban yang biasanya timpang, sehingga korban cenderung tidak melawan ketika tindakan kekerasan seksual dilakukan.

Jika tidak mau bergulat dengan kebuntuan dalam kasus-kasus kekerasan seksual, tambah Kamba, Indonesia harus segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan. [ns/rs]

Recommended

XS
SM
MD
LG