Tautan-tautan Akses

Dubes AS: Kekerasan Anti-Muslim di Myanmar, Masalah ‘Aturan Hukum'


Scot Marciel, Dubes AS untuk Myanmar, yang juga merupakan mantan Duta Besar AS untuk Indonesia (foto: dok).
Scot Marciel, Dubes AS untuk Myanmar, yang juga merupakan mantan Duta Besar AS untuk Indonesia (foto: dok).

Menjuluki Myanmar sebagai "sebuah demokrasi baru," Duta Besar AS untuk Myanmar Scot Marciel mengatakan kepada VOA bahwa manifestasi terbaru dari meningkatnya sentimen anti-Muslim di negara itu adalah masalah yang berakar pada "aturan hukum".

Konfrontasi yang terjadi Rabu (10/5) dini hari dimulai Selasa malam ketika sekelompok nasionalis mengeluh kepada polisi bahwa beberapa orang Rohingya secara ilegal bersembunyi di rumah di sebuah distrik di Yangon, menurut laporan pers setempat.

Polisi yang menyelidiki laporan itu menolak untuk menangkap orang-orang tersebut, dan mengatakan bahwa mereka adalah warga Muslim lokal, bukan dari etnis Rohingya, sehingga diizinkan berada di sana.

Pihak berwenang di Myanmar, negara berpenduduk mayoritas beragama Buddha, menganggap sebagian besar orang Rohingya adalah "warga asing," bukan warga negara Myanmar, menurut organisasi HAM Human Rights Watch. Mayoritas etnis Rohingya tinggal di negara bagian Rakhine, Myanmar barat, dan tidak dapat bepergian tanpa izin khusus.

Seorang reporter Associated Press menyaksikan sekitar 30 umat Buddha, termasuk biarawan, di lingkungan tempat tinggalnya. Beberapa di antaranya dipersenjatai dengan batu, seperti juga banyak warga Muslim di daerah itu. Polisi menembakkan dua tembakan peringatan untuk membubarkan kerumunan massa, dan setidaknya satu pria Muslim harus dirawat di rumah sakit karena menderita luka-luka.

Warga Budha radikal mengendarai sepeda motor dalam aksi protes anti-Muslim di negara bagian Rakhine, Myanmar barat (foto: dok).
Warga Budha radikal mengendarai sepeda motor dalam aksi protes anti-Muslim di negara bagian Rakhine, Myanmar barat (foto: dok).

Aturan hukum

"Bagi saya, ini benar-benar masalah aturan hukum," kata Duta Besar AS untuk Myanmar, Scot Marciel, kepada VOA.

Marciel menegaskan bahwa satu-satunya informasi tentang insiden tersebut dia peroleh dari media. Ia berkata, "Apa yang penting dalam kasus ini, atau kasus seperti ini lainnya adalah, apakah hukum ditegakkan secara adil."

Dia menambahkan bahwa adalah "problematik jika warga negara ikut campur tangan dalam penegakan hukum untuk melihat kemungkinan terjadinya tindak pidana. ... Hal ini menimbulkan banyak kekhawatiran, banyak masalah."

Sebagai negara demokrasi baru, Marciel berharap bahwa penegakan hukum akan mengambil alih keterlibatan masyarakat. "Jadi Anda menghindari situasi di mana orang banyak terlibat dalam penegakan hukum atau apa yang mereka anggap sebagai undang-undang."

Namun, ia menambahkan, "Butuh waktu bagi masyarakat untuk belajar bagaimana demokrasi berjalan sebagaimana yang mereka inginkan, dan apa arti dari aturan hukum."

Insiden hari Rabu (10/5) malam adalah yang kedua dalam waktu kurang dari sebulan di Yangon, kota terbesar di Myanmar. Pada tanggal 28 April, para biksu ultranasionalis dan pendukung mereka memaksa dua sekolah Muslim ditutup. Polisi berdiri saat para pemrotes merantai pintu sekolah, menurut Human Rights Watch. Pada tanggal 8 Mei, sekolah tersebut masih tetap ditutup.

Organisasi Biksu Militan

Wirathu, pemimpin organisasi Biksu militan "Ma Ba Tha" dalam wawancara di Mandalay, Myanmar (foto: dok).
Wirathu, pemimpin organisasi Biksu militan "Ma Ba Tha" dalam wawancara di Mandalay, Myanmar (foto: dok).

Sebuah organisasi militan biksu Buddha yang dikenal sebagai Ma Ba Tha telah mempelopori berbagai aksi protes anti-Muslim. Pemimpinnya telah dituduh mengadukan kekerasan massa yang menyebabkan tewasnya banyak warga Muslim dan penghancuran harta benda mereka di seluruh Myanmar. Sebagian besar kekerasan anti-Muslim di Myanmar sejak 2012 terjadi di negara bagian Rakhine, di mana orang-orang etnis Rohingya dituduh memasuki Myanmar secara ilegal dari Bangladesh.

"Adalah kekhawatiran yang luar biasa bahwa insiden terakhir ini terjadi di Yangon," kata Derek Mitchell, mantan duta besar AS untuk Myanmar kepada VOA.

Meskipun Myanmar melarang diskriminasi agama, namun Mitchell menambahkan adalah hal yang "sangat sensitif saat Anda berurusan dengan para Biksu di sebuah negara yang sangat bangga dengan agama Budha ini," imbuhnya.

Mitchell, Dubes AS yang bertugas di Myanmar mulai Juli 2012 hingga Maret 2016, mengatakan bahwa sulit untuk menerangkan mengapa ketegangan ini sampai meletus di Yangon.

Masalah yang lebih luas

Mitchell mengatakan bahwa sementara situasi di negara bagian Rakhine telah menarik banyak perhatian di dunia, insiden di Yangon mencerminkan "isu sentimen anti-Muslim yang lebih luas" di Myanmar, sesuatu yang tidak dapat disalahkan kepada Aung San Suu Kyi, pemenang hadiah Nobel Perdamaian yang merupakan pemimpin de facto pemerintahan.

"Saya pikir dia (Suu Kyi) dan pemerintahan partai NLD tulus dan melakukan segala cara dalam upaya membasmi dan mencegah (kekerasan)," kata Mitchell.

Namun, ia menambahkan, "sangat sulit untuk mencegah dan mengubah pikiran dan pola pikir (rakyat Myanmar)." [pp]

Recommended

XS
SM
MD
LG