Tautan-tautan Akses

Kata Siapa Siswa SLB Tidak Bisa Main Futsal?


Turnamen ini digelar untuk mengikis stigma masyarakat terhadap disabilitas mental (courtesy: Suchrich Project)
Turnamen ini digelar untuk mengikis stigma masyarakat terhadap disabilitas mental (courtesy: Suchrich Project)

Olahraga futsal populer di kalangan masyarakat. Namun bagi kelompok disabilitas, tak banyak ruang untuk mengasah hobi tersebut. Di Bandung, Jawa Barat, sebuah turnamen menyediakan kesempatan kepada siswa disabilitas mental untuk punya prestasi olahraga.

Suasana meriah langsung terasa ketika kita mengunjungi SLB Futsal Festival di Bandung baru-baru ini. Puluhan siswa sekolah unjuk kebolehan mengocek bola dan mencetak gol. Makin istimewa karena semuanya adalah siswa tunagrahita dari SLB di kota kembang.

Salah satu peserta, Jihad, mengatakan senang bisa unjuk kebolehan.

Salah satu anak disabilitas siswa SLB menunjukkan piala dan sertifikat pemain terbaik dalam SLB Futsal Festival di Bandung, Februari 2018 (foto: VOA/Rio Tuasikal)
Salah satu anak disabilitas siswa SLB menunjukkan piala dan sertifikat pemain terbaik dalam SLB Futsal Festival di Bandung, Februari 2018 (foto: VOA/Rio Tuasikal)

“Gimana perasaannya bisa main di sini?” tanya VOA kepada siswa SLB Sukapura ini.

“Senang, iya,”

“Kamu suka main bola?”

“Suka. Main bola dari kecil,” jelasnya.

Kata Siapa Siswa SLB Tidak Bisa Main Futsal?
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:43 0:00

Jihad memang mencintai dunia olahraga. Di sekolahnya, dia mencoba berbagai jenis olahraga mulai dari senam dan bola tangan. Namun kecintaan terbesarnya adalah sepakbola. Malahan dia bercita-cita jadi pemain profesional di klub Persib Bandung, hal yang diremehkan orang terdekatnya karena Jihad seorang disabilitas.

“Cita-cita mah jadi pemain Persib tapi nggak boleh sama adek,” terangnya.

“Kenapa katanya?

“Nggak tahu. Idiot aku mah sekolah di SLB,” kisahnya.

“Tapi ingin tetap main bola ya?”

“Iya,” ujarnya semangat.

Stigmatisasi masyarakat dan keluarga memang terus dialami oleh kelompok disabilitas mental seperti Jihad. Masyarakat masih menstigma kelompok ini sebagai ‘tidak mampu’ termasuk dalam bidang olahraga.

Kondisi itulah yang mendorong Suchrich Project dan Rumah Cemara menggelar turnamen pada Sabtu-Minggu (13-14/2/2019) lalu. Ketua Panitia Restu Khaerunnisa mengatakan kelompok disabilitas harus diberi ruang unjuk gigi.

“Kami mau memberi ruang kepada mereka (siswa). Bahwa futsal itu hak semua manusia, hak semua lapisan masyarakat. Mereka seperti ingin bersuara dalam sepakbola. Inilah kami memberikan ruang atau wadah kepada teman-teman tuna grahita dan difabel lainnya,” jelasnya ditemui usai turnamen.

Ini adalah kali kedua turnamen Futsal SLB diadakan setelah yang pertama pada akhir 2018. Kali ini, panitia mengundang enam sekolah di Bandung Raya untuk memperebutkan gelar juara.

Ajang ini menggunakan sistem unifit, guru boleh mendampingi pemain di lapangan namun harus siswa lah yang mencetak gol (courtesy: Suchrich Project)
Ajang ini menggunakan sistem unifit, guru boleh mendampingi pemain di lapangan namun harus siswa lah yang mencetak gol (courtesy: Suchrich Project)

Dalam turnamen, mereka menerapkan aturan unifit, yakni melibatkan guru pembina untuk mendampingi di dalam lapangan. Namun tetap siswa sendiri lah yang harus mencetak gol. Durasi pertandingan adalah 2 kali 10 menit, sesuai standar siswa 10-13 tahun.

Ajang SB Futsal Festival ini digelar ditengah penilaian miring oleh sebagian orang. Tak sedikit yang meragukan kemampuan peserta didik sekolah SLB. Restu menceritakan komentar yang dia terima.

“Stigma dan pandangan buruk, masak sih SLB bisa main futsal apalagi kompetisi segala macam? Kemudian stigma: emang bisa ngegolin, emang bisa nendang bola? Emang bisa fokus sama wasit? Buktinya, ternyata mereka nurut sama wasit. Katanya emosinya tinggi enggak bisa diatur, ternyata lewat olahraga mereka bisa mengolah emosinya masing-masing,” ceritanya.

Anggapan miring itulah yang ingin didobrak oleh para peserta turnamen. Panitia berharap, masyarakat umum bisa lebih mengenal kelompok disabilitas.

“Untuk masyarakat lebih melek saja lebih peduli untuk teman-teman disabilitas. Jangan lihat disabilitasnya saja tapi lihat kemampuannya. Seperti tagline kami: focus on ability not disability,” pungkas Restu lagi.

Ruang aktualisasi seperti turnamen ini diakui sangat dibutuhkan oleh siswa SLB. Kepala Sekolah SLB Ar Rahman, Ipah Ruhipah, mengatakan acara ini punya banyak manfaat.

“Ini sangat penting sekali. Satu, fisik anak supaya baik. Kedua, dia merasa terakui di masyarakat, Tiga, dia merasa bangga untuk dirinya sendiri,” terangnya.

Ipah bercerita, sekolahnya menyewa sebuah lapang sepakbola dan bulutangkis supaya siswa banyak berlatih. Terbukti, sekolahnya menyabet gelar juara pada ajang 2018 dan 2019. Dia berharap acara ini bisa menjangkau wilayah yang lebih luas supaya kompetisinya lebih ketat.

“Lebih banyak yang ikutnya. Misalnya untuk lingkungan Jawa Barat seluruhnya. Misalnya di Garut dan Tasik semuanya ada. Semuanya pasti lebih seru. Dan potensi mereka rasa bersaingnya lebih banyak,” harapnya.

Panitia berharap pemain berkualitas di ajang ini bisa menjadi atlet disabilitas di masa depan (foto: VOA/Rio Tuasikal)
Panitia berharap pemain berkualitas di ajang ini bisa menjadi atlet disabilitas di masa depan (foto: VOA/Rio Tuasikal)

Dalam penutupan acara, para siswa SLB bertemu dan berbincang dengan pemain klub Persib yang memberikan semangat. Penyelenggara berharap, pemain berkualitas dari ajang ini bisa menjadi bibit atlet disabilitas di masa depan. [rt/em]

XS
SM
MD
LG