Tautan-tautan Akses

Jubir KNPB Lolos Dakwaan, Aktivis Hukum Papua Kritisi Pasal Makar


Juru bicara KNPB, Victor Frederik Yeimo duduk sebagai terdakwa kasus makar di PN Jayapura.(Foto: LBH Papua/EG)
Juru bicara KNPB, Victor Frederik Yeimo duduk sebagai terdakwa kasus makar di PN Jayapura.(Foto: LBH Papua/EG)

Victor Federik Yeimo, juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) divonis penjara delapan bulan oleh Majelis Hakim PN Jayapura. Dia lepas dari tuduhan makar, tetapi dinilai menyebarkan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia.

Jaksa penuntut umum sebelumnya memberikan empat dakwaan kepada Victor, yaitu Pasal 106 tentang aksi makar, Pasal 110 Ayat 1 tentang permufakatan untuk makar, Pasal 110 Ayat 2 tentang mempersiapkan aksi makar, dan Pasal 160 mengenai penghasutan.

“Hakim menyatakan bahwa keempat dakwaan itu tidak terbukti,” kata pengacara Victor dari LBH Papua, Emanuel Gobay.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. (Foto: Dok Pribadi)
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. (Foto: Dok Pribadi)

Majelis hakim, dalam kasus ini menggunakan kewenangan yurisprudensi. Mereka tidak mengikatkan diri pada dakwaan jaksa, tetapi membuat kesumpulan sendiri berdasarkan keterangan saksi dan terdakwa.

Hakim pun kemudian menyatakan, Victor melanggar Pasal 155 KUHP, dengan dakwaan menyiarkan atau menunjukkan surat atau gambar yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan Pemerintah Indonesia. Berdasar pasal ini, majelis hakim menjatuhkan vonis delapan bulan penjara. Vonis ini jauh di bawah tuntutan jaksa, yaitu tiga tahun penjara.

“Berkaitan dengan keempat dakwaan yang tidak terpenuhi, membuktikan bahwa selama ini pasal makar itu memang betul-betul dijadikan alat kriminalisasi bagi aktivitas Papua,” tambah Gobay ketika berbicara kepada VOA.

Direktur LBH Papua ini juga mengatakan bahwa keputusan ini membuktikan bahwa hakim jelas-jelas ingin mengingatkan kepada aparat penegak hukum, baik polisi maupun jaksa untuk mencermati kembali putusan Mahkamah Konstitusi terkait pasal makar.

“Putusan MK jelas-jelas menegaskan kepada aparat penegak hukum untuk tidak menyalahgunakan pasal makar, karena akan berdampak pada pelanggaran kebebasan berekspresi, yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Gobay.

Gobay sendiri mengatakan, Victor sudah menjalani tahanan lebih dari tujuh bulan, dan hanya tersisa belasan hari dari vonis yang ditetapkan hakim. Ada waktu selama tujuh hari, baik bagi pengacara maupun jaksa, untuk memutuskan apakah akan menerima atau banding atas putusan ini.

Dalam pernyataan seusai persidangan, Victor Yeimo menyampaikan bahwa perjuangan mereka tidak saja harus dilakukan dalam aksi terbuka, di kampus-kampus ataupun di hutan.

Victor Yeimo berdiskusi dengan tim pembela hukumnya. (Foto: LBH Papua/EG)
Victor Yeimo berdiskusi dengan tim pembela hukumnya. (Foto: LBH Papua/EG)

“Tetapi kita harus memenangkan itu di muka hukum negara ini. Saya anggap bahwa pengadilan ini adalah panggung bagi kita untuk memenangkan kebenaran dan keadilan agar semakin banyak orang mengetahui bahwa rakyat Papua punya harga diri. Rakyat Papua tidak berdiri sendiri,” ujarnya.

Victor juga menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantunya, selama menjalani persidangan yang berlangsung berbulan-bulan.

Buntut Aksi Antirasisme

Victor Federik Yeimo adalah aktivis Papua yang juga juru bicara KNPB. Bersama sejumlah aktivis lain, dia memimpin aksi demonstrasi, sebagai respon dari tindakan rasis yang terjadi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, pada 17 Agustus 2019. Aksi demonstrasi besar-besaran digelar di berbagai kota di Papua, dan sejumlah kota di Indonesia pada 19 Agustus 2019.

Setelah menjadi buron, Victor ditangkap pada 9 Mei 2021. Jaksa kemudian mendakwanya dengan tuduhan makar karena menyerukan tuntutan referendum bagi Papua, dalam aksi yang digelar itu.

Suasana sidang kasus makar dengan terdakwa Victor Yeimo di PN Jayapura, 21 Februari 2022. (Foto: Courtesy/Gustav Kawer)
Suasana sidang kasus makar dengan terdakwa Victor Yeimo di PN Jayapura, 21 Februari 2022. (Foto: Courtesy/Gustav Kawer)

Dalam peristiwa yang sama, pengadilan telah menjatuhkan vonis untuk enam orang yang lain, melalui sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur. Keenam orang ini, yaitu Agus Kossay, Buchtar Tabuni, Hengki Hilapok, Alexander Gobay, Irwanus Uropmabin dan Fery Kombo menerima vonis bervariasi dengan masing-masingn kurang dari satu tahun. Satu terdakwa lagi, Franis Wasini, dibebaskan oleh hakim di Pengadilan Tinggi Jayapura.

Para terdakwa didampingi pembela hukum dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua. Tergabung di dalamnya sejumlah lembaga seperti LBH Papua, PAHAM Papua, ALDP, PBH Cenderawasih, KPKC Sinode Tanah Papua, SKP Fransiskan Jayapura, Elsham Papua, Walhi Papua, Yadupa Papua dan beberapa yang lain.

Sejumlah ahli hadir menjadi saksi, baik didatangkan jaksa maupun pengacara. Jaksa, antara lain medatangkan saksi ahli pakar bahasa dari Universitas Gadjah Mada, Dr Aprinus Salam. Dalam kesaksiannya pada 21 Februari 2023, dia menyatakan bahwa tindakan menurunkan bendera merah putih dan menggantinya dengan bendera bintang kejora merupakan bentuk simbolik gerakan makar.

Apalagi, kata Aprinus, bendera merupakan lambang negara yang secara historis telah disepakati sebagai simbol sebuah bangsa. Karena itu, seluruh pihak harus memberikan penghormatan, dan negara dapat menghukum siapapun yang melanggar hal itu.

Sementara salah satu saksi ahli yang dihadirkan pengacara Victor, adalah ahli Filasat Hukum, Dr. Tristam Pascal Muliono, dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat.

Dalam kesaksiannya pada 17 Maret 2023, Tristam mengatakan bahwa telah terjadi salah tafsir dalam penggunaaan pasal makar selama ini. Makar, sesuai dengan teks aslinya dalam bahasa Belanda, bermakna “serangan yang dimaksud dengan tujuan menghilangkan nyawa atau merampas kebebasan Raja atau Ratu atau penggantinya (regent) atau membuatnya tidak mampu lagi (melalui serangan itu) melaksanakan tugas-tugas untuk memerintah”.

Karena itu, makar lebih dekat dengan aksi kekerasan untuk menghilangkan nyawa atau merampas kebebasan atau membuat pimpinan negara tidak lagi mampu menjalankan tugas-tugasnya.

Setelah rangkaian persidangan, jaksa menuntut Victor tiga tahun penjara pada 27 April 2023.

Para aktivis membawa poster-poster saat berdemo untuk menarik perhatian kepada isu HAM Papua, di depan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, di tengah kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander, 12 Maret 2020. (Foto: AFP)
Para aktivis membawa poster-poster saat berdemo untuk menarik perhatian kepada isu HAM Papua, di depan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, di tengah kunjungan Raja Belanda Willem-Alexander, 12 Maret 2020. (Foto: AFP)

Bertentangan dengan HAM

Dalam pernyataan pada 28 April 2023, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa penerapan pasal pidana makar terhadap ekspresi politik damai bertentangan dengan hak asasi.

“Setiap orang, termasuk orang asli Papua memiliki hak untuk menyuarakan pikiran, pendapat, dan ekspresi politik mereka secara bebas tanpa takut dihukum atau diintimidasi. Hak ini dijamin dalam hukum nasional maupun hukum internasional,” tegas Usman.

Director of Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, giving a press statement, Monday 21 March 2022. (VOA)
Director of Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, giving a press statement, Monday 21 March 2022. (VOA)

Lebih jauh, Amnesty International juga mengulang desakan mereka kepada pemerintah dan DPR, untuk mencabut atau mengubah secara substansial pasal-pasal makar dalam KUHP yang multitafsir. Langkah itu penting, untuk memastikan bahwa ketentuan itu tidak disalahgunakan kembali untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi.

Amnesty International juga mencatat, pihak berwenang di Indonesia menggunakan hukum pidana untuk mengadili puluhan aktivis politik damai pro-kemerdekaan di Papua. Padahal, para aktivis itu secara sah menggunakan hak mereka dalam kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai.

Amnesty International mencatat, sejak Januari 2019 hingga Mei 2022, setidaknya 78 orang di Papua telah menghadapi ancaman pidana atas tuduhan makar berdasarkan Pasal 106 dan 110 KUHP lama.

Padahal, hak atas kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat dijamin UUD 1945. Selain itu, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjamin setiap orang bebas memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Secara internasional, kebebasan berekspresi dijamin Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang sudah diratifikasi Indonesia, dan karena itu aturan internasional itu mengikat. [ns/ah]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG