Tautan-tautan Akses

Hak Aborsi, Bola Panas Jelang Pilpres AS 2020


Para aktivis hak-hak aborsi berunjuk rasa di luar Mahkamah Agung AS di Washington, 21 Mei 2019.
Para aktivis hak-hak aborsi berunjuk rasa di luar Mahkamah Agung AS di Washington, 21 Mei 2019.

Sejumlah negara bagian di AS baru-baru ini memberlakukan pembatasan baru yang lebih ketat untuk melakukan aborsi. Hal itu mendorong para penentang aborsi untuk mengambil langkah yang mungkin akan menyudahi keputusan Mahkamah Agung 1973 yang menjamin hak perempuan untuk melakukan aborsi.

Ratusan demonstran yang mendukung hak-hak aborsi memenuhi jalan-jalan di sejumlah kota minggu lalu memprotes putusan hukum di beberapa negara bagian konservatif yang melarang aborsi pada waktu dan kondisi apa pun. Putusan hukum itu jelas menantang keputusan Mahkamah Agung AS 1973 yang menjamin hak perempuan secara konstitusional untuk melakukan aborsi.

Dr. Leana Wen, Presiden Planned Parenthood - suatu LSM raksasa yang melakukan penelitian dan memberikan nasehat tentang kontrasepsi, perencanaan keluarga dan masalah-masalah reproduksi - mengatakan.

“Apakah mereka mengira kita - perempuan, laki-laki dan semua orang disini - akan diam ketika ada keputusan yang membahayakan kesehatan kita dan hak menentukan apa yang terbaik bagi tubuh kita?" kata Dr. Leana Wen, President Planned Parenthood, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melakukan penelitian dan memberi advokasi tentang kontrasepsi, keluarga berencana dan berbagai masalah reproduksi.

"Kita akan bicara karena hal ini sudah memuakkan. Mereka, para politisi, tidak tahu apapun tentang tubuh kita, tetapi membuat keputusan untuk kita,” ujar Leana.

Mengikuti jejak Alabama, beberapa negara bagian antara lain Mississippi, Georgia, Ohio, dan Missouri meloloskan aturan hukum yang memberlakukan pembatasan ketat terhadap aborsi.

April Houston dan Lara Martin memegang poster sambil mengenakan kostum Handmaid atau pelayan perempuan dalam unjuk rasa memprotes RUU anti-aborsi negara bagian Georgia, di Georgia State Capitol di Atlanta, Georgia, 7 Mei 2019.
April Houston dan Lara Martin memegang poster sambil mengenakan kostum Handmaid atau pelayan perempuan dalam unjuk rasa memprotes RUU anti-aborsi negara bagian Georgia, di Georgia State Capitol di Atlanta, Georgia, 7 Mei 2019.

Alabama bahkan secara tegas melarang praktik tersebut, dalam rentang waktu atau kondisi apapun. Pelarang berlaku termasuk bagi korban perkosaan dan incest. Meski tidak seketat Alabama, Missouri memberlakukan aturan yang melarang aborsi ketika kehamilan sudah mencapai delapan minggu. Langkah badan legislatif di Missouri ini didukung oleh anggota Partai Republik Nick Schroer.

“Apakah janin akan dibunuh hanya karena kehadiran mereka tidak diinginkan atau dinilai akan merepotkan orang tuanya? Jawaban sederhanya adalah tidak,” kata Nick.

Terpilihnya dua hakim konservatif menjadi hakim agung, yaitu Neil Gorsuch dan Brett Kavanaugh, yang berarti tambahan signifikan atas tiga hakim konservatif yang sudah ada, telah mendorong kelompok konservatif untuk meningkatkan pembatasan atau bahkan membatasi secara menyeluruh tindakan aborsi. Kelompok ini sangat berharap dapat membatalkan keputusan Mahkamah Agung 1973 Roe vs Wade, yang menjunjung tinggi hak perempuan atas tubuhnya sendiri, termasuk dalam hal aborsi.

Dibutuhkan waktu beberapa bulan sebelum kasus hak melakukan aborsi ini sampai di tingkat Mahkamah Agung, tetapi putusan baru tampaknya baru akan dikeluarkan setelah kampanye pemilu presiden tahun depan.

Salah seorang demonstran yang ditemui dalam demonstrasi di Missouri, Kristin Ford, mengatakan keputusan pengadilan di beberapa negara bagian konservatif itu mengancam hak-hak fundamental perempuan.

“Aktivis-aktivis anti-aborsi dan politisi Partai Republik telah sejak lama menegaskan bahwa mereka berniat mencabut Roe vs Wade, menjadikan aborsi sebagai tindakan kriminal dan menghukum perempuan,” kata Kristin Ford.

Para aktivis anti aborsi pawai di luar Mahkamah Agung AS di Washington, 18 Januari 2019. (Foto: Jose Luis Magana/AP)
Para aktivis anti aborsi pawai di luar Mahkamah Agung AS di Washington, 18 Januari 2019. (Foto: Jose Luis Magana/AP)

Hal senada disampaikan pakar hukum di American University Jessica Waters.

“Pada masa lalu, Mahkamah Agung mengubah putusan Roe versus Wade ini dengan cara yang lebih minimalis, tidak dengan tegas mengatakan akan mengubah putusan tersebut. Tetapi tentangan yang muncul saat ini tampaknya merupakan cara untuk sedikit mengalah atau sepenuhnya mencabut putusan Roe versus Wade itu,” kata Jessica.

Sementara analis di Stanford University, Morris Fiorina, menilai keputusan pengadilan di beberapa negara bagian sebelumnya merupakan bagian dari pertarungan politik jangka panjang.

“Mereka yang menentang aborsi atau dikenal sebagai kelompok pro-life, hanya ingin memprioritaskan kehidupan anak yang belum lahir di atas segalanya. Sementara mereka yang mendukung aborsi atau dikenal sebagai kelompok pro-choice, ingin memprioritaskan hak ibu atau perempuan di atas segalanya. Masyarakat memiliki pandangan terpecah tentang kedua pilihan ini,” ujar Morris.

Sebagian kandidat calon presiden dari Partai Demokrat juga telah mengangkat isu yang diperkirakan akan menjadi salah satu faktor dalam pemilihan presiden tahun depan.

“Jika warga merasa hak mereka atas tubuh sendiri berada dalam bahaya, akan lebih banyak yang ikut berpartisipasi dalam pemilu. Jadi, saya kira merupakan suatu kesalahan bagi kelompok konservatif di Partai Republik yang mendorong sesuatu seekstrem ini,” kata Jessica.

Kandidat presiden pilpres AS 2020 dari Partai Demokrat, Senator Kirsten Gillibran, berfoto dengan seorang pengunjuk rasa pendukung hak-hak aborsi, di luar gedung Mahkamah Agung di Washington, 21 Mei 2019.
Kandidat presiden pilpres AS 2020 dari Partai Demokrat, Senator Kirsten Gillibran, berfoto dengan seorang pengunjuk rasa pendukung hak-hak aborsi, di luar gedung Mahkamah Agung di Washington, 21 Mei 2019.

“Roe versus Wade” adalah keputusan Mahkamah Agung yang paling sering disebut-sebut ketika muncul kontroversi tentang boleh tidaknya aborsi. Keputusan yang ditetapkan pada 22 Januari 1973 dengan suara 7 banding 2 ini menegaskan hak perempuan untuk melakukan aborsi berdasarkan Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika.

Sidang atas keputusan ini didasarkan pada gugatan hukum seorang perempuan hamil yang belum menikah, Norma McCorvey terhadap Henry Wade, seorang jaksa di distrik Dallas yang memberlakukan aturan hukum yang melarang aborsi di Texas, kecuali untuk menyelamatkan jiwa sang perempuan. Dalam dokumen-dokumen pengadilan, McCorvey dikenal sebagai “Jane Roe”.

Mahkamah Agung menilai hak perempuan untuk melakukan aborsi merupakan bagian dari hak privasi yang dilindungi Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika. Keputusan itu memberi hak kepada seorang perempuan untuk melakukan aborsi pada trimester pertama dan mengatur aturan yang berbeda untuk aborsi di trimester kedua dan ketiga. Keputusan ini menimbulkan dampak pada aturan hukum di 46 negara bagian.

Jajak pendapat yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen warga Amerika mendukung hak untuk melakukan aborsi atau pro-choice, dan hanya 30 persen yang ingin mengubah keputusan itu. [em/jm/rg].

XS
SM
MD
LG