Tautan-tautan Akses

Epidemiolog: Tekan Kasus atau RS Akan Kolaps


Seorang pasien COVID-19 beristirahat di tanah di luar tenda darurat yang didirikan di luar rumah sakit di tengah lonjakan kasus COVID-19 di Bekasi, 25 Juni 2021. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)
Seorang pasien COVID-19 beristirahat di tanah di luar tenda darurat yang didirikan di luar rumah sakit di tengah lonjakan kasus COVID-19 di Bekasi, 25 Juni 2021. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Meski menolak menyebut rumah sakit sudah kolaps, sejumlah pakar menilai sistem kesehatan di Tanah Air sudah kepayahan dalam melayani pasien. Mengurangi jumlah kasus menjadi jalan keluar paling rasional untuk mengatasinya.

Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr Riris Andono Ahmad, memaknai kolaps sebagai tidak berfungsi. Kenyataanya, mayoritas rumah sakit masih bekerja melayani pasien. Hanya saja, mereka dalam kondisi kepayahan. Dia mengibaratkan dengan aliran pompa air, yang jika tekanannya terlalu tinggi, lama-lama pipanya akan pecah.

Epidemiolog UGM, Dr Riris Andono Ahmad dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)
Epidemiolog UGM, Dr Riris Andono Ahmad dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Rumah sakit, kata Riris, saat ini masih bisa berupaya maksimal menyediakan oksigen, obat-obatan dan mempersiapkan tenaga kesehatan (nakes). Namun dia mengingatkan, semua ada batasnya.

“Tapi ada satu titik di mana itu sudah tidak bisa lagi. Misalnya karena kapasitas produksinya sudah tidak mencukupi untuk oksigen atau obat-obatan. Nakesnya sudah exhausted, bahkan mungkin sebagian besar terinfeksi, sehingga tidak bisa memberikan layanan. Ketika itu terjadi maka sistem kesehatannya akan kolaps,” ujar Riris.

Jika itu terjadi, tambahnya, maka sistem kesehatan kolaps dan kasus-kasus tidak bisa tertangani lagi. Ketika benar-benar kolaps, untuk resusitasi kembali, akan dibutuhkan waktu. Mengganti nakes, kata Riris, tidak semudah melakukannya pada profesi lain.

Petugas kesehatan bersiap membantu pasien COVID-19 di tenda sementara di luar ruang gawat darurat rumah sakit pemerintah di Bekasi, 25 Juni 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Petugas kesehatan bersiap membantu pasien COVID-19 di tenda sementara di luar ruang gawat darurat rumah sakit pemerintah di Bekasi, 25 Juni 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Riris mengatakan, berbagai pilihan saat ini begitu sulit karena keterbatasan nakes. Rencana mendirikan rumah sakit lapangan misalnya, juga akan membutuhkan investasi sumber daya manusia. Sementara memaksa layanan kesehatan di tingkat bawah, seperti Puskesmas untuk menambah lebih lama, juga bukan jalan keluar mudah.

“Meningkatkan layanan itu tidak semata-mata membuka jumlah waktunya. Itu ada kaitannya dengan beban kerja. Siapa yang mengisi beban kerja tambahan tadi? Sementara saat ini semua teman di Puskesmas sudah sangat kewalahan bahkan untuk melakukan fungsi hariannya saja,” tambah Riris.

Dia mengingatkan, peningkatan kasus kini membenani Puskesmas yang harus melakukan tracing lebih banyak. Selain itu program vaksinasi juga menjadi tugas tambahan bagi mereka.

Kondisi itu berpotensi menaikkan jumlah kematian, yang sebenarnya saat ini sudah terjadi. Karena kondisi sistem kesehatan yang buruk, mereka tidak bisa lagi menerima pasien, bahkan mereka yang berada dalam kondisi cukup buruk.

“Orang-orang yang butuh perawatan kritis, tidak bisa masuk karena rumah sakit yang penuh, dan ini akan meningkatkan kematian. Ada bottle neck di rumah sakit, sehingga orang-orang yang seharusnya mendapat perawatan, meninggal. Padahal bisa jadi seharusnya tidak meninggal, kalau rumah sakitnya tidak penuh,” tambahnya.

Jalan keluar paling rasional, ungkap Riris, adalah tetap menekan kasus. Masyarakat harus diajak berperan, dengan menjaga diri agar tidak tertular, atau menularkan ke orang lain.

Penggali kubur mengenakan alat pelindung diri (APD) mengubur peti mati saat kerabat berdiri di belakang pemakaman Muslim yang disediakan pemerintah untuk korban COVID-19, di Jakarta, 7 Juli 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Penggali kubur mengenakan alat pelindung diri (APD) mengubur peti mati saat kerabat berdiri di belakang pemakaman Muslim yang disediakan pemerintah untuk korban COVID-19, di Jakarta, 7 Juli 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Hentikan Isoman di Rumah

Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), DI Yogyakarta, Dr. dr. Darwito, SH., Sp.B(K)Onk juga mengakui kondisi rumah sakit saat ini kepayahan. Dia mengusulkan, setiap pemerintah daerah menyediakan shelter terpusat, dengan layanan dari nakes dalam jumlah terbatas.

Ketua PERSI DI Yogyakarta, Dr. dr Darwito, SH.Sp B (K) Onk. (Foto: Dok Pribadi)
Ketua PERSI DI Yogyakarta, Dr. dr Darwito, SH.Sp B (K) Onk. (Foto: Dok Pribadi)

“Berapapun jumlah tempat tidur di rumah sakit, itu sebenarnya harus ada drainase. Ibarat banjir, kalau itu ada sungai, banyak airnya, kan mesti harus ada drainase. Drainase-nya adalah shelter-shelter, tetapi tetap dipantau. Biar tidak menjadi banjir bandang ke mana-mana,” kata Darwito mengambil perumpamaan.

Karena rumah sakit penuh, saat ini banyak pasien melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah. Pilihan ini disayangkan Darwito, karena berisiko meningkatkan kematian pasien di rumah, yang saat ini sudah terjadi.

Karena itulah, skema shelter terpusat menjadi pilihan, dan harus dilakukan di seluruh wilayah. Ada dua kelompok pasien yang masuk ke shelter terpusat ini. Pertama adalah mereka yang baru saja dinyatakan positif, dan dalam kondisi baik atau bergejala ringan dan sedang. Kelompok kedua adalah pasien dari rumah sakit, yang sudah baik kondisinya atau menjelang sembuh. Kelompok kedua ini tidak perlu menunggu sampai benar-benar sehat untuk meninggalkan rumah sakit. Shelter menjadi wahana perantara sebelum mereka pulang.

Pasien terbaring di dalam tenda darurat yang dibangun untuk menampung lonjakan pasien COVID-19 di sebuah rumah sakit di Bekasi, 26 Juni 2021. (AP Photo/Achmad Ibrahim)
Pasien terbaring di dalam tenda darurat yang dibangun untuk menampung lonjakan pasien COVID-19 di sebuah rumah sakit di Bekasi, 26 Juni 2021. (AP Photo/Achmad Ibrahim)

Kuncinya, kata Darwito, adalah keberadaan nakes di shelter tersebut.

“Nakes kan bisa diatur. Bukan seperti di rumah sakit, di situ cukup memantau minum obat, mengukur saturasi, mengukur nadi, temperatur dan lainnya. Kalau butuh dokter lebih lanjut, bisa dengan telekonsultasi,” papar Darwito.

Nakes yang bertugas di shelter terpusat ini bisa berasal dari dokter-dokter muda atau perawat baru. Setiap seratus pasien, cukup dijaga oleh satu dokter dan tiga perawat. Kuncinya, menurut Darwito, ada koordinasi pasti antara shelter dan rumah sakit. Satu shelter sudah dipastikan berada di rumah sakit tertentu, sehingga jika dibutuhkan rujukan, sudah ada kejelasan ke mana pasien akan dibawa.

“Misalnya kalau terjadi penurunan saturasi, atau gejala meningkat temperaturnya, orang tersebut langsung dikirim ke rumah sakit. Ada koordinasi terus menerus antara shelter dengan rumah sakit,” ujarnya.

Epidemiolog: Tekan Kasus atau RS Akan Kolaps
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:30 0:00

Darwito memberi permisalan, sebuah rumah sakit dengan 400 tempat tidur bisa saja turut memantau satu shelter dengan seribu pasien kategori sedang. Dengan koordinasi yang baik, kondisi pasien dapat dimonitor untuk mencegah perburukan.

“Dengan begini, semuanya tersentralisasi, bukan di rumah-rumah. Bayangkan kalau rumah tersebut tipe 21, punya anak dua, yang sakit satu, nanti bisa tertular semuanya,” tambahnya lagi.

Darwito berharap skema ini dapat diterapkan, sehingga tidak ada lagi pilihan isoman di rumah. Sangat sulit bagi tenaga kesehatan untuk memantau seluruh pasien yang diminta isoman di rumah akibat rumah sakit penuh. Tanggung jawab persoalan ini, ada di pemerintah daerah. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG