Tautan-tautan Akses

DPR Susun Ulang Rumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual


Para peserta "Women's March" menuntut segera disahkannya RUU-PKS dalam aksi di Jakarta. (Foto dok: VOA/Sasmito)
Para peserta "Women's March" menuntut segera disahkannya RUU-PKS dalam aksi di Jakarta. (Foto dok: VOA/Sasmito)

Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (12/7) menggelar rapat dengar pendapat dengan sejumlah organisasi dan lembaga untuk membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sempat menjadi polemik di masyarakat beberapa tahun lalu. Berbagai elemen masyarakat diberi kesempatan menyampaikan pandangannya.

Dalam rapat tersebut, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas menekankan draft atau rancangan lama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak dipakai lagi.

"Kami, Baleg (Badan Legislasi), dalam rangka penyusunan, jadi draft yang lama tidak berlaku lagi. Saya harap sangat paham sekali posisi Baleg dalam rangka penyusunan. Jadi bukan dalam rangka mengkritisi (draf) yang sebelum-sebelumnya. Kita dalam bangun baru (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual), ini masih taaruf (perkenalan). Kalau berjodoh, masuk tuh barang," kata Supratman.

Nurul Amalia dari Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM), Jakarta, tidak mempersoalkan kalau memang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disusun ulang DPR bersama beragam pihak termasuk akademisi, aktivis perempuan dan hak asasi manusia. Namun dia mengusulkan terminologinya diubah dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual.

"Kejahatan seksual mencakup di dalamnya perbuatan kekerasan seksual, juga hubungan seksual suka sama suka di luar perkawinan yang sah atau seks bebas, serta penyimpangan seksual atau perilaku seksual dengan kekerasan maupun dengan persetujuan ataupun suka sama suka," ujar Nurul.

Aktivis perempuan dari gerakan anti kekerasan memegang spanduk bertuliskan "Memberantas Kekerasan Seksual? Pasti Ada Jalan!" (foto: dok).
Aktivis perempuan dari gerakan anti kekerasan memegang spanduk bertuliskan "Memberantas Kekerasan Seksual? Pasti Ada Jalan!" (foto: dok).

Menurutnya terminologi kejahatan seksual lebih tepat agar RUU tersebut dapat mengakomodir seluruh perilaku seksual baik yang mengandung unsur kekerasan maupun tidak.

Dia mencontohkan banyak dampak negatif dari hubungan seksual atas dasar suka sama suka, seperti kasus aborsi di kalangan remaja dan dewasa, banyak anak lahir tanpa ayah, serta anak yang lahir dari perzinaan ditinggalkan orang tuanya dan bahkan dibuang atau dibunuh.

Sedangkan kekerasan seksual, lanjut Nurul, hanya meliputi unsur perbuatan yang terbatas pada adanya ancaman kekerasan, kekerasan, paksaan, tanpa persetujuan, di luar keinginan sendiri, tipu daya dan muslihat, kebohongan.

Nurul menambahkan hukum pidana menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah. Karena itu, pelaku atau terlapor memiliki hak untuk membuktikan dirinya tidak bersalah atau sebaliknya, pelapor memang menjadi korban. Selain itu, hukum pidana juga menghormati prinsip persamaan di muka hukum baik bagi pelaku atau korban.

Nurul menilai masih ada perzinaan yang belum diatur dalam undang-undang atau kekosongan hukum dan ini bisa dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam rumusan RUU Penghapusan kejahatan Seksual.

Dia mencontohkan lelaki dan perempuan lajang berzina, sodomi antar orang dewasa dan antar anak, sodomi orang dewasa terhadap anak, perempuan dewasa memperkosa anak lelaki.

Nurul menegaskan draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disusun dengan menghilangkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Oleh sebab itu, dia meminta rumusan baru nantinya mesti menjadikan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiba umum, sebagai landasan utama dalam penyusunannya.

Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Rita Hendrawaty Soebagio meminta norma-norma agama menjadi landasan dalam merumuskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Rita menekankan jangan sampai insitusi-institusi keagamaan dan keluarga dianggap menjadi sumber kekerasan seksual.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Penting Untuk Lindungi Korban

Di lain pihak anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Kebangkita Bangsa Luluk Nur Hamidah menegaskan pentingya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk melindungi korban, karena menurutnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) condong berpihak kepada pelaku.

Dia menyebutkan dalam sejumlah kasus korban kekerasan seksual yang berusaha mencari keadilan hukum malah menjadi korban untuk kesekian kalinya.

"Ada banyak sekali bagaimana pengalaman-pengalaman korban dalam proses mencari keadilan justeru dia harus mengalami pelecehan, perkosaan, bahkan pernah kejadian korban hamil manakala dia sedang menebus haknya yang dirampas dari peristiwa itu," tutur Luluk.

Luluk yakin kekerasan seksual memang menghancurkan nilai-nilai ketahanan keluarga. Namun Luluk memperingatkan semua pihak bahwa kekerasan seksual juga dapat terjadi di lingkungan keluarga.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memang sudah dimasukkan ke dalam daftar progranm legislasi nasional prioritas untuk tahun ini. Ketua DPR Puan Maharani mengklaim masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam program legislasi nasional prioritas 2021 merupakan bukti keberpihakan negara terhadap persoalan yang dihadapi perempuan.

DPR Susun Ulang Rumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:57 0:00


Rapat dengar pendapat DPR ini akan dilanjutkan hari Selasa (13/7) untuk mendengar pandangan pakar hukum dari Universitas Indonesia, ulama perempuan dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia dan sejumlah aktivis lainnya. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG