Tautan-tautan Akses

Dinilai Berhasil, Donor Plasma Konvalesen Perlu Ditingkatkan


Terapi plasma konvalesen, donor plasma dari penyintas Covid-19 ditengarai menjanjikan penyembuhan bagi penderita virus tersebut. (Foto: AP)
Terapi plasma konvalesen, donor plasma dari penyintas Covid-19 ditengarai menjanjikan penyembuhan bagi penderita virus tersebut. (Foto: AP)

Wijayanto Samirin menerima kado istimewa pada peringatan hari lahirnya pada Agustus tahun ini. Hanya hitungan hari setelah ulang tahun, dia dinyatakan positif terinfeksi virus Covid-19. Sepanjang menjalani perawatan, dia merasakan betul bagaimana pentingnya dukungan saudara dan teman untuk proses ini. Kiriman makanan dan doa datang silih berganti.

Pengalaman ekonom Universitas Paramadina, Jakarta, itu memberinya tekad, jika diberi kesempatan sembuh, dia berjanji akan berbuat lebih untuk orang lain. Keinginan itu dia wujudkan. Begitu mendengar terapi plasma konvalesen menjanjikan penyembuhan, Wijayanto sebagai seorang penyintas langsung menyediakan diri menjadi donor.

Wijayanto Samirin dengan kantung plasma yang dia donorkan pertama kali di RSPAD Gatot Subroto 7 Desember 2020. (Foto: Courtesy/Wijayanto)
Wijayanto Samirin dengan kantung plasma yang dia donorkan pertama kali di RSPAD Gatot Subroto 7 Desember 2020. (Foto: Courtesy/Wijayanto)

“Di WA (whatsapp -red) grup, ada temannya teman saya yang membutuhkan plasma, kebetulan golongan darahnya A. Saya langsung datang ke rumah sakit sesuai informasi di WA, dan mulailah saya diobservasi, kemudian diambil plasmanya hari itu juga, karena memang pasien itu sudah parah dan sudah menunggu plasma ini,” kata Wijayanto.

Dokter yang mengambil plasma darah itu lalu berpesan agar tindakan tersebut diinformasikan di media sosial. Kepada Wijayanto, dokter mengatakan banyak pasien membutuhkan plasma, tetapi masih sangat sedikit penyintas Covid-19 yang menjadi donor. Menurut pengalaman Wijayanto, sejumlah penyintas takut menjadi donor karena berpikir antibodinya akan berkurang, takut sakit, hingga trauma datang ke rumah sakit.

Padahal, terapi plasma konvalesen memberi kesempatan sembuh lebih besar bagi banyak orang, seperti yang dialami Usman Effendi. Ketika dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Usman menerima terapi ini, tentu atas persetujuan keluarganya.

“Setelah didonorkan, saya rasakan satu dua jam pertama tidak terasa. Enam jam berikutnya, saya melihat ada perkembangan dimana saturasi saya lebih stabil, kemudian katanya indikasi kesehatan lainnya menunjukkan perbaikan,” kata Usman.

Pengalaman Wijayanto Samirin sebagai donor plasma dan Usman Effendi sebagai penerima plasma, disampaikan dalam perbincangan Angkringan Sambatan Jogja (Sonjo), Minggu (20/12) malam. Perbincangan mingguan ini telah memasuki seri ke-36, dengan mengambil tema "Donor Plasma Penyintas Covid."

Bukan Metode Absolut

Tim peneliti terapi plasma konvalesen di RSUP dr Sardjito Yogyakarta, dr Johan Kurnianda menyebut ini bukan metode baru. Dalam kasus ebola, MERS, SARS, hingga H1N1 tahun 2009, terapi ini terbukti memperbaiki hasil perawatan penderita dan menurunkan angka kematian.

Peneliti terapi plasma konvalesen RSUP dr Sardjito Yogyakarta, dr Johan Kurnianda. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Peneliti terapi plasma konvalesen RSUP dr Sardjito Yogyakarta, dr Johan Kurnianda. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Kali ini, terapi plasma juga diterapkan bagi pasien Covid-19, tentunya setelah melalui penelitian. Seperti dilakukan Johan dan timnya, yang menerapkan metode ini pada 15 pasien di Yogyakarta. Pada prinsipnya, penyintas Covid-19 memiliki antibodi dalam tubuhnya yang bisa digunakan untuk membantu pasien lain. Namun, Johan juga mengingatkan, Covid-19 adalah penyakit kompleks dengan banyak jenis perawatan, dan terapi plasma berfungsi sebagai perawatan tambahan.

“Pengobatan terapi plasma itu kalau dalam dunia kedokteran adalah pengobatan adjunctive, tambahan dari pengobatan standar yang ada. Dia bukan satu satunya yang diberikan. Diharapkan dengan begitu, pengobatan menjadi lebih efektif dan orangnya survive,” kata Johan.

Johan menjelaskan, ketika ada serangan dari luar, sistem imun standar akan melawannya. Jika gagal, ada cadangan sistem imun yang bersifat khusus. Namun, ini ibarat pedang bermata dua. Badai sitoklin kemungkinan terjadi, ketika sistem pertahanan tubuh bekerja berlebihan dan justru merusak tubuh pasien. Kondisi inilah yang harus dihindari. Terapi plasma konvalesen berfungsi menambah efektifitas pengobatan yang diberikan bagi pasien Covid-19. Diharapkan, langkah ini mampu menurunkan badai sitoklin dan meningkatkan antibodi.

Proses seseorang yang sehat terifeksi Covid-19 dan menjadi donor plasma. (Sumber: dr Johan Kurnianda)
Proses seseorang yang sehat terifeksi Covid-19 dan menjadi donor plasma. (Sumber: dr Johan Kurnianda)

Donor bagi terapi plasma memiliki berbagai kriteria, seperti berusia 17-60 tahun, tidak memiliki penyakit penyerta, sudah sembuh dari Covid-19, negatif dari virus lain, dan kadar antibodinya cukup.

Dalam penelitian di RSUP dr Sardjito, data yang dipaparkan Johan menyebut mayoritas penerima berusia di atas 50 tahun. Dari 15 pasien yang diteliti, 12 dengan penyakit penyerta dan sisanya tidak dan dalam kondisi sakit cukup parah. Pasien juga menerima antibiotik, anti radang, obat anti pembekuan darah, obat anti virus, dan terapi plasma konvalesen itu sendiri.

“Dari 15 yang diobati, 10 survive, dan 5 tidak survive. Biasanya meninggal setelah hari ke-7, dan mayoritas dengan komorbid. Yang sembuh, rata-rata pada hari ke-20. Keberhasilan pengobatan 66,7 persen, mendekati 70 persen, sesuai standar internasional pada terapi plasma konvalesen,” kata Johan.

Penelitian ini menghimpun dokter dari delapan disiplin ilmu karena Covid-19 adalah penyakit kompleks. Anggota tim peneliti yang lain, dr Teguh Triyono mengatakan, ada tiga pertimbangan penerapan terapi ini. Ketiganya adalah keselamatan pasien, kemanfaaan atau efikasinya dan keamanan donornya.

Dinilai Berhasil, Donor Plasma Konvalesen Perlu Ditingkatkan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:31 0:00

“Donor itu bisa memberikan darahnya sampai kapan? Sebetulnya tidak hanya dalam enam bulan setelah sembuh. Kalau memang donor ini memiliki antibodi yang cukup optimal, sampai lebih dari tujuh bulan boleh,” kata Teguh.

Teguh juga menyampaikan, dalam seminggu terakhir permintaan plasma konvalesen dari berbagai daerah ke RSUP dr Sardjito sangat banyak. Sayangnya, sampai saat ini plasma konvalesen dibuat sesuai kebutuhan, dan belum ada dalam bentuk simpanan yang bisa dipakai sewaktu-waktu.

Solidaritas Butuh Edukasi

Dalam situasi dimana kebutuhan plasma sangat tinggi, peran penyintas menjadi sangat penting. Disinilah sosialisasi dan edukasi menjadi penting, kata Sosiolog UGM, Wahyu Kustiningsih.

Wijayanto Samirin ketika mendonorkan plasma darahnya yang kedua kali, Senin 21 Desember 2020 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. (Foto: Courtesy/Wijayanto)
Wijayanto Samirin ketika mendonorkan plasma darahnya yang kedua kali, Senin 21 Desember 2020 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. (Foto: Courtesy/Wijayanto)

"Pengalaman individu yang dimiliki bisa menggugah empati orang untuk bisa berkontribusi lebih besar lagi, untuk menghadapi pandemi ini,” kata Wahyu.

Masyarakat Indonesia secara umum saat ini memiliki solidaritas yang tinggi. Karena berada dalam kondisi yang serba tidak pasti dan kekhawatiran yang tinggi, semua cenderung ingin melakukan sesuatu. Namun di sisi lain, Wahyu melihat bahwa pihak-pihak terkait harus mampu memberikan informasi yang benar, misalnya mengenai resiko. Terobosan apapun tentu memiliki kemungkinan dampak negatif, sehingga pengetahuan yang menyeluruh sangat dibutuhkan. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG