Tautan-tautan Akses

Ada Harga yang Harus Dibayar dari Diplomasi Vaksin China di Asia Tenggara


Seorang pengunjung mengenakan masker memperhatikan model virus corona untuk vaksin COVID-19 yang dipamerkan oleh perusahaan farmasi China Sinopharm di China International Fair for Trade in Services (CIFTIS) di Beijing, Sabtu, 5 September 2020.
Seorang pengunjung mengenakan masker memperhatikan model virus corona untuk vaksin COVID-19 yang dipamerkan oleh perusahaan farmasi China Sinopharm di China International Fair for Trade in Services (CIFTIS) di Beijing, Sabtu, 5 September 2020.

China mengumumkan proses pembuatan vaksin COVID-19nya akan segera selesai. Beijing mulai menjanjikan akses awal vaksin ini kepada negara-negara strategis bagi China. Upaya ini tampaknya merupakan cara Beijing memperkuat posisi globalnya setelah wabah COVID-19 merebak di provinsi Wuhan dan kemudian menyebar ke luar negeri.

Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, yang juga terlibat dalam konflik Laut China Selatan menjadi target kampanye diplomasi vaksin Beijing. Bulan Juli lalu, Menteri Luar Negeri China menjanjikan Filipina diprioritaskan untuk mendapatkan vaksin China. Pada bulan Agustus, Sinovac yang merupakan perusahaan farmasi besar China menandatangani kerjasama dengan BUMN farmasi Indonesia, Bio Farma. China menjanjikan 250 juta dosis vaksin kepada Indonesia setiap tahun.

Awal September lalu, anggota politbiro China Yang Jiechi melakukan lawatan ke Myanmar dan berjanji akan memprioritaskan Myanmar jika China berhasil kembangkan vaksin COVID19.

“Bagi kebanyakan pemerintahan di kawasan Asia Tenggara, terlepas dari bagaimana hubungan mereka dengan China, baik terkait isu Laut China Selatan atau isu lainnya, mengatasi pandemi pasti jadi prioritas terpenting,” ujar Gregory Polling, pakar Asia Tenggara di Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington D.C.

“Mereka bisa saja tidak suka dengan tindakan China, mereka mungkin tidak suka berdiam diri dalam perselisihan dengan China, tapi jika vaksin hanya bisa didapatkan dari China maka mereka akan lakukan apapun untuk mendapatkannya,” ucapnya kepada VOA.

“Saya sangat khawatir China akan tebang pilih dalam hal negara mana saja yang akan menerima vaksinnya,” kata Lawrence Gastin, profesor Hukum Kesehatan Global di Georgetown University kepada VOA. “Akan ada harga yang harus dibayar, yang akan menguntungkan China secara politis, secara ekonomi, dan militer. Vaksin demi keselamatan manusia tidak seharusnya dibarter demi kepentingan politik atau pengaruh semata.”

Hotspot COVID-19

Kasus COVID-19 terus meningkat di Asia Tenggara. Menurut pantauan CSIS, Indonesia dan Filipina memiliki angka kasus terkonfirmasi tertinggi di kawasan tersebut, masing-masing mencapai 200.000 dan 250.000 kasus.

Singapura mencatat hampir 60.000 kasus dan Myanmar dilaporkan mengalami peningkatan kasus COVID-19 secara tajam.

“Vaksin yang efektif tak ternilai harganya; sumber daya medis yang paling penting sepanjang sejarah modern,” kata Gostin. “Vaksin akan menyelamatkan banyak sekali nyawa dan membawa roda ekonomi kembali berputar.”

Amerika Serikat, China dan Inggris adalah negara-negara terdepan dalam adu balap global untuk mengembangkan vaksin COVID-19. China saat ini memiliki 2 projek pengembangan vaksin yang telah dinonaktifkan - yang menggunakan versi virus yang telah mati untuk mengajarkan tubuh bagaimana melindungi diri dari virus yang masih hidup - dan satu vaksin lain yang merupakan teknologi tinggi mRNA dalam fase uji klinis ke-3. Berdasarkan media pemerintah China, Beijing telah melakukan eksperimen vaksin COVID-19 terhadap kelompok beresiko tinggi sejak Juli lalu.

AS dan Inggris juga memiliki beberapa vaksin potensial yang telah masuk tahap 3 uji klinis.

Negara-negara seperti Indonesia dan Filipina, yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan atau memproduksi vaksin secara mandiri, menaruh harapan mereka pada negara lain. Pemerintahan AS, Uni Eropa, Jepang dan Inggris telah mengamankan puluhan juta dosis dari perusahaan-perusahaan farmasi besar terlebih dahulu. Menteri Kesehatan AS Alex Azar mengatakan Washington akan bagikan vaksinnya jika kebutuhan di dalam negerinya telah terpenuhi.

“Mereka harus mengantre bahkan jika mereka hendak membeli vaksin ini. Ini berarti mereka tidak memiliki pilihan selain China atau Rusia,” ujar Poling ke VOA.

Vaksin: sebuah prioritas

Terlepas dari pandemi, sikap agresif China di Laut China Selatan telah menyebabkan banyak keluhan dari AS dan pihak-pihak lain. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada Juli mengatakan bahwa eksploitasi sumber daya alam oleh China di kawasan tersebut adalah tindakan ilegal. Pada bulan Agustus, delegasi Australia mengatakan hal serupa dalam pernyataan resminya di PBB.

Negara-negara ASEAN juga telah mengukuhkan sikap awal tahun ini. Indonesia berupaya untuk promosikan Pedoman Perilaku China-ASEAN di Laut China Selatan, sebagai acuan perilaku terhadap isu-isu yang menyangkut Laut China Selatan. Vietnam, yang tahun ini menjabat sebagai ketua ASEAN, secara publik mengkritik perselisihan angkatan laut dengan militer China di kawasan tersebut.

Poling katakan inilah mengapa dirinya pesimis Vietnam akan mendapatkan akses terhadap vaksin China lebih awal.

“Vietnam menjadi negara pertama yang memesan vaksin Rusia dalam jumlah besar. Hal ini menyiratkan betapa tidak nyamannya Hanoi jika harus mengandalkan Beijing,” tambahnya.

Negara-negara ASEAN sebelumnya mengharapkan Indonesia akan ambil alih kepemimpinan untuk bernegosiasi dengan China terkait Laut China Selatan. Namun kasus COVID-19 di Indonesia yang terus meningkat menggeser prioritas Indonesia dari isu geopolitik.

“Menemukan vaksin yang efektif adalah prioritas utama,” ujar Shiskha Prabawaningtyas, ketua program Paramadina Graduate School of Diplomacy di Jakarta.

Shiskha menambahkan pemberitaan media dan masyarakat Indonesia nampak menyambut secara positif terhadap hasil perkembangan vaksin China.

“Narasi utama pers dan juga diskusi-diskusi di media sosial lebih mengarah kepada pertanyaan ‘kapan tepatnya’ vaksin (dari China) akan siap,” katanya pada VOA.

Di Filipina, popularitas Presiden Rodrigo Duterte berada di titik terendah selama ia menjabat, terutama karena respon pemerintahannya terhadap COVID-19. Dalam pidato yang disiarkan secara nasional di televisi, Duterte mengatakan ia telah meminta Presiden China Xi Jinping agar Manila diberikan prioritas untuk memperoleh vaksin. Ia menambahkan bahwa dirinya tidak akan mempermasalahkan konfilk dengan China soal Laut China Selatan.

“China mengklaim (Laut Filipina Barat), kamipun mengklaimnya juga. China punya pasukan, sedangkan kami tidak … sesederhana itu,” ujar Duterte.

Poling menyebut hal ini semakin menunjukkan bahwa tidak mungkin China tidak pamrih.

“Diplomat China tidak akan mengatakan: akui klaim kami sebagai barter untuk vaksin, namun kode ini akan dipahami secara tersirat,” kata Poling. “Akan ada ekspektasi bahwa jika Anda ingin akses awal terhadap vaksin ini, maka Anda akan menghindari garis merah China, dan konflik Laut China Selatan adalah salah satunya.”

Myanmar, yang telah dijanjikan akan diprioritaskan untuk mendapatkan vaksin, akan menyelenggarakan pemilu di bulan November mendatang.

“Aung Sang Suu Kyi dan partainya mempunyai kedekatan dengan pemerintahan China, dan China pasti ingin mereka memenangkan pemilu lagi,” kata Khin Zaw Win, Direktur Tampadipa Institute, lembaga kajian yang berbasis di Yangon.

Khin menambahkan bahwa sejumlah proyek infrastruktur besar sudah masuk tahap final antara Beijing dan Yangon, termasuk Koridor Ekonomi China-Myanmar. “Vaksin yang efektif akan semakin memperkuat kerjasama ini,” katanya.

Namun ia mengingatkan sebagian masyarakat Myanmar masih memiliki “ketidakpercayaan mendalam terhadap vaksin China dan niat China sendiri.” Ia juga menyebut bahwa ia memperkirakan Myanmar akan terus meningkatkan hubungan ekonominya dengan China jika kemudian Yangon benar-benar memperoleh akses awal untuk mendapatkan vaksin China.

Huang Yanzhong, pejabat senior Kesehatan Global di Dewan Hubungan Luar Negeri, menyambut baik sikap China yang telah menjanjikan vaksin kepada sejumlah negara. Namun ia mengingatkan agar mewasapadai masalah yang akan muncul jika vaksinnya terbukti tidak efektif.

“Ada juga resikonya,” kata Huang. “China tidak bisa mengontrol media di negara-negara ini. Jadi jika vaksinnya terbukti tidak cukup efektif atau malah memiliki reaksi buruk, kampanye vaksin publik ini justru akan berdampak buruk terhadap citra global China.”

Poling mengatakan bahwa Filipina khususnya, berpotensi “meledak” secara politik.

“Ada isu Laut China Selatan, ada ketidakpercayaan kepada China, dan popularitas Duterte berada di titik terendah selama ia menjabat akibat respon pemerintahannya terhadap COVID,” ucapnya. “Jadi jika Anda berpikir ini akan jadi bumerang atau berdampak pada kemarahan publik, mungkin saja terjadi di Manila.” [rw/dw]

Rendy Wicaksana dari VOA Indonesia dan Khin Soe Win dari VOA Burma berkontribusi dalam laporan ini.

XS
SM
MD
LG