Tautan-tautan Akses

Demostran Tuntut Pembubaran YPKP 1965


Gerakan Pemuda Anti Komunis (GEPAK) berunjuk rasa di depan kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di depan kantor Komnas HAM, Jumat (16/3). (Foto: VOA/Fathiyah)
Gerakan Pemuda Anti Komunis (GEPAK) berunjuk rasa di depan kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di depan kantor Komnas HAM, Jumat (16/3). (Foto: VOA/Fathiyah)

Gerakan Pemuda Anti Komunis (GEPAK) berunjuk rasa di depan kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka menuntut agar tidak lagi menerima pengaduan yayasan penelitian korban pembunuhan (YPKP) 1965/1966 karena lembaga itu dinilai mencoba menghidupkan kembali ideologi komunis di Indonesia. Sementara Ketua YPKP membantah tudingan tersebut.

Isu komunisme belakangan ini kian santer di tanah air. Sebagian pihak di Indonesia mencemaskan adanya gerakan kebangkitan komunis di Indonesia.

Gerakan Pemuda Anti Komunis (GEPAK) pada Jumat (16/3) menggelar unjuk rasa di depan kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta. Mereka meminta lembaga ini tidak berpihak kepada gerakan komunis.

Dalam orasinya, Ketua GEPAK Rahmat Hispran menjelaskan YPKP 1965 mencoba menghidupkan lagi ideologi komunis dan mendukung bangkitnya gerakan komunis di Indonesia.

"Segera bubarkan YPKP 1965 yang diduga merupakan salah satu ormas pendukung komunis yang ada di Indonesia. YPKP 1965 kemudian eksis dengan gerakan-gerakan komunis, eksis dengan gerakan-gerakan untuk mengembangkan dan menghidupkan kembali ideologi komunis di Indonesia," ujar Rahmat.

Rahmat menyebutkan YPKP 1965 aktif dalam beragam kegiatan mengenai peristiwa 1965/1966, seperti seminar yang dilakukan di sebuah hotel di Jakarta Selatan dan kegiatan di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia beberapa wakytu lalu. Dia menuding YPKP 1965 berupaya mengubah sejarah dengan menjadikan Tentara Nasional Indonesia sebagai pelaku dan komunis sebagai korban.

Tiga orang mewakili pengunjuk rasa, termasuk Ketua GEPAK Rahmat Hispran, akhirnya diterima masuk ke dalam dan ditemui dua staf Komnas HAM . Mereka kecewa karena tidak ada satu pun komisioner Komnas HAM menemui mereka karena tidak ada di kantor.

Dalam pertemuan dengan dua staf Komisi Nasional HAM, Rahmat meminta agar tuntuan mereka untuk pembubaran YPKP 1965 ditanggapi secara positif oleh lembaga itu. Kalau tidak, dia mengancam akan menduduki kantor Komnas HAM.

Staf Komnas HAM menyatakan akan menindaklanjuti laporan tersebut ke pimpinan

Menanggapi tuntutan dari GEPAK tersebut, Ketua YPKP 1965 Bedjo Untung kepada VOA mengatakan desakan itu merupakan sikap ngawur dari orang atau kelompok yang tidak memahami persoalan. Dia menjelaskan YPKP 1965 itu adalah sebuah organisasi pendampingan korban kejahatan kemanusiaan pada 1965 dan berbentuk yayasan serta berbadan hukum.

Bedjo menegaskan YPKP 1965 dibentuk untuk ikut mencerdaskan bangsa, berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

"Tidak ada satu patah kata pun untuk membela atau membangkitkan ideologi komunis atau PKI. Dalam sepak terjangnya, YPKP memang fokus kepada perjuangan penegakan hak asasi manusia. Karena memang YPKP didirikan untuk pelurusan sejarah 1965," tukas Bedjo.

Demostran Tuntut Pembubaran YPKP 1965
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:27 0:00

Karena itu, lanjut Bedjo, tuntutan untuk membubarakan YPKP 1965 itu merupakan desakan yang salah alamat. Dia menekankan YPKP juga tidak mungkin dibubarkan kecuali organisasi ini melanggar undang-undang yang berlaku di Indonesia. Bahkan dia menambahkan YPKP 1965 sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Lebih lanjut Bedjo mengatakan YPKP bertugas untuk mengungkapkan kebohongan sejarah yang diciptakan oleh rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Selama ini YPKP 1965 menyatakan sikap menolak konstruksi sejarah palsu buatan rezim Orde Baru soal Gerakan 30 September 1965 yang masih digunakan negara sampai saat ini dan menolak segala peringatan yang dilakukan pemerintah perihal Gerakan 30 September 1965 yang diasosiasikan dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia.

Selain itu, YPKP 1965 menuntut negara mengungkap kebenaran sejarah soal peristiwa 1965-1966, presiden meminta maaf kepada korban atas kesalahan negara yang pernah melakukan penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan terkait dengan kejahatan kemanusiaan 1965-1966, pemulihan hak-hak korban, negara harus bertanggung jawab di hadapan hukum, dan negara mesti menjamin agar kejahatan kemanusiaan serupa tidak terulang. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG