Tautan-tautan Akses

BNPT: Jumlah Anggota dan Simpatisan Organisasi Teroris Capai 17.000 Orang


Suasana penggeledahan rumah terduga teroris oleh Densus Anti teror di Pajang Laweyan Solo. (Foto: ilustrasi/dok: VOA)
Suasana penggeledahan rumah terduga teroris oleh Densus Anti teror di Pajang Laweyan Solo. (Foto: ilustrasi/dok: VOA)

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperkirakan anggota, keluarga dan simpatisan beberapa organisasi teroris di Indonesia saat ini jumlahnya sekitar 17 ribu orang. Estimasi ini lebih rendah ketimbang 20 ribuan pada 2019. 

Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Ahmad Nurwahid kepada VOA, Selasa (21/9) mencontohkan untuk Jamaah Islamiyah saja, berdasarkan keterangan pemimpinnya Para Wijayanto, yang tercatat sebagai anggotanya sebanyak enam ribu orang. Ini belum ditambah dengan jumlah simpatisannya.

"Belum lagi JAD (Jamaah Ansarud Daulah), kemudian kelompok-kelompok lain, misalnya Jamaah Ansarul Khilafah (JAK), kemudian Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), kemudian Forum Jihad Islam (FJI). Makanya kelompok-kelompok radikal, termasuk Majelis Mujahidin, itu juga mendukung aktivitas gerakan ini. Jadi estimasinya keseluruhan jaringan teror maupun simpatisan sekitar itu, hasil analisa kami dengan para penyidik," kata Ahmad.

Kalau dilihat dari kegiatan mereka di dunia maya, lanjut Ahmad, para anggota dan simpatisan beragam kelompok teror di Indonesia sudah melakukan takfiri atau mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat. Mereka juga sudah menyatakan dirinya sebagai sosok antipemerintah, pro-khilafah atau anti-Pancasila.

Ahmad menambahkan anggota dan simpatisan berbagai kelompok teror ini juga selalu mengunggah dukungan terhadap jaringan teroris internasional, seperti ISIS (Negara islam Irak dan Suriah) dan Al-Qaida.

Tokoh ISIS Indonesia, Oman Rochman alias Aman Abdurrahman saat tampil di pengadilan di Jakarta, 22 Juni 2018.
Tokoh ISIS Indonesia, Oman Rochman alias Aman Abdurrahman saat tampil di pengadilan di Jakarta, 22 Juni 2018.

Menurut Ahmad, BNPT bersama Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri terus memonitor anggota dan simpatisan tersebut.

Namun skala prioritasnya adalah mereka yang memang sudah masuk ke dalam organisasi teroris dengan indikatornya adalah berbaiat kepada pemimpin atau ustadnya, terlibat dalam pengajian eksklusif, menjalani latihan perang dan sebagainya.

Kalau indikator-indikator itu sudah terpenuhi maka Densus 88 menangkap mereka sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Sejak beleid ini berlaku tiga tahun lalu, sudah 1.300-an terduga teroris ditangkap.

Ahmad menjelaskan pendekatan yang dilakukan pihak keamanan terhadap anggota dan simpatisan organisasi teroris di Indonesia adalah melalui pendekatan kontra intelijen, pendekatan deradikalisasi, pendekatan ideologi, pendekatan kontra narasi, dan pendekatan kemanusiaan.

Ahmad menekankan radikalisme dan ekstremisme merupakan paham yang menjiwai terorisme. Keduanya adalah paham yang merupakan fase menuju aksi terorisme. Tapi tidak semua paham radikal atau ekstrem itu masuk jaringan teror atau melakukan teror.

Berbicara soal isu radikalisme, menurut Ahmad sudah mengalami penurunan secara signifikan. Yang masuk dalam indeks potensi radikalisme adalah sudah pro khilafah, anti-Pancasila, antipemerintah yang sah.

Anti itu berarti membenci negara dan pemerintahan yang sah dengan membangun rasa ketidakpercayaan di kalangan masyarakat terhadap pemerintah.

Indikator lainnya adalah sikap intoleran terhadap keberagaman, eksklusif, anti terhadap kebudayaan dan kearifan lokal.

Ahmad menambahkan, dengan memakai skala 0-100, pada 2017, indeks potensi radikalisme di Indonesia mencapai skor 55. Kemudian di 2019, skornya melorot ke angka 38. Lalu akhir tahun lalu turun lagi menjadi 14.

Penurunan ini dipicu oleh penangkapan secara masif terduga teroris, pengungkapkan pendanaan terorisme.

Menurut Ahmad, setelah pasukan keamanan berhasil menewaskan pemimpin MIT Ali Kalora dan rekannya jaka Ramadan, maka tersisa empat lagi anggota MIT, yakni Askar alias Jaid alias Pak Guru, nae alias Galuh alias Mukhlas, Ahmad gazali alias Ahmad Panjang, dan Suhardin alias Hasan Pranata.

Strategi Paling Efektif

Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar mengatakan strategi paling efektif untuk menangani terorisme di Indonesia seperti yang dicontohkan oleh Kepala Densus 88 pertama Surya Dharma Salim yakni pendekatan kepada pihak keluarga teroris dan itu yang paling berhasil.

"Pendekatan keluarga itu sangat esensial karena yang dipikirkan oleh narapidana terorisme ialah keluarganya, anak istrinya, adik abangnya. Itu yang luput dari program BNPT setahu saya," ujar Al Chaidar.

Al Chaidar, Pengamat Terorisme. (Foto: VOA/ Stanislaus Riyanta)
Al Chaidar, Pengamat Terorisme. (Foto: VOA/ Stanislaus Riyanta)

Pendekatan itu berupa pemberian bantuan, melakukan pendekatan secara emosional kultural. Bahkan Surya Dharma Salim sudah melakukan kontra wacana.

Dia mencontohkan kontra wacana itu seperti analisa jihad versis teroris dilawan dengan analisa jihad yang benar dan komprehensif.

Al Chaidar menambahkan program BNPT masih berorientasi pada pendekatan lama tentang pendekatan lunak dan keras. kalau pendekatan baru adalah pendekatan multisektor dan itu yang harus dilakukan dalam penanggulangan terhadap terorisme.

Menurut Al Chaidar, Jamaah Islamiyah sudah beralih dari jihad kepada dakwah dan kegiatan kemanusiaan. Jadi Jamaah islamiyah sudah tidak bisa lagi dianggap sebagai organisasi teroris. Sedangkan JAD, JAK, MIT, dan Organisasi Papua Merdeka masih termasuk organisasi teroris.

Al Chaidar mengatakan yang masih berafiliasi kepada ISIS sudah merasa malu karena Taliban yang berkuasa di Afghanistan. Sedangkan ISKP (Negara islam provinsi Khorasan) takluk.

Al Chaidar menyimpulkan organisasi-organisasi teroris di Indonesia sudah mulai melemah karena tidak lagi menemukan basis ideologis yang lebih jelas. Penangkapan para pentolan teroris secara masif juga berkontribusi terhadap melemahnya gerakan terorisme di Indonesia. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG