Tautan-tautan Akses

BI Pertahankan Suku Bunga Acuan pada Level 5,75 Persen


Logo Bank Indonesia di Gedung BI, Jakarta. (Foto: dok).
Logo Bank Indonesia di Gedung BI, Jakarta. (Foto: dok).

Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan pada level 5,75 persen. Langkah ini diyakini akan dapat menjaga stabilisasi perkonomian Indonesia.

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) atau suku bunga acuan BI (BI Rate) sebesar 5,75 persen. Selain itu RDG BI juga menetapkan suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50 persen.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan keputusan tersebut konsisten dengan upaya untuk menurunkan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) dalam batas aman, dan mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik. BI, kata Mirza, akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait, untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memperkuat ketahanan eksternal yaitu dengan mendorong kinerja ekspor dan menurunkan impor.

Hal tersebut disampaikan Mirza dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta Pusat, Selasa (23/10).

BI Pertahankan Suku Bunga Acuan pada Level 5,75 Persen
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:05:15 0:00

Selain itu, Bank Sentral pun akan terus mengamati kondisi perekonomian global, seperti salah satunya memperhatikan pergerakan tren suku bunga di Amerika Serikat (AS). Mirza memperkirakan, untuk tahun ini The Fed diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuan satu kali lagi pada akhir tahun, dan tiga kali untuk tahun 2019, serta satu kali pada 2020. Indonesia sendiri sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin (bps) sejak Mei 2018.

"Jadi suku bunga Amerika, suku bunga negara tetangga dan bagaimana kondisi CAD kita masih menjadi perhatian dari BI. Intinya bahwa kondisi di mana suku bunga Amerika masih meningkat, dan negara-negara tetangga suku bunganya juga masih meningkat, dan di mana aliran modal selalu melihat mengenai kondisi dari CAD, kondisi dari neraca pembayaran suatu negara, maka BI pasti kebijakannya akan tetap ke arah menjaga ketahanan neraca pembayaran Indonesia," kata Mirza.

BI juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini akan berkisar pada level 5,0-5,4 persen. Hal ini, kata Mirza, disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2018 tidak sekuat perkiraan, terutama karena dipengaruhi oleh penurunan ekspor neto. Meski begitu, konsumsi tetap baik, didukung dengan daya beli yang terjaga dan belanja terkait pemilu serta keyakinan konsumen yang tetap tinggi. Investasi masih akan tumbuh tinggi, ditopang baik investasi bangunan maupun non bangunan.

"Namun, kenaikan pertumbuhan ekspor tidak sekuat proyeksi, di tengah impor yang tumbuh tinggi. Pertumbuhan ekspor lebih terbatas, disebabkan kinerja ekspor komoditas andalan seperti pertanian dan pertambangan yang tidak sesuai perkiraan. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan berada pada kisaran bawah 5,0 persen-5,4 persen," lanjutnya.

BI juga mencatat, sampai 22 Oktober 2018 rupiah sudah terdepresiasi sebesar 10,65 persen secara year to date (ytd). Mirza mengatakan pelemahan rupiah ini masih lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan mata uang negara lainnya seperti Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. BI pun akan terus melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai nilai fundamentalnya, dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar, didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara (tengah) memberikan keterangan pers terkait BI Rate, di Gedung BI, Jakarta Pusat, Selasa (23/20). (Foto: VOA/Ghita).
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara (tengah) memberikan keterangan pers terkait BI Rate, di Gedung BI, Jakarta Pusat, Selasa (23/20). (Foto: VOA/Ghita).

Sementara itu Ekonom David Sumual mengatakan keputusan BI untuk menahan BI ratesudah tepat. Dia memprediksikan BI akan menaikkan BI ratepada November atau Desember nanti sebesar 25-50 bps.

Meski begitu, menurutnya dalam jangka waktu menengah BI harus menaikkan BI rateuntuk membuat aset dalam bentuk rupiah cukup menarik di kalangan investor. Pasalnya The Feddiperkirakan akan terus menaikkan suku bunganya, dan perang dagang antara AS dan China masih akan bergejolak sampai tahun depan.

Selain itu yang perlu diperhatikan adalah defisit transaksi berjalan. Semakin besar defisitnya, kata David, maka cadangan devisa pun akan semakin menipis. Inilah yang haru dijaga utamanya oleh pemerintah, tambahnya.

"Tapi memang kita harus waspada defisit transaksi berjalan akan cukup besar, dan ini perlu diketahui juga oleh pasar karena takutnya ekspektasinya rendah di kuartal tiga tapi kelihatan masih akan tinggi, yaitu tiga persen terhadap PDB, mungkin sekitar 3,3 persen. Dan mungkin dalam beberapa tahun terakhir ini adalah salah satu yang tertinggi sejak 2015, untuk kuartal tiga ini," jelas David. [gi/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG