Tautan-tautan Akses

Apa Dampak Penutupan Pemerintahan Terhadap Warga Indonesia di AS?


Sambal food truck milik warga Indonesia, Sonny Setiantoko di Washington, D.C. (Dok: VOA)
Sambal food truck milik warga Indonesia, Sonny Setiantoko di Washington, D.C. (Dok: VOA)

Warga Indonesia di wilayah Washington, D.C. ikut terkena dampak penutupan sebagian kegiatan pemerintahan AS, dengan ikut dirumahkan tanpa gaji. Pengusaha food truck asal Indonesia juga mengalami penurunan penjualan. Bagaimana pendapatmu? Yuk, tulis di bagian komentar.

Penutupan sebagian kegiatan pemerintahan atau government shutdown yang berlarut-larut di Amerika Serikat sudah memasuki minggu ke empat. Ini merupakan penutupaan pemerintahan terlama dalam sejarah Amerika yang berdampak kepada 800 ribu pegawai pemerintah yang terpaksa dirumahkan atau harus bekerja tanpa dibayar.

Warga Indonesia, Nina Marzoeki, adalah salah satunya. Dalam 13 tahun terakhir ini, Nina bekerja sebagai karyawan paruh waktu di salah satu kebun binatang tertua di Amerika, Smithsonian's National Zoo, yang berlokasi di Washington, D.C. Kebun binatang ini mendapat sokongan biaya dari pemerintah untuk beroperasi.

Walau tidak seluruh karyawan kebun binatang dirumahkan, khususnya mereka yang bertugas mengurus binatang-binatang di sana, iya merasakan dampak yang sangat besar terhadap keuangan hidupnya. Ia harus menerima kenyataan tidak digaji, karena hanya bekerja tiga hari dalam seminggu.

“Dampaknya kerasa banget,” ujar Nina saat dihubungi oleh VOA Indonesia.

“Kalau yang full-time mungkin ada bantuannya, tapi kalau kayak Nina enggak,” tambah Nina.

Nina Marzoeki (tengah), karyawan Smithsonian's National Zoo saat bersama kru VOA (dok: VOA)
Nina Marzoeki (tengah), karyawan Smithsonian's National Zoo saat bersama kru VOA (dok: VOA)

Ini bukan pertama kalinya Nina terimbas ‘government shutdown.’ Ia pernah juga merasakan dampaknya saat terjadi penutupan pemerintahan tahun 2013, yang berlangsung selama 16 hari lamanya.

“Teman Nina (bilang), ‘Oh my God, gue enggak bisa bayar bill nih, tertunda.’ Udah jelaslah kalau masalah finansial, apalagi yang single mom gitu kan,” ceritanya lagi.

Untuk mencari pekerjaan lain pun tidak mudah. Untuk mengatasi rasa frustrasi yang melanda, Nina bercerita kalau temannya kemudian memilih untuk keluar rumah dan berlibur.

“Jalan ke New York, jalan ke mana. Walaupun tidak ada uang. Ya, enggak ada pilihan mereka,” paparnya.

Nina sendiri berusaha untuk mengambil sisi positif dari penutupan pemerintahan ini dengan meluangkan lebih banyak waktunya bersama keluarga, khususnya anak-anak yang tengah libur akhir tahun.

“Ya bosan di rumah, biasa keluar. Tapi ada anak-anak ya senang juga. Sebenarnya anak-anak kan masih libur winter break kan, jadi sekolahnya masih libur. Terus ketambah snow, jadi (libur) juga. Kehiburnya gitu aja. Cuman kalau sudah mikir melihat ke bank, ‘aih, enggak ada uang masuk nih,” ujarnya.

Selama tutupnya sebagian kantor pemerintah Amerika ini banyak supermarket dan restoran yang menawarkan makanan gratis bagi mereka yang terkena dampaknya. Namun, Nina memilih untuk tidak pergi seperti yang dianjurkan anak-anak dan temannya.

“Kali ada orang yang lebih perlu, biarin aja deh. (Mama) udah cukup telor,” cerita Nina saat menanggapi anjuran anak-anaknya.

Untungnya Nina memiliki pekerjaan sampingan, yaitu sebuah bisnis barang-barang promosi dan suvenir yang ia dirikan bersama temannya, yang ia lakoni dari rumah. Sejauh ini bisnisnya tidak terdampak oleh penutupan pemerintah.

“Kliennya memang konsisten ya. Contohnya klien (saya) AU (American University) kan jadi ya merchandise AU ya tetap order aja,” ujarnya.

Taman-taman nasional di Amerika yang dibiayai oleh pemerintah juga menjadi klien Nina. Namun, biasanya pemesanan banyak mereka lakukan di musim panas atau pertengahan tahun.

“Jadi kalau winter emang kalau dari government kayak dari park-park memang enggak begitu banyak. Tapi kalau summer meemang iya kita mulai lagi, karena buat summer camp, banyak kegiatan kan untuk summer. Jadi mereka selalu pesan t-shirt atau tas backpack atau water bottle, sometime mereka pesan frisbie yang buat main di luar,” paparnya.

Bisnis Food Truck Indonesia Sepi Pengunjung

Dampak penutupan pemerintah ikut dirasakan olen Andre Masfar, pemilik food truck makanan khas Indonesia, Java Cove, yang beroperasi di wilayah Washington, D.C sejak tahun 2015 lalu.

Memang di tengah musim dingin di Amerika seperti sekarang ini pendapatan Java Cove tidak sebanyak di musim panas, dimana banyak orang yang lebih memilih keluar untuk makan siang, ditambah juga dengan kehadiran para turis yang datang dari berbagai negara.

Dewi dan Andre Masfar, pemilik "Java Cove Indonesian Kitchen" food truck di Washington, D.C (dok: VOA)
Dewi dan Andre Masfar, pemilik "Java Cove Indonesian Kitchen" food truck di Washington, D.C (dok: VOA)

Namun, ditambah dengan adanya penutupan pemerintah, penjualannya kini jauh lebih berkurang.

“Paling banyak 40 served. Tadi cuman 32,” ujar Andre Masfar kepada VOA Indonesia.

“Kalau summer bisa 80an atau kalau bagus banget, bisa tembus 100,” tambahnya.

Di Washington, D.C. biasanya pemilik food truck harus mengikuti undian rotasi untuk mendapatkan tempat-tempat yang strategis. Tetapi, di masa penutupan pemerintah seperti sekarang ini, sulit untuk mendapatkan keuntungan jika kebagian tempat di daerah gedung kantor pemerintahan.

“Semakin sepi saja. Minggu lalu orang masih banyak shopping. Mungkin karena habis Christmas ya, banyak yang (mengembalikan) barang atau turis yang lapar karena museum atau tempat-tempat di (Washington, D.C.) pada tutup,” cerita Andre yang menjual paket makanan seperti nasi, rendang, atau sate seharga 11 dollar AS atau sekitar 155 ribu rupiah per porsinya.

Bulan Januari ini Andre memilih untuk tidak mengikuti undian, sehingga bisa memilih tempat yang lebih strategis. Biasanya lokasi yang diundi adalah tempat-tempat dekat kantor pemerintahan.

Sebagai contoh, jika mendapat undian untuk berjualan di daerah yang banyak terdapat kantor pemerintahan, seperti di dekat departemen luar negeri negeri AS, L’enfant Plaza, di Washington, D.C., biasanya akan sepi pengunjung.

Food Truck Sate Truck milik warga Indonesia di Washington, DC (Dok: VOA)
Food Truck Sate Truck milik warga Indonesia di Washington, DC (Dok: VOA)

“(Penjualan di) L’enfant turun 95 persen,” kata Sonny Setiantoko, pemilik dua food truck bernama Sambal dan Sate Truck yang juga beroperasi di wilayah Washington, D.C., kepada VOA.

Sambal dan Sate Truck ini juga menjual makanan Indonesia seperti mie ayam, sate, dan tempe. Sonny mengaku penjualan selama tutupnya pemerintah Amerika ini turun 30 hingga 40 persen.

“Sepi saja, enggak seperti biasa. Enggak ada pegawai (yang membeli),” ujar Yunus yang juga bekerja untuk Sambal dan Sate Truck kepada VOA.

Java Cove food truck saat melayani pelanggan di L'enfant Plaza, Washington, D.C. (dok: VOA)
Java Cove food truck saat melayani pelanggan di L'enfant Plaza, Washington, D.C. (dok: VOA)

Untuk menghemat biaya operasional di kala sepi pelanggan, para pengusaha food truck ini banyak yang akhirnya bekerja sendirian tanpa bantuan karyawan lain. Jika harus mempekerjakan karyawan, Andre biasanya harus membayar 90 dollar AS atau sekitar 1,2 juta rupiah untuk membantunya selama minimal enam jam.

Harapan Andre? Semoga penutupan pemerintahan di Amerika ini segera berakhir.

“Minggu depan enggak tahu deh, semakin sepi mungkin. Mudah-mudahan shutdown cepat selesai, deh.” [di]

XS
SM
MD
LG