Tautan-tautan Akses

Amerika Mungkin Lebih Ramah, Tetapi Diyakini Tak Banyak Berubah


Presiden Jokowi ketika bertemu dengan Wakil Presiden AS Joe Biden di kediamannya Washington DC, AS, 27 Oktober 2015. (Foto: Courtesy/Setpres RI)
Presiden Jokowi ketika bertemu dengan Wakil Presiden AS Joe Biden di kediamannya Washington DC, AS, 27 Oktober 2015. (Foto: Courtesy/Setpres RI)

Setelah Joe Biden memenangkan pemilihan Presiden Amerika Serikat, banyak harapan muncul khususnya menyangkut kebijakan luar negeri di masa depan. Meski diyakini akan menampilkan wajah diplomasi yang lebih ramah, sejumlah pengamat melihat dasar kebijakan Amerika Serikat sebenarnya tidak akan banyak berubah.

Dalam konteks perang misalnya, sikap Amerika Serikat cenderung sama, meskipun ada perubahan kekuasaan dari Partai Republik ke Demokrat atau sebaliknya. Kepala Departemen Hubungan Internasional, Fisipol, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Nur Rachmat Yuliantoro meyakini, kebijakan pemerintahan didasari kepentingan negara itu sendiri.

“Saya bisa mengatakan, bahwa sebenarnya Partai Republik dan Partai Demokrat dalam konteks politik luar negeri tidak terlalu jauh berbeda. Sama-sama menekankan kepentingan nasional Amerika Serikat. Kalau kepentingan nasionalnya memang menghendaki perang, maka tidak peduli itu Republik tidak peduli Demokrat, maka Amerika Serikat mungkin akan berperang,” kata Nur Rachmat kepada VOA.

Presiden terpilih AS Joe Biden dan Wakil Presiden terpilih Kamala Harris di markas transisi di Wilmington, Delaware. (Foto: Reuters)
Presiden terpilih AS Joe Biden dan Wakil Presiden terpilih Kamala Harris di markas transisi di Wilmington, Delaware. (Foto: Reuters)

Analisasi itu didasarkan bukti sejarah. Perang Teluk terjadi di masa George Bush senior, kemudian kampanye Perang Global Melawan Teorisme digawangi George Bush junior, dan keduanya tokoh Republik. Namun, Obama yang berasal dari Demokrat juga menggelar perang di Libya dan mengintensifkan pasukan di Afghanistan.

Bagi Indonesia, sikap politik Amerika Serikat semacam itu juga bisa membawa manfaat. Terkait konflik di Laut China Selatan, misalnya, karena posisi China dan Amerika Serikat masing-masing memiliki kepentingan, maka kedua pihak saling menahan diri. Indonesia berada dalam posisi yang diuntungkan, karena keterlibatan Amerika Serikat di kawasan itu menjadi semacam jaminan ketiadaan konflik. Dalam konteks ini, lanjut Nur Rachmat, Amerika Serikat akan mempengaruhi sistem internasional, di mana dia mampu menciptakan situasi bebas konflik maupun rentan konflik.

Meski tidak banyak berubah dalam konteks kebijakan luar negeri, Nur Rachmat berharap Biden menjadi sosok yang sangat berbeda dengan Trump. Amerika Serikat nantinya akan menjadi benign hegemon.

Barack Obama dan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jawa Barat, 30 Juni 2017. (Foto: AP)
Barack Obama dan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jawa Barat, 30 Juni 2017. (Foto: AP)

“Artinya penguasa tetapi kemudian juga memperhatikan kepentingan-kepentingan dari negara-negara di mana negara Amerika Serikat mempunyai relasi. Kalau dulu di masa Obama ada Pivot to Asia, Obama mengarahkan politik luar negerinya ke Asia Pacifik, saya kira Biden tetap mengambil kebijakan itu, apalagi dengan kekuatan China yang semakin membesar,” tambah Nur Rachmat.

Nur Rachmat mengatakan, banyak harapan Biden tidak hanya mampu menyatukan kembali masyarakat Amerika Serikat, tetapi menjalankan peran yang sama dalam skala global. Presiden berumur 78 tahun itu harus bisa menjadi perekat bagi komunitas internasional.

Zuhairi Misrawi dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Zuhairi Misrawi dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Kolumnis dan pengamat politik Timur Tengah, Zuhairi Misrawi termasuk yang menyimpan harapan bagi peran Amerika Serikat di kawasan itu. Penunjukan Anthony Blinken, diplomat senior yang juga bekerja di era Obama, menjadi salah satu penandanya. Blinken, dinilai Zuhairi, adalah diplomat yang percaya bahwa diplomasi harus berjalan secara setara, terbuka dan transparan. Blinken juga berperan dalam kesepakatan nuklir Iran di masa Obama. Ketika itu, pemerintah Iran setuju menandatangani kesepakatan karena menilai ada proses saling menghormati dalam penyusunannya.

“Biden setelah terpilih mengatakan bahwa dia akan memulai kembali perbincangan kesepakatan itu. Kenapa Biden dan Obama meletakkan hubungan yang setara dengan Iran? Tidak lain karena generasi pemerintahan baru Amerika Serikat percaya bahwa Iran merupakan satu kekuatan besar di Timur Tengah,” kata Zuhairi.

Zuhairi menyampaikan itu dalam seminar "Kerja Sama Islam pasca Pemilu AS 2020:" Analisis terhadap Ekstrimisme dan Iranophobi. Seminar diselenggarakan Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (24/11).

Zuhairi menambahkan, diakui atau tidak, Iran mempunyai kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian dalam kebudayaan. Tiga faktor itu yang membuat Iran mampu bertahan sejak embargo diberlakukan menyusul Revolusi 1979. Bahkan di tengah pandemi kali ini, Iran tetap mampu menunjukkan kekuatan ekonominya yang mandiri. Tepat jika kemudian Amerika Serikat memandang Iran sebagai salah satu kekuatan penting di Timur Tengah yang berperan dalam proses perdamaian.

Masalahnya, kata alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir ini, negara-negara muslim di Kawasan tersebut justru bersikap kurang ramah terhadap Iran. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan terakhir Sudan menunjukkan sikap kurang bersahabat. Tantangan ke depan, lanjut Zuhairi, bukanlah hubungan Amerika dan Iran itu sendiri, tetapi justru sikap politik negara-negara Islam di sekitarnya yang akan menjadi ganjalan.

Amerika Mungkin Lebih Ramah, Tetapi Diyakini Tak Banyak Berubah
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:33 0:00

Kondisi ini tidak lepas dari pemain utama lain dalam peta politik Timur Tengah, yaitu Israel. Negara itu akan menghadapi pemilu, dan kekalahan Trump akan menjadi salah satu faktor penting. Peta hubungan Amerika Serikat, Israel, Iran dan negara-negara Islam ke depan akan menjadi lebih menarik. Tidak mudah bagi Biden dan Blinken, untuk menghadapi lobi Israel, demi menciptakan kawasan damai di masa depan.

Pengamat politik dari UIN Raden Saleh, Palembang, Ahmad Syukri dalam diskusi yang sama menyebut, kebijakan Amerika Serikat akan cenderung bergesekan dengan kepentingan dunia Islam, khususnya dalam isu Israel dan Palestina. Siapapun yang menjadi presiden Amerika Serikat, kebijakan terkait dua negara ini hampir sama, seolah ada komitmen tersendiri, kata Syukri.

Ahmad Syukri dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Ahmad Syukri dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Dalam kondisi ini, Syukri melihat posisi Indonesia akan cukup strategis dalam isu Israel dan Palestina, kaitannya dengan peran Amerika Serikat. Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel tetapi berhubungan baik dengan Amerika Serikat dan Palestina.

“Indonesia bisa menjadi mediator pedamaian Israel dan Palestina, tentunya dengan sponsor Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri atau negara lain bisa menjadikan suatu negara sebagai mediator perdamaian dengan melihat apakah negara tersebut pantas atau tidak, dan bisa memberikan solusi perdamaian terkait konflik yang terjadi di Timur Tengah,” kata Syukri. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG