RUU P-KS: Kandas di DPR, Tetapi Populer di Anak Muda

  • Nurhadi Sucahyo

Para aktivis gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan menunjukkan spanduk dalam unjuk rasa memprotes kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di kampus, di luar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP)

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) dihapus dari daftar Prolegnas Prioritas 2020. Meski kandas di DPR, untuk sementara waktu, isu kekerasan seksual ternyata mulai dilirik oleh kaum muda.

Menerima aduan perempuan korban kasus kekerasan bukan hal baru bagi Eti Oktaviani. LBH Semarang, Jawa Tengah, di mana Eti aktif melakukan advokasi, menerima 23 aduan kasus kekerasan pada 2019. Yang memprihatinkan, perempuan korban kekerasan datang bukan untuk meminta bantuan hukum, tetapi sekadar berbagi cerita.

BACA JUGA: Apa Landasan Penetapan Prolegnas 2020?

“Ibu ini datang ke kantor hanya menangis, tetapi dia tidak mau memproses kasusnya, karena akan dibilang akan merusak tatanan rumah tangga. Dia ketakutan, ketika ayah dari anaknya adalah seorang terpidana.Meski dia korban, dia tidak mampu dan tidak mampu melakukan pelaporan,” kataEti.

Eti mengungkapkan itu dalam diskusi “Menguak Kesesatan Isu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Diskusi diselenggarakan oleh Jaringan Anti Kekerasan Seksual Jawa Tengah pada Minggu (2/8).

Pegiat hukum LBH Semarang, Jawa Tengah, Eti Oktaviani. (Foto: screenshot)

Eti memaparkan, LBH Semarang telah menerima 17 aduan kasus selama Januari hingga Juli 2020. Dua belas kasus dari jumlah itu adalah kekerasan dalam rumah tangga. Namun, para korban tidak mau kasus tersebut diproses secara hukum.

Ada juga kasus kekerasan seksual di dunia maya,di mana mahasiswi atau pelajar dipaksa mengirimkan konten pribadi yang kemudian disebar tanpa persetujuan korban. Akibatnya, mereka mengalami perundungan dan stres. Dalam catatan LBH Semarang, ada kecenderungan korban kekerasan seksual justru dipersalahkan oleh lingkungan atau dipaksa menikah. Yang sering terjadi juga, korban akhirnya mengalami perundungan, mengalami pengulangan tindak kekerasan, dan sulit mengakses keadilan.

BACA JUGA: Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tak Jadi Prioritas 2020?

Arianti Ina Restiani Hunga juga memiliki pengalaman yang sama. Akademisi yang juga pegiat Pusat Gender dan Anak, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah ini mengatakan dalam diskusi yang sama, perguruan tinggi adalah salah satu tempat di mana kekerasan seksual aman bersembunyi.

Menurut Arianti, banyak kasus menimpa mahasiswi dan tidak bisa diselesaikan karena berbagai alasan. Nama baik lembaga sering jadi alasan untuk menghadang laporan kekerasan seksual.

Your browser doesn’t support HTML5

RUU P-KS :Kandas di DPR, Tetapi Populer di Anak Muda

“Orang merasa, perguruan tinggi tempat belajar moralitas. Ada juga pertimbangan nama baik, pertimbangan pasar takut nanti jumlah mahasiswanya turun. Campur-campur alasannya,” kata Arianti.

Di kampus, tambah Arianti, korban kekerasan belum tentu mau melapor, karena pelakunya adalah dosen, pejabat lembaga kemahasiswaan, pembimbing, pimpinan program dan seterusnya. Ada ketakutan,proses kuliah tidak selesai sesuai yang diharapkan jika membawa kasus itu ke muka hukum.

Akademisi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, Arianti Ina Restiani Hunga. (Foto: screenshot)

Kasus-kasus semacam itulah yang membuat Eti danArianti bersikukuh, Indonesia membutuhkan undang-undang yang lebih berpihak pada korban. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS)menjadi jawabannya. Sayang, upaya merealisasikannya kandas di tengah jalan,setelah DPR menghapusnya dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini.

Perbedaan Pandangan Politisi

Anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa,Daerah Pemilihan Jawa Tengah, Luluk Nur Hamidah, memandang penting dilakukan survei mengenai pandangan politik setiap anggota DPR terhadap RUU P-KS ini. Survei itu diyakini mampu mengukur kekuatan politik para anggota DPR yang memiliki pandangan sejalan dengan tujuan RUU P-KS tersebut.

BACA JUGA: ...dan Korban Kekerasan Seksual Terus Bertambah

Karena keputusan di DPR ditentukan olehmasing-masing fraksi, Luluk berpendapat pendekatan perlu dilakukan kepada mereka.

“RUU ini telah menerima begitu banyak kesalahpahaman. Bagus juga kalau suatu ketika kita punya satu forum denganorang-orang yang perlu diberi pencerahan, meski belum tentu mereka satu forum dengan kita,” kata Luluk.

Anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Luluk Nur Hamidah. (Foto: screenshot)

Sejumlah isu, tambah Luluk, mengemuka di kalangan sebagian anggota DPR. Misalnya, mengenai isu liberalisme dan soal-soal terkait norma agama. Dia mengaku, ada anggota DPR yang hingga saat ini belum memahami isi RUU tersebut. Mereka bahkan memiliki pikiran yang sama dengan apa yang berhembus di media sosial, utamanya terkait pelegalan zina dan aborsi.

Padahal mereka sudah diyakinkan, bahwa RUU P-KS tidak fokus dalam isu tersebut, tetapi memiliki misi perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Pasal perlindungan terhadap korban tidak ada dalam undang-undang yang lain. Karena itu, negara harus dipastikan hadir dalam kasus kekerasan seksual, dengan berfokus pada korban.

“Bagaimana hak-hak korban, pemulihan trauma, hak ekonomi korban. Banyak korban tidak hanya mengalami kekerasan personal, tetapi menghancurkan kesejahteraan keluarga, karena harus keluar dari pekerjaan atau bekerja secara normal,” tambah Luluk.

Trending Topik Anak Muda

Meski menemui jalan buntu secara politis di DPR,aktivis muda Nahdlatul Utama (NU), Kalis Mardiasih, menilai ada banyak kemajuan terkait wacana kekerasan seksual.

“Saya merasakan, walaupun RUU P-KS ini pembahasannya di DPR masih sulit, tetapi selama 4 atau 3 tahun terakhir, kita sudah berhasil mendorong percakapan yang sangat sehat dan berkemajuan tentang kekerasan seksual. Bahkan di anak-anak muda,” ujar Kalis dalam diskusi ini.

Seratusan peserta IWD Bandung melakukan tari 'One Billion Rising' yang menyuarakan perlawanan terhadap kekerasan seksual. (VOA/Rio Tuasikal)

Dalam pengamatannya di media sosial, kata Kalis,anak muda kini sangat paham ketika mendefinisikan kekerasan seksual, siapa itu pelaku dan korban, dan apa itu relasi kuasa. Anak muda juga mendiskusikan peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di kampus, institusi agama, dan masyarakat.

Pemahaman itu muncul karena istilah-istilah yang kerap mereka bicarakan di media sosial, kampus, kafe, dan berbagai organisasi di luar kampus. Anak muda tidak membincangkan kekerasan seksual atau RUU P-KS dalam cara pandang politis.

Aktivis muda NU, Kalis Mardiasih. (Foto: screenshot)

Kalis memberi contoh, ketika DPR menarik keluar RUUP-KS dari Prolegnas prioritas 2020, malam itu juga tagar “Sahkan RUU P-KS”menjadi puncak perbincangan di media sosial. Lebih dari 24 jam, topik itu bertahan sebagai bahan perbincangan utama. Hal itu menunjukkan besarnya ketertarikan anak muda terhadap isu tersebut.

Meski begitu, Kalis mengakui perjuangan paling berat terkait RUU P-KS adalah meyakinkan politisi yang ada di Senayan.

Alasan Menolak Tidak Berdasar

Mantan komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati menilai, alasan yang dipakai para pihak penolak RUU PKS selama ini tidak selaras dengan instrumen hukum yang ada. Alasan-alasan itu juga tidak mengakui akar masalah kekerasan seksual, yaitu budaya patriarki. Nurherwati juga menambahkan, kelompok penolak RUU P-KS sering menggunakan kekhawatiran yang selama ini belum pernah terbukti terjadi.

“Kekhawatiran istri melaporkan siulan atau rayuan suami sebagai bentuk kekerasan seksual, dianggap mengancam tatanan rumah tangga. Padahal faktanya, UU PKDRT itu disahkan 2004,tidak ada laporan terkait kekerasan seksual istri terhadap suami. Baru dua tahun belakangan ini mulai muncul,” kata Nurherwati.

Mantan komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati. (Foto: screenshot)

UU PKDRT yang disebut Nurherwati adalah Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selama 14 tahun UU itu berlaku, sangat minim ditemukan laporan istri mengenai kekerasan rumah tangga.Istri cenderung melakukan pendekatan keagamaan atau jalur pencegahan untuk menyelesaikan masalah. Karena itu, menurut Nurherwati, kekhawatiran terkait siulan dan rayuan yang dikampanyekan kelompok penolak, tidak beralasan.

Kampanye kedua yang dilancarkan adalah kekhawatiran bahwa orang tua yang menganjurkan anaknya menikah akan dilaporkan sebagai pemaksaan perkawinan. Buktinya, kata Nurherwati, selama ini hal itu tidak pernah terjadi. Justru ada banyak pemaksaan perkawinan oleh orang tua untuk membayar utang dan alasan lain yang tidak bisa diatasi. [ns/ft]