Tautan-tautan Akses

YouTube Hentikan Siaran Live Soal Agama dan Keberagaman Gender


Diskusi online "Meneroka Agama yang Tidak Homofobia" disiarkan lewat Youtube sebelum dihentikan pihak platform pada menit 48. (Foto: Screenshot/Rio Tuasikal/VOA)
Diskusi online "Meneroka Agama yang Tidak Homofobia" disiarkan lewat Youtube sebelum dihentikan pihak platform pada menit 48. (Foto: Screenshot/Rio Tuasikal/VOA)

Youtube menghentikan siaran langsung sebuah diskusi online mengenai agama dan LBGT setelah mendapat laporan dari pihak tertentu. Langkah YouTube pun dikecam dan dituntut lebih bijak dalam mengevaluasi isu sensitif

Diskusi yang digelar pada Rabu (24/6) siang itu berjalan selama dua jam di platform Zoom, sekaligus disiarkan lewat YouTube. Namun, siaran di YouTube berhenti pada menit 48:19.

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), selaku penyelenggara, diberitahu YouTube bahwa videonya dianggap melanggar Community Guidelines. Staf Program SEJUK, Maulidya, mengatakan bahwa berdasarkan pemberitahuan YouTube, ada yang melaporkan video itu.

"Ternyata memang ada yang report. Karena ada notifikasi flagged. Tandanya postingan itu di-report bukan di-take down sama YouTube-nya,” jelasnya kepada VOA.

Acara bertajuk “Meneroka Agama yang Tidak Homofobia” itu menghadirkan para pemuka agama dan akademisi. Mereka adalah Kyai Imam Nakha'i, Komisioner Komnas Perempuan, Stephen Suleeman, pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI), dan Dr. Saras Dewi, pengajar filsafat Universitas Indonesia. Bersama Sofa Lajhuba dari Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos), para pembicara mendiskusikan tafsir-tafsir agama yang ramah kepada minoritas seksual.

Pengajar filsafat UI, Saras Dewi, memaparkan pandangan manuskrip Hindu terhadap keberagaman gender. (Sumber: Youtube Kabar SEJUK)
Pengajar filsafat UI, Saras Dewi, memaparkan pandangan manuskrip Hindu terhadap keberagaman gender. (Sumber: Youtube Kabar SEJUK)

Lidya mengatakan, isu keberagaman gender memang masih tabu bagi sebagian orang. Namun dia berharap masyarakat mau terbuka untuk mendiskusikan hal-hal sensitif.

"Kalau ini tabu, kita harus buka yang mana? Sementara kan keberagaman harus disampaikan, mau bungkusnya tabu mau nggak,” tambahnya.

SEJUK telah mengunggah video utuh acara tersebut ke laman YouTube, Kamis (25/6).

Pro Kontra Harus Didiskusikan

Direktur SEJUK, Ahmad Junaidi, mengatakan ada pihak-pihak yang tidak suka dengan diskusi yang membahas hak asasi manusia.

“Memang ada pihak-pihak yang tidak suka kalau orang-orang bicarakan isu-isu kebebasan, yang sensitif. (Mereka adalah) yang menghalangi soal kebebasan berekspresi lah," ujarnya ketika dihubungi.

YouTube Hentikan Siaran Live Soal Agama dan Keberagaman Gender
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:25 0:00

Padahal menurutnya, isu-isu yang sensitif seperti LGBT dan agama harus didiskusikan secara terbuka. Jika tidak, akan timbul kesalahpahaman yang mendorong kekerasan terhadap kelompok minoritas.

“Terbuka aja. Ada yang pro ada yang kontra, nggak apa-apa yang penting dibicarakan. Tapi kalau dibicarakan saja nggak bisa. Itu nanti akan menambah kesalahpahaman,” terangnya.

Di sisi lain ujarnya, ada video-video yang menyerukan kekerasan kepada kelompok minoritas, namun masih melenggang bebas di YouTube. Padahal itu adalah ujaran kebencian yang bisa ditindak secara hukum.

“Itu kan dibiarkan saja. Karena mungkin tidak ada yang melaporkan ya. Tidak ada dari kelompok toleran yang melaporkan ini," tambahnya.

7 Organisasi Tuntut Transparansi YouTube

Aksi YouTube pun dikecam oleh tujuh organisasi yang mendukung kebebasan berekspresi. Mereka menuntut YouTube membeberkan alasan penghentian siaran langsung diskusi SEJUK.

Ibu Shinta (tengah) bersama murid-muridnya di satu-satunya pesantren untuk transpuan di Yogyakarta. (K. Varagur/VOA)
Ibu Shinta (tengah) bersama murid-muridnya di satu-satunya pesantren untuk transpuan di Yogyakarta. (K. Varagur/VOA)

Irine Wardhanie dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) mengatakan, YouTube harus lebih arif dalam melakukan evaluasi konten.

"Jadi tidak sekadar berdasarkan report. Tapi dia lihat lah si kontennya dulu, apakah benar-benar melanggar? Karena kalau mau dilihat, kemarin tidak ada hate speech, tidak ada ajakan untuk melakukan kekerasan, ujaran kebencian, tidak memojokkan kelompok atau ras tertentu,” tandasnya.

Irine menegaskan, YouTube harus turut memelihara prinsip-prinsip demokrasi. Sebab ruang diskusi dan hak untuk berpendapat telah dijamin UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Sementara kepada pihak-pihak tertentu yang tidak sepakat dengan topik diskusi, Irine mengimbau supaya bisa berpendapat dengan cara elegan

"Ada baiknya kita duduk bareng, mendengarkan, kemudian berpendapatlah di ruang diskusi. Ruang diskusinya sangat terbuka kok. Tidak ditutup-tutupin, tidak ada sensor segala macam,” pungkasnya. [rt/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG