Tautan-tautan Akses

YLBHI : Demokrasi Indonesia di Era Jokowi Terancam


Sidang Paripurna DPR RI di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, 30 Oktober 2015 (Foto: dok).
Sidang Paripurna DPR RI di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, 30 Oktober 2015 (Foto: dok).

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan demokrasi Indonesia di era Presiden Joko Widodo terancam. Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin membantah hal itu.

Dalam sebuah diskusi di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta, Senin (10/2), Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan demokrasi Indonesia di era Presiden Joko Widodo terancam. Hal ini terkait dengan makin memburuknya kebebasan sipil di Indonesia dalam konteks kebebasan berpendapat dan berkumpul. Ia mencontohkan sejumlah pelarangan untuk berkumpul atau berdemonstrasi, pembubaran paksa, pembatasan organisasi, penghalangan informasi, dan intimidasi.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh YLBHI di 16 provinsi, sepanjang tahun 2019 lalu terdapat 6.128 orang menjadi korban pelanggaran kebebasan berpendapat dan berkumpul. Data tersebut, lanjutnya, menunjukkan pelanggaran terhadap kebebasan sipil di era Joko Widodo makin buruk.

Ketua Umum YLBHI Asfinawati di kantor YLBHI, Jakarta. (Foto: dok)
Ketua Umum YLBHI Asfinawati di kantor YLBHI, Jakarta. (Foto: dok)


"Artinya yang terjadi di Indonesia bukan jaminan ketidakberulangan sebagaimana yang dimandatkan hak asasi manusia tapi jaminan keberulangan. Saya khawatir ini disengaja sehingga orang-orang kemudian takut. Jangan aksi (demonstrasi) deh, nanti kita bisa ditembak, jangan aksi nanti kita dipukul, jangan aksi nanti kita diburu," kata Asfinawati.

Menurut Asfinawati, korban terbanyak dalam pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dan berkumpul adalah mahasiswa, yakni 43 persen. Sedangkan pelaku pelanggaran terbanyak adalah polisi, yaitu 69 persen.

YLBHI meminta pemerintah mengedepankan hak asasi manusia, antara lain dengan membiasakan diri menerima kritik karena konstitusi memang memberi ruang bagi warga untuk menyampaikan kritik dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan pemerintahan.

Pakar Dukung Perguruan Tinggi Berani Bersuara Vokal

Pada kesempatan yang sama, Profesor Hariadi Kartodiharjo dari Institut Pertanian Bogor mendukung agar perguruan tinggi tetap menjadi tempat yang menghargai kebebasan berpendapat dan berkumpul. Menurutnya kampus harus berani berbicara mengenai kebenaran kepada penguasa.

The entrance gate of the IPB University, Bogor, Indonesia. (Foto: Wikipedia/Davidelit)
The entrance gate of the IPB University, Bogor, Indonesia. (Foto: Wikipedia/Davidelit)

Kampus, tambahnya, harus melindungi keragaman opini dan menjadi tempat aman di mana semua hal dapat ditanyakan dan dijawab dengan bebas. Hariadi menggarisbawahi bahwa kebebasan berpendapat dan berkumpul di kampus merupakan bagian dari kebebasan sipil.

"Tetapi itu tidak berarti tidak ada batasan. Jelas kita terikat dengan hukum untuk tidak menghasut dan berujar kebencian. Sama halnya kita terikat dengan integritas akademik, menolak plagiarisme, dan fabrikasi," ujar Hariadi.

Indeks Demokrasi 2019 : Indonesia Ada di Peringkat ke 64

Berdasarkan Indeks Demokrasi 2019, Indonesia mendapatkan skor 6,48 dan menempati peringkat 64 dari 167 negara yang disurvei. Kategori demokrasi Indonesia masuk dalam kategori demokrasi cacat.

Kebebasan sipil di Indonesia dalam Indeks Demokrasi 2019 adalah yang terendah di antara indikator lainnya. Padas kala 10, nilai kebebasan sipil Indonesia mencapai 5,59. Sementara nilai budaya politik Indonesia mencapai 5,63 poin. Indikator-indikator lain lumayan baik : proses pemilihan dan pluralisme (7,92), fungsi pemerintahan (7,14), dan partisipasi politik (6,11).

Survei SMRC Tahun 2019 : 43% Responden Takut Menyampaikan Pendapat

Survei Saiful Mujani Reserach Center (SMRC) yang dilansir November tahun lalu juga menyimpukan kebebasan sipil di era Joko Widodo memburuk. Berdasarkan survei yang dilakukan Mei-Juni 2019 tersebut, 43 persen responden menyatakan takut menyampaikan pendapat. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan pada tahun 2014 yang hanya 24 persen.

SMRC juga menemukan 38 persen responden merasa takut dengan penangkapan semena-mena oleh aparat di masa pemerintahan Joko Widodo.

Mochtar Ngabalini Bantah Adanya Pembatasan Kebeasan Berpendapat dan Berkumpul

Namun Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin, membantah adanya pembatasan dalam kebebasan berkumpul termasuk kebebasan menyatakan pendapan di muka umum. Meski demikian, semuanya ada aturan dan mekanisme.

“Ada aturannya, ada mekanismenya. Semua orang boleh menyatakan pendapat di depan publik tetapi bukan menyebarkan fitnah, mencaci maki, menghujat dan menyebarkan kebencian. Ketika seruan demokrasi di buka oleh presiden Joko Widodo dengan brutal orang menyampaikan. Bagaimana mungkin ada demostrasi batas waktunya jam 18.00 kemudian dia berdemostrasi sampai jam 1 malam, aturan dari mana, aturan di negara mana itu ada?,” papar Mochtar. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG