Tautan-tautan Akses

Undang-Undang ASN Sebaiknya Tidak Diubah


Para pembicara dalam sarasehan mengenai UU ASN di Yogyakarta (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Para pembicara dalam sarasehan mengenai UU ASN di Yogyakarta (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Sudah tiga tahun Indonesia memiliki Undang-Undang No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), sebagai pedoman reformasi birokrasi. Wacana perubahan undang-undang ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak.

Belum lama terpilih menjadi Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Jawa Tengah pada 2015, Arif Irwanto melakukan inspeksi mendadak di lingkungan kantornya. Di ruang bagian mutasi pegawai, dia menemukan beberapa tempat sampah besar.

Pegawai yang ditanya mengatakan, itu adalah tempat sampah untuk menampung amplop. Amplop itu tentu saja berisi uang dan diberikan oleh para pegawai yang dimutasi. Arif mengaku kaget, jika untuk amplop bekas saja dibutuhkan beberapa tempat sampah besar, tentu “uang teri makasih” itu angkanya cukup signifikan.

Arif langsung menghapus praktek uang terima kasih semacam itu. Dengan dukungan penuh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Arif mengubah manajemen kepegawaian. Kini, semua proses dilakukan dengan tes melalui komputer dan bantuan konsorsium perguruan tinggi.

Baik untuk kenaikan jabatan, mutasi maupun mengisi jabatan yang kosong. Herannya, kata Arif yang bercerita ketika berbicara dalam sarasehan mengenai Undang-Undang ASN di Yogyakarta Selasa siang, penolakan terhadap sistem bersih dan terbuka ini, justru datang dari para pegawai sendiri.

“Ada pegawai bilang ke saya, jika menggunakan sistem terbuka semacam ini, maka ada resiko yang akan saya tanggung. Saya tanya, apa resikonya, dia bilang akan banyak tekanan. Saya katakan biar saja, karena toh saya yang tanda tangan nantinya. Sekarang kita menggunakan tes komputer untuk kenaikan pangkat, kenaikan golongan kemudian tes jabatan. Ketika ujian, begitu dikerjakan langsung ada hasilnya apakah lulus atau tidak. Jadi, sistem ini sebenarnya justru memangkas tekanan itu, juga mengurangi tamu yang datang untuk titip posisi. Tetapi memang ini pekerjaan yang sangat berat,” kata Arif Irwanto.

Ketua KPK Agus Rahardjo yang juga datang sebagai pembicara dalam sarasehan ini, berbicara banyak mengenai sulitnya reformasi birokrasi di Indonesia. KPK sebagai lembaga anti rasuah, telah mempelopori penerapan sistem terbuka dan bersih, dan pengawasan internal yang kuat.

Yang mengherankan, kata Agus, menurut data lembaga inspektorat pemerintah yang seharusnya melakukan pengawasan, belum pernah sekalipun dilaporkan adanya dugaan kasus korupsi di KPK.

Agus memberikan contoh dampak buruk manajemen birokrasi tertutup, dengan kasus tangkap tangan yang melibatkan Bupati Klaten, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Kasus ini merupakan kasus terakhir di sektor birokrasi pemerintah dengan angka suap yang besar. Untuk duduk dalam jabatan tertentu, pegawai harus menyetor uang kepada bupati.

“Kebetulan saja, informannya yang datanya lengkap dan bisa langsung ditindaklanjuti dengan cepat itu yang di Klaten, tetapi sebenarnya yang kita awasi itu banyak sekali. Ini sebenarnya tanda bahwa ini terjadi di hampir semua tempat akibat dari rekrutmen politik yang tidak murah. Nah yang di Klaten ini kan harganya bukan main, ada yang sampai di atas Rp 500 juta untuk satu posisi, sampai yang lebih sederhana dari pemeriksaan yang kita lakukan, guru agar tidak dipindah itu juga harus membayar. Ini kan keterlaluan sekali, guru yang tidak mau dipindah harus membayar,” kata Agus Rahardjo.

Ditambahkan oleh Agus, sistem yang mampu melakukan pengawasan terhadap kinerja aparatur negara harus diciptakan. Di banyak negara, lembaga inspektorat bertanggung jawab langsung kepada presiden. Sedangkan di Indonesia, inspektorat jenderal di kementerian berada di bawah menteri sehingga tidak mungkin mengawasi kinerja menteri.

Begitu pun inspektorat di daerah yang bertanggung jawab kepada kepala daerah. Oleh karena itu, Agus menolak usulan penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara, karena akan mengganggu proses reformasi birokrasi di Indonesia.

Menurut Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Prof. Eko Prasodjo, Undang-Undang ASN lahir tahun 2014 sebagai koreksi atas buruknya manajemen birokrasi. Pada masa lalu, karena jabatan seorang aparatur negara tergantung pada atasannya, maka budaya yang terbangun adalah melayani atasan.

Skema yang sudah disusun berdasarkan undang-undang tersebut adalah sistem terbuka. Saat ini skema ini dipraktekkan dengan menyelenggarakan seleksi terbuka untuk pengisian jabatan di pemerintahan.

Dengan pola yang terbuka, aparat yang lolos dalam jabatan tertentu tahu bahwa dia memperoleh posisi itu secara bersih tanpa campur tangan atasannya. Oleh karena itu, Eko menolak wacana perubahan undang-undang ini yang bisa mengembalikan pola pengisian jabatan secara tertutup.

“Resikonya kalau kita menghapus sistem promosi jabatan terbuka, maka yang sedang kita bangun adalah loyalitas kepada atasan, bukan kepada visi misi pencapaian tujuan bernegara. Dan aparatur negara semacam ini tidak mungkin bisa berperan sebagai agen perubahan, karena dia sendiri terikat kepada pelanggaran-pelanggaran dalam promosi jabatan itu, seperti dengan cara membayar dan sebagainya,” kata Eko Prasodjo.

Dalam beberapa tahun ke depan, bahkan dimungkinkan pegawai dari sektor swasta ikut masuk dalam seleksi posisi tertentu di pemerintahan jika memang keahliannya dibutuhkan. Karena itulah, Eko menolak adanya keinginan untuk mengubah UU ASN, karena itu bermakna kemunduran dalam pola manejemen aparatur negara.

“Kita sedang membuat lintasan. Kalau kemudian lintasan ini mengalami distorsi maka kita akan kembali ke titik nol, di mana kita akan bekerja lebih banyak dengan otot daripada dengan kemampuan intelektual kita sebagai aparatur sipil negara,” ujar Eko.

Undang-Undang ASN Sebaiknya Tidak Diubah
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:49 0:00


Eko Prasodjo yang aktif terlibat dalam penyusunan UU ASN tahun 2014 menyebutkan kini ada kurang lebih 4,4 juta aparat sipil negara, sekitar 20 persen berada di pusat dan 80 persen bekerja di daerah. Berdasarkan hasil penelitian, 48 persen aparatur negara yang bekerja saat ini tidak menghasilkan kinerja optimal, dan hanya 8,18 persen yang dapat diajak bekerja sama untuk menghasilkan kinerja tinggi. [ns/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG