Tautan-tautan Akses

Tradisi Gelap Praktik Korupsi Kepala Daerah di Medan


Kantor Wali Kota Medan di Jalan Kapten Maulana Lubis, Medan. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)
Kantor Wali Kota Medan di Jalan Kapten Maulana Lubis, Medan. (Foto: VOA/Anugrah Andriansyah)

Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam operasi tangkap tangan, yang dilakukan lembaga anti-rasuah tersebut di Medan. Penangkapan Dzulmi Eldin seakan menjadi tradisi bahwa kepala daerah di wilayah ini kerap berurusan dengan kasus korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proyek dan jabatan di Pemerintahan Kota (Pemko) Medan tahun 2019. Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menyebut Eldin bersama dua orang lainnya, yakni Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Medan, Isa Ansyari dan Kepala Bagian Protokoler Kota Medan, Syamsul Fitri Siregar, telah resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Selasa (15/10) hingga Rabu (16/10).

"Setelah melakukan pemeriksaan dan sebelum batas waktu 24 jam sebagaimana diatur dalam KUHAP, dilanjutkan dengan gelar perkara. Maka disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dugaan penerimaan suap terkait proyek dan jabatan oleh Walikota Medan 2014-2015 dan 2016-2021," kata Saut di Jakarta, Rabu malam (16/10).

Seperti diketahui, dalam OTT tersebut KPK mengamankan tujuh orang dari berbagai unsur pejabat di lingkungan Pemko Medan, beserta uang Rp 200 juta. Sedangkan Rp 50 juta masih dibawa seorang ajudan Dzulmi Eldin bernama Andika, yang sampai saat ini belum menyerahkan diri. Menurut keterangan KPK, Dzulmi Eldin memerintahkan Syamsul Fitri untuk mencari dana dan menutupi ekses dana non-budget perjalanan ke Jepang pada Juli 2019 tersebut dengan nilai sekitar Rp 800 juta.

Wali Kota Medan Dzulmi Eldin diwawancarai wartawan usai Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di Hotel Emerald Garden, Medan, 13 Maret 2019. (Foto: Anugrah/VOA)
Wali Kota Medan Dzulmi Eldin diwawancarai wartawan usai Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di Hotel Emerald Garden, Medan, 13 Maret 2019. (Foto: Anugrah/VOA)

Penetapan Dzulmi Eldin sebagai tersangka oleh KPK dalam OTT yang dilakukan lembaga anti-rasuah itu menambah rentetan daftar merah kepala daerah di ibu kota Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Tertangkapnya Dzulmi Eldin memperpanjang tradisi gelap praktik korupsi kepala daerah di Medan.

Sebelumnya, ada dua Wali Kota Medan terpilih yang akhirnya berlabuh ke jeruji besi. Pertama ada bekas Wali Kota Medan, Abdillah pada tahun 2008 ditahan KPK terkait kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran dan penyelewengan APBD Kota Medan 2002-2006. Ia divonis 4 tahun penjara.

Tradisi praktik korupsi kemudian dilanjutkan Wali Kota Medan, Rahudman Harahap. Mahkamah Agung menghukum Rahudman dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan. Rahudman terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dana Tunjangan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Tapanuli Selatan pada 2004- 2005, yang dilakukannya saat menjabat sekretaris daerah di kabupaten tersebut. Pada 2015 ia kemudian dijebloskan ke Lapas Tanjung Gusta, Medan.

Salah satu warga Kota Medan, Nina Ginting mengaku sangat kecewa dengan kabar terjaringnya Eldin dalam OTT yang dilakukan KPK. Kata Nina, ini menjadi preseden yang buruk untuk Kota Medan lantaran dua wali kota sebelumnya juga pernah berurusan dengan kasus korupsi dan berakhir ke penjara.

"Malu rasanya jadi warga Medan karena sebelum Eldin ada juga Rahudman Harahap, dan Abdillah," tuturnya kepada VOA.

Tradisi praktik korupsi bukan hanya dilakukan ketiga Wali Kota Medan tersebut. Beberapa kepala daerah di Sumut juga pernah melakukan hal serupa dan berurusan dengan KPK. Mereka adalah Ramli Lubis (Wakil Wali Kota Medan), Syamsul Arifin (Gubernur Sumut), Hidayat Batubara (Bupati Mandailing Natal), Raja Bonaran Situmeang (Bupati Tapanuli Tengah), Gatot Pujo Nugroho (Gubernur Sumut), OK Arya Zulkarnain (Bupati Batubara), Pangonal Harahap (Bupati Labuhanbatu) dan Bupati Pakpak Bharat, Remigo Yolando Berutu.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman kepada VOA mengatakan tradisi kepala daerah yang kerap melakukan tindak pidana korupsi lantaran struktur politik yang memaksa mereka (kepala daerah) untuk mengembalikan modal saat berjuang menjadi wali kota.

"Kepala daerah menggunakan kewenangannya untuk mengembalikan modal politik tersebut. Pertama, menjual perizinan, lalu korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa, bentuknya adalah suap. Ketiga, biasanya memperjualbelikan jabatan," kata Zaenur, Rabu (16/10).

Zaenuri melihat tradisi gelap yang kerap terjadi di daerah membuat kehadiran KPK sangat dibutuhkan. Dalam tugas pencegahan, KPK punya koordinasi supervisi pencegahan yang mendampingi daerah-daerah untuk menerapkan e-budgeting, dan e-planning untuk memperbaiki tata kelola daerah sehingga menjadi bersih dari korupsi.

"Ini memang memprihatinkan apalagi seperti di Medan. Ini menunjukkan pentingnya KPK beserta kewenangan di bidang penindakan tanpa menafikan kewenangannya di dalam tugas pencegahan," ucapnya.

"OTT terhadap kepala daerah menunjukkan bahwa kewenangan penyadapan KPK itu yang paling efektif untuk mengungkap perkara korupsi dalam bentuk suap. Suap susah dibongkar karena para pihak saling melindungi dan menutupi, dengan penyadapan maka kasus suap itu bisa dibongkar," tambah Zaenuri.

Tradisi Gelap Praktik Korupsi Kepala Daerah di Medan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:31 0:00


Namun manuver lembaga anti-rasuah tersebut bakal melemah lantaran Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK hasil revisi yang telah disahkan DPR mulai berlaku Kamis (17/10). Salah satunya tentang penyadapan. Menurut Zaenuri, penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapat izin dari dewan pengawas. Alhasil, kewenangan penyadapan akan membuat KPK semakin sulit untuk melakukan OTT, khususnya untuk kasus suap.

"Setelah berlaku, KPK tidak lagi bisa melakukan penyadapan karena belum dibentuk dewan pengawas. Jadi setelah diberlakukan UU KPK, mereka tidak bisa melakukan penyadapan hingga dibentuk dewan pengawas. Nanti mereka (KPK) harus meminta izin kepada dewan pengawas untuk melakukan penyadapan. Ini otomatis akan mempersulit pengungkapan kasus korupsi," jelas Zaenuri.

Hasil revisi UU KPK tersebut membuat lembaga antirasuah itu akan mati suri. Dalam hal ini Presiden Joko Widodo didesak untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut UU KPK hasil revisi.

"Melihat realitas ini bahwa di daerah korupsi masih merebak sangat penting eksistensi KPK, sehingga Jokowi bersedia untuk mengeluarkan perppu," pungkasnya. (aa/ka)

Recommended

XS
SM
MD
LG