Tautan-tautan Akses

Tindakan Keras Terkait Covid-19 Berdampak Negatif terhadap Kebebasan Pers


Para aktivis dan jurnalis melakukan aksi unjuk rasa pada 'Hari Kebebasan Pers Sedunia' di Manila, Filipina.
Para aktivis dan jurnalis melakukan aksi unjuk rasa pada 'Hari Kebebasan Pers Sedunia' di Manila, Filipina.

Pada 'Hari Kebebasan Pers Sedunia' tanggal 3 Mei ini, para aktivis memperingatkan bahwa keadaan darurat virus corona telah membuat banyak pemerintah di dunia menindak keras kemampuan para jurnalis untuk melakukan pekerjaan mereka, bahkan dalam negara demokrasi yang sudah mapan.

Kelompok hak asasi media Reporters Without Borders (Wartawan Tanpa Tapal Batas) menempatkan Korea Utara di urutan paling bawah daftar indeksnya untuk kebebasan pers untuk tahun keempat berturut-turut. Media yang dikelola oleh pemerintah Korea Utara melaporkan terjadinya nol kasus virus corona di negara itu. Para ilmuwan membantah klaim itu.

Pandemi telah membuat kebebasan pers dibatasi di banyak negara, kata 'Rebecca Vincent dari Reporters without Borders.

“Beberapa negara yang selama ini mengekang kebebasan pers kini telah meningkatkan pengekangan itu, dan menarget wartawan yang melaporkan kebenaran di negara mereka dan menindas mereka yang melakukannya. Kadang-kadang kita bisa membicarakannya dengan cara yang bersifat teoretis, misalnya apa arti kebebasan pers bagi kita semua. Tetapi, sekarang kita dapat melihat bahwa sebenarnya tidak adanya kebebasan pers, atau pembatasan parah terhadap kebebasan itu dapat menimbulkan konsekuensi yang kadang-kadang mengakibatkan kematian,” ujarnya.

Undang-undang baru di Hongaria mengancam hukuman lima tahun penjara bagi siapa pun yang dinilai menghambat langkah-langkah untuk melawan virus corona. Para wartawan mengatakan mereka takut akan dipenjara hanya karena melakukan pekerjaan mereka.

Di negara-negara demokrasi yang mapan – termasuk Amerika Serikat dan Inggris – para aktivis mengatakan transparansi pemerintah berada di bawah ancaman di tengah-tengah berlangsungnya pandemi.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres baru-baru ini menyuarakan keprihatinannya.

“Lebih dari sebelumnya, pemerintah harus transparan, responsif, dan akuntabel. Ruang sipil dan kebebasan pers sangat penting,” tukasnya.

Beberapa negara telah melakukan perbaikan, kata Rebeccva Vincent dari Wartawan Tanpa Tapal Batas.

“Jadi, tahun ini kita dapat melihat Maladewa, Malaysia dan Sudan sebagai contoh negara yang telah menerapkan reformasi dan peringkatnya naik dengan sangat cepat, dalam indeks. Semuanya adalah negara-negara di mana kami melihat perubahan pemerintahan,” imbuh Rebecca.

Keamanan tetap menjadi perhatian besar. Rebecca Vincent dari Reporters without Borders mengatakan 49 wartawan terbunuh pada tahun 2019.

“Meskipun pada tahun 2019 lebih sedikit jurnalis terbunuh di zona konflik, lebih banyak dari mereka kehilangan nyawa di negara-negara yang dalam keadaan damai. Jadi, mereka ini adalah para jurnalis yang sengaja dijadikan sasaran,” katanya.

Negara-negara Eropa menempati lima besar teratas pada indeks kebebasan pers. Tetapi, ada juga pembunuhan jurnalis terkenal – termasuk pembunuhan Lyra McKee di Irlandia Utara tahun lalu; Jan Kuciak dan tunangannya Martina Kusnirova di Slovakia pada tahun 2018; dan Daphne Caruana Galizia di Malta pada 2017. Keluarga Gazilia hingga kini masih mencari keadilan. [lt/ii]

XS
SM
MD
LG