Tautan-tautan Akses

AJI: Kebebasan Pers di Indonesia “Mungkin” Belum Membaik


Jurnalis anggota AJI dan PPMI Kota Solo berorasi dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Monumen Pers, Solo, Jumat (3/5/2019). (Foto: AJI Solo)
Jurnalis anggota AJI dan PPMI Kota Solo berorasi dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Monumen Pers, Solo, Jumat (3/5/2019). (Foto: AJI Solo)

Menjelang Hari Kebebasan Pers Dunia yang jatuh setiap tanggal 3 Mei, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengungkapkan kondisi kebebasan pers di Indonesia pada tahun 2020.

Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan dalam acara diskusi daring "Ethics and Freedom of the Press" mengungkapkan ada tiga hal yang membuat kebebasan pers di Indonesia tidak tumbuh. Pertama adalah sistem yang korup yang membuat lembaga negara tak berfungsi dengan baik

"Kalau sistemnya korup di mana negara tidak akan menoleh kepentingan secara interest, kepentingan sesaat, tidak akan mungkin ada kebebasan pers. Dalam situasi seperti itu jangan diharapkan akan ada lahir regulasi-regulasi yang akan melindungi kebebasan pers. Kita lihat konteks sekarang bagaimana sikap DPR dan pemerintah ngotot merevisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang isinya kita anggap mempertahankan pasal-pasal lama yang bisa memenjarakan wartawan," kata Abdul, Kamis (30/4).

Kedua, kemiskinan yang menjerat kalangan wartawan. Kebebasan pers di Indonesia, menurut Manan, sulit tumbuh jika kesejahteraan wartawan memprihatinkan.

Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan, Kamis 30 April 2020. (Foto: screengshot)
Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan, Kamis 30 April 2020. (Foto: screengshot)

"Jika gaji wartawan tidak cukup. Dia tidak akan punya waktu yang cukup banyak berkonsentrasi menghasilkan karya jurnalistik yang baik. Konsentrasinya akan terpecah dengan membuat berita yang bagus dengan makanan bagus di atas meja dengan ada uang untuk membayar sekolah anak-anaknya. Jadi dengan situasi seperti itu, kemiskinan akan berpengaruh terhadap kebebasan pers," jelasnya.

"Karena itu mengapa kesejahteraan adalah tema yang penting kalau kita berbicara kebebasan pers," tambahnya.

Masih kata Abdul, hal terakhir yang memengaruhi kebebasan pers di Indonesia adalah iklim ketakutan. Wartawan sering menghadapi ancaman, dan itu tidak hanya berwujud ancaman fisik

"Dalam kasus di Indonesia yang kami lihat berdasarkan monitoring AJI kita malah berada dalam ancaman dari berbagai sisi, dari regulasi wartawan berhadapan dengan KUHP dan UU ITE. Dua pasal yang banyak dikritik karena dengan sangat mudah memenjarakan wartawan," tuturnya.

Kekerasan terhadap wartawan diperparah oleh tradisi impunitas di Indonesia sehingga pelakunya tidak diadili dengan semestinya.

"Jangankan wartawan dipukul. Wartawan mati saja dalam kasus Udin sampai sekarang tidak ketahuan siapa pelakunya. Itu tradisi impunitas yang membuat bagaimana kebebasan pers mau hidup dalam situasi tersebut. Itu beberapa kondisi yang membuat kebebasan pers di Indonesia ini benar-benar dalam tantangan," ungkap Abdul.

Kasus kekerasan menjadi perhatian besar AJI lndonesia. Abdul mengungkapkan, pelaku kekerasan terhadap wartawan sepanjang tahun 2019 umumnya polisi. Fakta itu tergambar dalam aksi demonstrasi Mei 2019 yang menolak hasil pemilihan presiden, serta demo menolak RKUHP dan revisi Undang-Undang KPK.

"Sebagian besar ya motifnya polisi marah karena wartawan merekam polisi melakukan kekerasan. Padahal itu bagian kontrol sosial yang dilakukan oleh pers karena melakukan kekerasan bukan hanya kepada wartawan dan warga sipil. Itu kenapa kami tidak terlalu heran ketika kasus kekerasan itu banyak yang tidak diproses karena tradisi impunitas di kalangan penegak hukum Indonesia," ucap Abdul.

Menanggapi laporan lembaga pemantau Reporters Without Borders (RSF) yang menunjukkan indeks kebebasan pers Indonesia naik ke peringkat 119 pada 2020 dari posisi 124 pada tahun sebelumnya, Abdul meragukan perubahan itu mencerminkan kemajuan kebebasan pers di Indonesia

"Menurut saya belum tentu, kalau melihat apa yang terjadi selama 2019 situasi di dalam negeri tidak membaik. Kalau indeks Indonesia tahun ini naik mungkin bukan karena kita membaik di dalam negeri tapi situasi di luar negeri yang lebih buruk," pungkasnya.

Anggota Dewan Pers, Asep Setiawan. Kamis 30 April 2020. (Foto: screenshot)
Anggota Dewan Pers, Asep Setiawan. Kamis 30 April 2020. (Foto: screenshot)

Sementara itu, Anggota Dewan Pers, Asep Setiawan mengatakan secara keseluruhan kemerdekaan pers di Indonesia sudah mulai membaik. Hanya saja, masih ada beberapa faktor yang menghambat kemajuannya.

"Kemudian kesejahteraan juga masih menjadi persoalan, dan pendidikan. Tapi kami juga temukan di beberapa wilayah seperti di Papua dari 34 provinsi masih terbawah, ini beberapa persoalan yang dihadapi. Maka dalam indeks pers itu bisa ditemui apa yang sebenarnya menjadi persoalan pers di Indonesia dan apa yang harus diperbaiki," tandas Asep. [aa/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG