Tautan-tautan Akses

Teman Isoman di Yogya: Makan Gratis dan Tempat Curhat


Semua pihak yang terlibat di Keroyokan Sedekah adalah relawan. (Foto: Courtesy/Joko Taruno)
Semua pihak yang terlibat di Keroyokan Sedekah adalah relawan. (Foto: Courtesy/Joko Taruno)

Pandemi menghadirkan beban tambahan bagi sebagian warga. Namun, untuk sebagian yang lain, kondisi ini malah menjadi jalan untuk berbagi dalam meringankan beban sesama. Hal ini lah yang terjadi di Yogyakarta.

Joko Taruno sudah delapan tahun bergerak bersama komunitas berbagi ‘Keroyokan Sedekah.’ Gempa Lombok, gempa Palu, tanah longsor di berbagai tempat dan berbagai bencana lain menjadi arena bagi pegiat organisasi ini untuk berbagi dengan sesama. Jika tak ada bencana, mereka menggelar sedekah makanan rutin setiap Jumat atau sahur gratis.

Pandemi kali ini, mereka punya layanan baru. Mengantar makan siang gratis, dengan menu lengkap dan kadang disertai vitamin tambahan, khususnya untuk mereka yang menjalani isolasi mandiri (isoman) di rumah.

Joko Taruno dari Keroyokan Sedekah. (Foto: Dok Pribadi)
Joko Taruno dari Keroyokan Sedekah. (Foto: Dok Pribadi)

“Kalau sahur gratis atau Jumat berkah kita masak banyak, enam ratus porsi pernah, seribu porsi pernah. Tetapi mereka yang datang ke satu tempat. Kalau sekarang, misalnya 500 porsi, kita bisa ke 70-80 alamat. Di situ lah uniknya. Kita benar-benar mendatangi mereka yang isoman. Kebutuhannya berapa kita catat, kita cantelin di pintu gerbang,” tutur Joko kepada VOA, Sabtu (10/7).

Jumlah paket makan siang gratis ini, katanya, menyesuaikan permintaan. Setelah program tersebut popular di kalangan warga Yogya, permintaan pun terus berdatangan. Pengiriman paling jauh, kata Joko, berjarak sekitar 50 kilometer dari lokasi mereka memasak, yang berada di kawasan Sewon, Kabupaten Bantul, tak jauh dari Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Menu makan siang gratis yang disediakan Keroyokan Sedekah. (Foto: Courtesy/Joko T)
Menu makan siang gratis yang disediakan Keroyokan Sedekah. (Foto: Courtesy/Joko T)

Donatur pun datang silih berganti, sehingga program bisa terus berjalan. Selain itu, Keroyokan Sedekah juga memiliki anggota yang menerapkan sistem Nyewu Ben Dina (NBD) atau seribu rupiah setiap hari. Artinya, dalam satu bulan, anggota Keroyokan Sedekah hanya perlu menyumbang Rp30 ribuan.

“Anggota Keroyokan Sedekah ini bukan orang kaya, orang biasa saja tetapi mau berbuat baik. Tapi tentu saja banyak yang melebihkan. Anggota NBD ini sekitar 150 orang,” kata Joko.

Selain itu, bantuan juga rutin dari kawan-kawan Joko, yang kebanyakan seniman dan beberapa tinggal di luar negeri. Sumber pendanaan lain adalah hasil berjualan barang bekas, yang juga diterima dari para penyumbang. Meski terlihat kecil, kreativitas pengumpulan dana ini mampu membuat Keroyokan Sedekah bisa berbuat banyak di berbagai bencana. Belum lama ini, mereka bahkan bisa membuat sumur bor di Gunungkidul dengan biaya sampai seratus juta rupiah.

Keroyokan Sedekah menyediakan hingga 500 porsi makan siang gratis untuk pasien Isoman di rumah. (Foto: Courtesy/Joko T)
Keroyokan Sedekah menyediakan hingga 500 porsi makan siang gratis untuk pasien Isoman di rumah. (Foto: Courtesy/Joko T)

Semua pihak yang terlibat adalah relawan, kata Joko. Sebagian memasak, sebagian lagi membungkus makanan dan relawan muda bertugas di bagian pengiriman.

“Saya kalau ditanya, bagaimana bisa, saya juga bingung. Kok bisa, ya. Ada saja yang membantu dan mengirim ini-itu, alhamdulillah,” tambah Joko yang berprofesi sebagai pilot drone dan videographer.

Memasak memang menjadi salah satu spesialisasi bantuan yang Joko berikan selama ini. Dalam berbagai bencana alam besar, Joko datang bersama kru trauma healing dan kemudian mendirikan dapur umum. Dia memahami, bantuan sembako ke lokasi bencana kadang begitu banyak. Harus ada pihak yang membuka dapur umum, dan mengajak korban berkegiatan seperti memasak, juga sebagai bentuk hiburan.

Curhat ke Kanca Sambat

Tentu saja mereka yang isoman tidak hanya butuh makan. Karena berbagai pembatasan, bukan tidak mungkin muncul tekanan batin. Stress pun melanda, sementara di rumah tidak ada kawan yang bisa diajak berbagi rasa.

Untunglah, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) punya program Kanca Sambat. Kanca bermakna teman, sedang sambat kurang lebih bisa diartikan sebagai berbagi rasa atau curahan hati (curhat).

Direktur PKBI DIY Mashoeroel Noer P. (Foto: Dok Pribadi)
Direktur PKBI DIY Mashoeroel Noer P. (Foto: Dok Pribadi)

Direktur PKBI DIY, Mashoeroel Noor Poedjanadi, mengatakan Kanca Sambat adalah konseling sebaya yang diinisasi oleh konselor remaja di PKBI DIY. Tujuannya adalah menjadi teman curhat bagi remaja yang menjalani Isoman karena COVID-19.

“Isoman di rumah kalau terlalu lama itu tentu membosankan. Juga timbul stress, apalagi teman remaja yang positif dan melihat pemberitaan terkait COVID-19 yang seperti ini, ada khawatir dan sebagainya. Mungkin mereka ingin bercerita tetapi tidak tahu dengan siapa. Maka kita sediakan layanan Kanca Sambat ini,” kata Mashoeroel.

Konselornya, kata Mashoeroel, adalah anak muda juga yang sudah diberi pelatihan. Di masa sebelum pandemi, konselor ini juga sudah bisa menerima curhat para remaja DIY terkait problem sehari-hari. Karena itu, mereka telah memiliki kemampuan cukup untuk menjadi tempat berkeluh kesah bagi remaja. Khusus untuk kaitannya dengan pandemi, konselor juga dibekali pemahaman mendasar mengenai COVID-19.

Jika membutuhkan konseling lebih lanjut, sesuai rekomendasi konselor muda, remaja yang membutuhkan bisa dirujuk ke psikolog. Konselor memiliki kemampuan untuk mengetahui level stress remaja, sehingga ketika menemukan tanda-tandanya, mereka sudah memahami apa yang harus dilakukan.

“Sementara ini layanan dalam bentuk chat melalui aplikasi percakapan, kalau dibutuhkan untuk menelepon langsung, tentu akan kita tindak lanjuti,” tambah Mashoeroel.

Menurut Mashoeroel, konseling bagi remaja di masa pandemi, khususnya yang menjalani isoman, sangat penting. Stress bisa memperburuk kondisi daya tahan tubuh, dan karena itu harus ada upaya menguranginya. Mereka yang berusia 15-24 tahun, selalu berada di rumah dan tidak memilii teman curhat, kata Mashoeroel, semua berada di posisi rawan.

“Tidak harus soal COVID. Karena mereka enggak sekolah, tidak bertemu teman. Apalagi yang isoman, harus tinggal di kamar 14 hari, tentu akan sangat membosankan,” tambahnya.

Seorang petugas kesehatan memegang sampel usap untuk tes antigen COVID-19, 3 Januari 2021. (Foto: Hendra Nurdiyansyah/Antara via REUTERS)
Seorang petugas kesehatan memegang sampel usap untuk tes antigen COVID-19, 3 Januari 2021. (Foto: Hendra Nurdiyansyah/Antara via REUTERS)

Menurut pengalaman, lanjut Mashoeroel, banyak remaja sebenarnya hanya membutuhkan teman curhat saja. Jika keluh kesah mereka, terutama terkait COVID, sudah didengarkan, dampaknya cukup positif.

Belum ditentukan akan sampai kapan Kanca Sambat digelar. Mashoeroel mengatakan perkembangan kasus COVID-19 akan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan selama apa program curhat remaja ini disediakan. [ns/ah]

Recommended

XS
SM
MD
LG