Tautan-tautan Akses

Tarik-Menarik Sistem Noken di Papua


Seorang perempuan suku asli Papua memasukan kertas suara di distrik Hubikosi, Lembah Wamena, Papua, pada pemilihan presiden 2009, 8 Juli 2009. (Foto:Dok)
Seorang perempuan suku asli Papua memasukan kertas suara di distrik Hubikosi, Lembah Wamena, Papua, pada pemilihan presiden 2009, 8 Juli 2009. (Foto:Dok)

Pemilihan umum (Pemilu) mewajibkan asas langsung. Artinya, setiap pemilih langsung memilih partai atau tokoh, tanpa diwakilkan. Namun di Papua berlaku sistem noken. Sistem ini dinilai merugikan.

Noken adalah nama tas khas Papua. Namun dalam urusan Pemilu atau Pilkada, noken adalah sebuah sistem.

Ada dua pola yang dipakai dalam sistem ini. Pola pertama, pilihan suara seluruh anggota suku, diwakilkan kepada kepala suku masing-masing. Pola kedua, noken berfungsi sebagai pengganti kotak suara. Di mana kertas suara pemilih, dimasukkan dalam noken-noken yang digantung sesuai jumlah partai atau pasangan calon.

Praktek semacam itu mendapat kritik tajam dari banyak pihak sejak diterapkan secara terpisah di sejumlah kabupaten. Tokoh mahasiswa Kabupaten Nduga, Papua, Otis Ernest Tabuni bahkan terang-terangan menolak penerapan sistem ini.

“Sistem noken tidak menerapkan praktek demokrasi yang sesungguhnya. Sistem noken membunuh hak perorangan untuk memilih dengan hati nurani, siapa yang harus dia pilih. Karena, sistem ini menggunakan big man atau kepala suku, mengklaim suara salah satu kampung dan diberikan ke salah satu calon dari beberapa calon," kata Otis Ernest Tabuni. "

Menurut saya, dia sudah mengklaim kebebasan memilih dari warga di sana untuk memilih seorang calon,” kata Otis Tabuni menambahkan.

Otis menjelaskan, dengan sistem noken setiap pasangan calon sudah bisa tahu dari awal, apakah mereka akan menang atau kalah, tanpa perlu menunggu hari pemungutan suara. Pasalnya, dukungan setiap suku bisa diketahui dari awal. Karena itu, kata Otis, tidak ada asas rahasia dalam sistem ini.

Otis Ernest Tabuni, tokoh mahasiswa Nduga, Papua. (Foto: koleksi pribadi)
Otis Ernest Tabuni, tokoh mahasiswa Nduga, Papua. (Foto: koleksi pribadi)

Kabupaten Nduga, tempat tinggal Otis Tabuni, menerapkan sistem ini dalam Pilkada 2017 lalu. Dampaknya, kata mahasiswa di Universitas Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah ini, kebijakan kepala daerah kini dibuat berdasar distrik dukungan.

Suku-suku yang mendukung bupati terpilih, memperoleh dana pembangunan wilayah, sementara kawasan suku-suku yang tidak memberi dukungan cenderung terabaikan.

“Sistem noken harus dihilangkan perlahan-lahan. UU Pemilukada juga tidak mengaturnya. Kalau alasannya adalah efisiensi, di mana pemilih yang jauh dari kampung-kampung tidak perlu datang memberikan suara, tidak tepat. Itu seharusnya kewajiban KPU untuk melayani masyarakat sejauh apapun untuk memberikan suara,” ujar Otis Tabuni menambahkan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat berulangkali memperingatkan KPU Papua terkait penerapan sistem ini. Tahun ini, akan ada delapan pilkada di Papua. Dari jumlah itu, dua menggunakan sistem standar dan enam lainnya menerapkan noken. Dua penyelenggara Pilkada dengan sistem standar, adalah Provinsi Papua dan Kabupaten Biak Numfor. Sedangkan enam kabupaten yang masih menggunakan sistem noken adalah Mamberamo Tengah, Mimika, Paniai, Jayawijaya, Puncak serta Deiyai.

Dalam keterangan kepada media di Kantor KPU, Senin (23/4), Komisioner KPU Hasyim Asyari menegaskan lembaga itu terus berupaya menghapus sistem noken di Papua. Namun, karena menjadi kewenangan KPU daerah, keputusan akhir tetap tergantung wilayah masing-masing.

“Kenapa harus dikurangi? Karena asas Pemilu kan langsung,” kata Hasyim Asyari.

Baca: KPU Tetapkan Nomor Urut 14 Partai Politik Peserta Pemilu 2019

Perkumpulan untuk Pemillu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, daerah yang melaksanakan sistem noken merupakan daerah yang sering mengalami konflik kekerasan hingga menelan korban jiwa. Tidak salah apabila kemudian publik sulit memisahkan antara noken dan konflik kekerasan.

Menurut Perludem, di daerah-daerah seperti Puncak, Yahukimo, Lanny Jaya, Tolikara, Dogiyai, dan Jayawijaya, akumulasi jumlah warga yang tewas sepanjang momentum Pilkada dalam beberapa tahun terakhir, mencapai hingga 71 orang. Ini masih ditambah lagi korban luka-luka dan kerugian harta benda masyarakat maupun pemerintah. Pada 2017, konflik terjadi di Puncak Jaya dan Intan Jaya dengan korban tewas mencapai 19 orang.

Karena itulah, Perludem merekomendasikan KPU RI dan Bawaslu RI agar menjamin pelaksanaan sistem noken sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan diawasi dengan baik. Pelaksanaannya harus transparan dan akuntabel dan membuka ruang keterlibatan publik secara luas. Untuk jangka panjang, ketentuan sistem noken perlu dibenahi kembali. Meski tidak mungkin diterapkan untuk Pilkada 2018, Perludem berharap peninjauan dapat dilakukan untuk Pemilu 2019.

Komisioner KPU Papua, Tarwinto kepada VOA mengatakan, penerapan sistem noken didasarkan pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut MK, noken adalah bagian dari kearifan lokal dan sistem ini resmi diperbolehkan.

Tarwinto, komisoner KPU Papua. (Foto:koleksi pribadi)
Tarwinto, komisoner KPU Papua. (Foto:koleksi pribadi)

“Noken itu sebenarnya sebuah kesepakatan yang terjadi di masyarakat Papua. Bukan hanya Pemilu saja, dalam pengambilan keputusan apapun di masyarakat wilayah adat, itu menggunakan kesepakatan. Bukan hanya PIlkada saja, dalam hal lain juga pakai kesepakatan seperti noken itu,” kata Tarwinto.

Meski tidak melanggar hukum, kata Tarwinto, KPU Papua berkomitmen untuk mengurangi jumlah TPS yang menggunakan noken. Pada wilayah dengan penduduk yang heterogen, KPU akan menggunakan kotak suara standar. Namun, dalam kelompok masyarakat atau suku yang homogen, sistem standar ini sulit diterapkan.

Masalahnya, masyarakat sendiri yang menginginkan sistem noken tersebut. Ketua suku juga masih memiliki pengaruh sangat besar dalam kelompok masyarakat semacam ini, sehingga dukungan dalam Pilkada kadang merupakan kesepakatan suku.

“Yang penting masyarakat tidak berkonflik. Musyawarah mufakat itu kedudukannya paling tinggi dalam sistem demokrasi kita. Kalau masyarakat bawah sudah sepakat, ya sudah selesai semua itu,” ujar Tarwinto.

“Jika ada konflik, menurut saya bukan persoalan sistem nokennya. Itu kooptasi kepentingan oleh kekuasaan. Misalnya, petahana yang memaksakan kebijakan kepada bawahan agar dia tetap menang,” kata Tarwinto menambahkan.

Tarwinto menegaskan lagi noken justru bisa mengurangi konflik. Peralihan ke sistem standar sebaiknya dilakukan alami seiring tingkat pendidikan masyarakat dan komposisi penduduk. Terbukti pada masyarakat perkotaan yang heterogen dan berpendidikan cukup, otomatis sistem standar bisa diberlakukan.

Tarik-Menarik Sistem Noken di Papua
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:16 0:00

Recommended

XS
SM
MD
LG