Tautan-tautan Akses

Tangkal Radikalisme dan Ekstrimisme Melalui Sinergi Lembaga Negara dan Masyarakat


Seminar Nasional Penguatan Masyarakat Dalam Rangka Mencegah Ekstrimisme Berbasis Kekerasan di Surabaya. (Foto: VOA/Petrus Riski).
Seminar Nasional Penguatan Masyarakat Dalam Rangka Mencegah Ekstrimisme Berbasis Kekerasan di Surabaya. (Foto: VOA/Petrus Riski).

Pusat Hak Asasi Manusia (Pusham) Surabaya menggelar seminar bertajuk “Penguatan Masyarakat Dalam Rangka Mencegah Ekstrimisme Berbasis Kekerasan”, di Surabaya, Sabtu (30/12). Seminar yang diikuti ratusan peserta dari berbagai kalangan pegiat hak asasi manusia dan kebhinnekaan, akademisi dan mahasiswa, menyoroti fenomena radikalisme dan terorisme yang lahir dari fundamentalisme agama, yang membutuhkan sinergi semua pihak untuk menangkalnya.

Maraknya intoleransi dan tindakan radikalisme atas kelompok atau golongan tertentu, merupakan embrio tumbuhnya tindakan ekstrimisme dan terorisme. Sebagai negara dengan keberagaman suku, budaya hingga keyakinan, tidak membuat Indonesia luput dari sasaran bertumbuhnya faham fundamentalisme, yang dapat tumbuh sebagai tindakan ekstrimisme dan terorisme.

Rektor Universitas PGRI Adibuana Surabaya, Joko Adi Walujo, menyebut generasi muda masa kini sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi dan menirukan sikap dan perilaku dari kelompok tertentu, yang berkepentingan menyebarkan ajaran atau ideologinya. Aksi intoleransi dan radikalisme yang mengarah pada tindakan ekstrimisme, merupakan reaksi pribadi atas fenomena sosial yang terjadi, dimana hal tersebut berbeda dari yang diyakininya.

“Itu tumbuh dan berkembang atas reaksi yang sekarang, fenomena-fenomena sosial yang sekarang direaksi mereka, kemudian mereaksinya keliru, mereaksi dengan etnosentri, mereaksi dengan keyakinannya sendiri, tapi tidak mereaksi dengan kebersamaan, karena dirinya sendiri tidak ada kontrol orang lain, jadi ekstrimis,” kata Joko Adi Walujo, Rektor Universitas PGRI Adibuana.

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Airlangga Surabaya, Joko Susanto mengatakan, upaya mencegah ekstrimisme berbasis kekerasan harus dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif. Penanganan masalah ekstrimisme maupun radikalisme di Indonesia harus melibatkan semua pihak dan lembaga negara, untuk penanganan maupun pencegahan.

Media sosial kata Joko Susanto, menjadi salah satu alat untuk penyebaran faham radikalisme dan ekstrimisme, selain media konvensional lainnya. Bahkan lembaga pendidikan dan kelompok-kelompok anak muda menjadi lahan subur persemaian faham radikalisme dan ekstrimisme. Joko Susanto mendesak pemerintah melakukan fungsi kurasi terhadap media sosial, untuk menangkal penyebaran radikalisme, tanpa harus melakukan pembatasan atau penutupan terhadap media sosial.

“Tidak mungkin kita mengetengahkan kebijakan, asal pembatasan, karena kita berhadapan dengan generasi milenial, mereka tidak bisa bicara pembatasan. Yang bisa kita lakukan, negara bisa melakukan kurasi, bekerjasama dengan Facebook atau media sosial terkait, dia melakukan kurasi. Kalau ada pesan-pesan yang kemudian berindikasikan kekerasan, intoleransi dan lain-lain, bisa diberikan tanda khusus seperti di dalam iklan sigaret, sehingga kemudian disitu kita bisa melihat. Sehingga kemudian orang-orang yang dengan pemahaman yang terbatas, kesadaran yang terbata-bata terhadap persoalan ini, lantas mereka punya semacam panduan untuk memilah di ruang-ruang yang kayak belantara itu sekarang, dan ini kita tidak lakukan,” kata Joko Susanto.

Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, Akhol Firdaus mengatakan, kepercayaan diri masyarakat atas keunggulan akar sejarah bangsanya harus diperkuat, untuk mengatasi munculnya fundamentalisme yang menjadi akar lahirnya tindakan radikalisme. Kesadaran mengenai keluhuran nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, akan dapat menangkal fundamentalisme berlandaskan agama yang menghendaki keseragaman.

“Karena fundamentalisme sebagai akar radikalisme itu lahir sebagai ketidakpercayaan diri, hasil dari peminggiran yang dilakukan oleh medernisme, maka sesungguhnya obatnya itu sederhana. Orang harus dipulihkan kepercayaan dirinya dengan akar kesejarahannya sendiri. Di dalam konteks ini pengarusutamaan ide kebhinnekaan atau Bhinneka Tunggal Ika itu adalah salah satu saluran yang penting untuk membangun satu tata kehidupan masyarakat yang percaya diri, karena merasa punya dasar-dasar moral dan nilai-nilai luhur yang berakar pada buminya sendiri,” jelas Akhol Firdaus.

Selain penguatan masyarakat untuk mencegah ekstrimisme berbasis kekerasan terus berkembang, Akhol Firdaus mendorong upaya persuasif dan preventif, yang dilakukan pemerintah bersama masyarakat untuk menanggulangi intoleransi dan radikalisme.

“Caranya persuasif, upaya-upayanya preventif, membuat berbagai macam saluran, melibatkan semua elemen masyarakat untuk menjadi bagian dari memutus mata rantai itu di bagian hulu, bukan hilir. Kalau menembak teroris itu hilir, menggerebek teroris itu hilir, itu tentu harus dikerjakan tapi itu bukan bagian dari masyarakat, itu bagian negara,” imbuhnya.

Tangkal Radikalisme dan Ekstrimisme Melalui Sinergi Lembaga Negara dan Masyarakat
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:05:03 0:00

Sementara itu, Tenaga Ahli Utama, Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Bambang Budiono mengungkapkan, Indonesia saat ini menghadapi lima masalah utama yang menyebabkan munculnya berbagai fundamentalisme, ekstrimisme, dan liberalisme yang semakin marak.

Lima permasalahan yang dihadapi antara lain mengenai pemahaman Pancasila, inklusi sosial yang terkoyak, keadilan sosial yang belum merata, keteladanan yang tidak menjadi model percontohan, serta pelembagaan yang tidak sama dalam menerjemahkan dan mempraktekkan nilai-nilai Pancasila.

Bambang menegaskan pentingnya memasyarakatkan kembali Pancasila serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kepada seluruh masyarakat, dan mengembalikan masyarakat pada akar budaya dan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.

“Menghadapi situasi itu, kami pertama mengembangkan strategi untuk menyemai Pancasila itu ke seluruh masyarakat Indonesia dengan keragaman cara, keragaman metode. Jadi tidak hanya penataran, tidak hanya seminar, tetapi juga misalnya melalui festival-festival kebudayaan. Festival kebudayaan begitu digelar, yang muncul otomatis adalah keberagaman, tanpa kita menyatakan bahwa mari kita berpancasila. Begitu kita hadir, kita apresiasi festival-festival rakyat, festival seni, festival budaya, itu sudah secara otomatis mereka menampilkan nilai-nilai Pancasila,” kata Bambang Budiono. [pr/gp]

Recommended

XS
SM
MD
LG