Tautan-tautan Akses

Survei: Pelecehan Online Bungkam Perempuan dan Picu Kekerasan


FILE - A Dec. 12, 2016, photo illustration shows a person typing on a laptop, in Miami, Florida. A new survey found that about one in four women that have been queried in eight different countries had experienced online abuse or harassment.
FILE - A Dec. 12, 2016, photo illustration shows a person typing on a laptop, in Miami, Florida. A new survey found that about one in four women that have been queried in eight different countries had experienced online abuse or harassment.

Berdasarkan data dari Amnesti Internasional, pelecehan dan kekerasan online membuat kaum perempuan membatasi penggunaan media sosial. Pelecehan dan kekerasan online ini juga memicu diskriminasi gender dan kejahatan.

Dalam sebuah survei, satu dari empat perempuan di Inggris, Amerika dan enam negara lainnya mengatakan mereka telah mengalami pelecehan dan kekerasan online.

Lebih dari 40 persen mengatakan pelecehan online membuat mereka khawatir terhadap keamanan fisik mereka dan lebih dari separuhnya mengungkapkan mereka menjadi kesulitan tidur, kehilangan percaya diri, dan panikan pasca insiden tersebut.

Sekitar sepertiganya akhirnya berhenti mengungkapkan opini mereka secara online atau menolak untuk bergabung dalam dialog publik.

"Tidak dapat dipungkiri kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan berkembang di media sosial. Bagaimanapun, survei ini menunjukkan betapa besarnya dampak negatif akibat pelecehan online ini. Ini bukan hal yang sepele," kata Azmina Dhrodia, peneliti Amnesty.

Berdasarkan kelompok HAM, Plan International, yang berbasis di Inggris, kekerasan online terjadi pada anak muda dan mungkin lebih banyak terjadi pada perempuan dan remaja dibandingkan dengan orang dewasa.

Organisasi HAM tersebut menambahkan bahwa hampir setengah perempuan yang berusia 11-18 tahun di Inggris mengaku telah mengalami kekerasan atau pelecehan di media sosial. Akibatnya banyak perempuan berhenti untuk mengemukakan pendapat mereka di media sosial. Selain itu, mereka juga merasa khawatir untuk breaktifitas lagi di media sosial.

"Perempuan yang masih sangat muda merasa bertanggungjawab atas pelecahan yang mereka alami," kata Kerry Smith pada Thomson Reuters Foundation. "Hal tersebut membuat mereka menarik diri atau berhenti menggunakan sosial media."

Seringkali orang tua, guru dan polisi merespon pelecehan online dengan menyita handphone sang anak atau meminta mereka berhenti menggunakan internet. Hal ini malah bisa membuat anak berpikir bahwa si korbanlah yang harus bertanggung jawab ketika berada dalam kondisi tersebut.

Bagi anak laki-laki, kekerasan online, termasuk komentar-komentar yang cenderung kasar pada gambar-gambar yang tersebar di sosial media, merupakan hal yang wajar dan menjadikan perempuan sebagai objek seksual dan menunjukkan keunggulan laki-laki terhadap perempuan, yang bisa memotivasi terjadinya pelecehan dan pemerkosaan.

Menurut advokat dan penegak hukum yang terdiri dari kaum perempuan, pelecehan di media sosial sering terjadi pada politisi perempuan dan pada akhirnya menghambat mereka menempati jabatan tertentu.

Aktivis mengatakan baik perusahaan swasta maupun pemerintah harus melakukan sesuatu untuk membuat internet sebagai tempat yang aman untuk perempuan.

"Perusahaan media sosial bertanggungjawab untuk memastikan bahwa perempuan dapat menggunakan media sosial mereka dengan bebas tanpa kekhawatiran," ungkap Dhrodia, peneliti Amnesty. [ma/dw]

XS
SM
MD
LG