Tautan-tautan Akses

Survei: Kerentanan Sosial Ekonomi Masih Terjadi pada Masa Kenormalan Baru


Seorang pekerja memanen tebu di perkebunan negara di Sidoarjo, Jawa Timur, 3 Agustus 2011. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)
Seorang pekerja memanen tebu di perkebunan negara di Sidoarjo, Jawa Timur, 3 Agustus 2011. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)

Hasil survei terhadap 2.400 rumah tangga di 34 provinsi menunjukkan kerentanan sosial ekonomi masih terjadi pada masa kenormalan baru.

Peneliti Utama The SMERU Research Institute, Asep Suryahadi, mengatakan satu dari dua rumah tangga melaporkan adanya penurunan pendapatan pada Januari 2021. Hal ini berdasar hasil survei yang diinisiasi UNICEF bekerja sama dengan UNDP, Kemitraan Australia Indonesia untuk Pembangunan Ekonomi (PROSPERA) dan The SMERU Research Institute terhadap 2.400 rumah tangga di 34 provinsi pada Desember 2020 hingga Januari 2021. Asep mengatakan kondisi ini menunjukkan masih banyak rumah tangga yang belum mampu sepenuhnya beradaptasi pada masa kenormalan baru sebagai akibat dari perubahan sosial dan ekonomi selama pandemi.

Peneliti Utama The SMERU Research Institute, Asep Suryahadi, dalam tangkapan layar.
Peneliti Utama The SMERU Research Institute, Asep Suryahadi, dalam tangkapan layar.

"Meskipun kondisi perekonomian membaik di akhir 2020, kami menemukan bahwa masih ada satu dari dua rumah tangga yang salah satu anggotanya mengalami kehilangan pekerjaan selama satu bulan terakhir," jelas Asep Suryahadi dalam peluncuran survei ini secara daring pada Jumat (10/12/2021). Asep menambahkan survei juga menemukan peningkatan pengeluaran terutama untuk bahan makanan dan sebagian lainnya terpaksa mengurangi porsi makanan, serta tidak mampu menyediakan makanan bergizi. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan dua survei The SMERU Research Institute sebelumnya yang dilakukan pada paruh pertama 15 Oktober-17 November 2020 dan paruh kedua 7 Desember-19 Desember.

Seorang anak bersama neneknya beristirahat di jalur pejalan kaki di Jakarta, 10 Oktober 2019. Maraknya makanan murah dan mengenyangkan, tapi minim gizi mengakibatkan jutaan anak mengalami masalah kesehatan. (Foto: AFP)
Seorang anak bersama neneknya beristirahat di jalur pejalan kaki di Jakarta, 10 Oktober 2019. Maraknya makanan murah dan mengenyangkan, tapi minim gizi mengakibatkan jutaan anak mengalami masalah kesehatan. (Foto: AFP)

“Sekitar 45 persen rumah tangga yang memiliki anak terpaksa mengurangi porsi makan karena tidak mampu menyediakan pangan bergizi. Ini juga menyebabkan anak- anak balita terancam risiko stunting, wasting, dan gizi buruk,” tambah Asep. Survei juga menemukan keluarga yang kehilangan pekerjaan dan tidak mendapat perlindungan sosial berdampak pada pendidikan anak dan kesehatan menjadi terganggu. Sembilan dari 10 responden menyebut tidak memiliki akses internet yang baik untuk pembelajaran jarak jauh terutama yang tinggal di luar Pulau Jawa. Sementara satu dari empat rumah tangga mengaku kesulitan untuk memperoleh pengobatan bagi anaknya yang sakit. "Ini juga ditambah dengan memburuknya tingkat kesehatan mental, yang umumnya dialami oleh rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan,” tutur Asep.

Dimas Anwar Saputra, seorang siswa SMP, bersama teman-temannya memanfaatkan jaringan internet gratis di kantor kelurahan untuk belajar di tengah pandemi COVID-19, di Jakarta, 9 September 2020. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)
Dimas Anwar Saputra, seorang siswa SMP, bersama teman-temannya memanfaatkan jaringan internet gratis di kantor kelurahan untuk belajar di tengah pandemi COVID-19, di Jakarta, 9 September 2020. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Berdasarkan temuan survei ini, Asep merekomendasikan pemerintah untuk melanjutkan bantuan sosial dengan mengutamakan keluarga dengan anak dan memadukan bantuan tunai dengan kebutuhan kesehatan dan pangan. Hal ini diharapkan dapat memenuhi aspek kesehatan dan gizi anak. Selain itu, Asep mendorong perlindungan bagi pekerja dengan cara subsidi upah langsung dan pelatihan sehingga mengurangi angka pemutusan hubungan kerja (PHK).

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Kementerian Keuangan, Masyita Crystallin dalam tangkapan layar.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Kementerian Keuangan, Masyita Crystallin dalam tangkapan layar.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Kementerian Keuangan, Masyita Crystallin menyoroti rentang tiga putaran survei pada waktu yang berdekatan (Oktober 2020-Januari 2021). Menurutnya, pilihan waktu ini membuat hasil survei tidak dapat memberikan gambaran utuh tentang kondisi masyarakat dan bantuan pemerintah pada rentang waktu lain. Ia juga menyarankan survei lanjutan agar dapat melihat efektivitas bantuan perlindungan sosial ketimbang besaran bantuan sosial yang diberikan pemerintah.

"Bisa dilihat mana yang lebih efektif membantu masyarakat, itu dapat dilihat dari efek berganda. Jadi jangan berhenti penerima bantuan sekian persen, turun sekian persen. Padahal memang lagi diturunkan pemerintah," tutur Masyita Crystallin. [sm/ah]

Recommended

XS
SM
MD
LG