Tautan-tautan Akses

Survei Indikator: Mayoritas Pelaku Usaha Menilai Ekonomi Nasional Buruk


Para buruh pabrik rokok Gudang Baru di Malang, Jawa Timur, menggulung tembakau di tempat kerja mereka, di tengah pandemi Covid-19, 11 Juli 2020. (Foto: AMAN ROCHMAN / AFP)
Para buruh pabrik rokok Gudang Baru di Malang, Jawa Timur, menggulung tembakau di tempat kerja mereka, di tengah pandemi Covid-19, 11 Juli 2020. (Foto: AMAN ROCHMAN / AFP)

Hasil survei Indikator Politik Indonesia menyatakan mayoritas pelaku usaha dan publik menilai kondisi ekonomi nasional buruk.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi mengatakan 66,4 persen pelaku usaha menilai kondisi ekonomi nasional buruk dan 10 persen pelaku usaha menilai sangat buruk. Hal tersebut berdasar survei IPI yang melibatkan 1.176 responden yang ditelepon pada 29 Juni-11 Juli 2020 dengan margin kesalahan 3,2 persen.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi. (Foto: Courtesy)
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi. (Foto: Courtesy)

Sektor usaha yang menilai ekonomi buruk didominasi dari sektor reparasi dan perawatan mobil atau sepeda motor, disusul industri pengolahan dan pertanian non perikanan-kelautan.

"Dari sisi skala usaha, meskipun usaha mikro juga terdampak, tapi ada perbedaan skala besar yang cenderung menganggap ekonomi lebih buruk ketimbang mikro," jelas Burhanuddin Muhtadi dalam konferensi pers online, Kamis (23/7/2020).

Hasil survei juga menunjukkan sejumlah masalah yang dihadapi dalam menjalankan bisnis. Antara lain kondisi ekonomi global yang lesu, kesulitan mendapat proyek atau order dan mahalnya ongkos operasional.

Grafis- Indikator Politik Indonesia. (Foto: courtesy)
Grafis- Indikator Politik Indonesia. (Foto: courtesy)

Sebanyak 35,6 persen responden juga menyatakan aparat negara atau pemerintah tidak responsif dalam membantu bisnis mereka dan 33 persen lainnya menyebut aparat pemerintah hanya mau bekerja jika diberi uang atau hadiah.

"Artinya sepertiga lebih pelaku usaha menganggap praktik koruptif yang melibatkan aparat pemerintah masih dominan," tambah Burhanuddin.

Selain itu, 45,4 persen responden menganggap aturan-aturan yang terkait bidang usaha mempersulit bisnis. Adapun sektor usaha yang merasa dipersulit antara lain pertambangan, perdagangan besar dan kecil. Sedangkan jika dilihat dari skala usahanya merupakan usaha kecil dan mikro.

Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman. (Foto: Courtesy)
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman. (Foto: Courtesy)

Menanggapi itu, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan kebijakan pemerintah dalam menangani corona sejalan dengan hasil survei IPI yaitu mempertimbangkan kesehatan dan ekonomi. Kata dia, hal ini tergambar dari pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang dilakukan Presiden Joko Widodo.

"Ini mengkorfimasi betapa pentingnya keputusan presiden membuat Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional," jelas Fadjroel.

INDEF Kritisi Pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan PEN

Sebaliknya, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani menilai pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional semakin memperpanjang birokrasi. Di samping itu, komite juga tidak bisa menggunakan anggaran yang berada di kementerian.

Survei Indikator: Mayoritas Pelaku Usaha Menilai Ekonomi Nasional Buruk
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:31 0:00

Di sisi lain, kementerian seperti Bappenas dan Kementerian Sosial yang dapat menggunakan belanja anggaran tidak dilibatkan dalam komite. Karena itu, ia khawatir jika penyerapan anggaran tetap rendah akan membuat ekonomi memburuk atau resesi.

"Birokrasinya malah tambah panjang. Dari Pak Erick Thohir ke Pak Airlangga ke presiden. Kalau dulu dari menteri ke presiden, jadi saya agak khawatir," jelas Aviliani.

Avialiani juga mendorong pemerintah untuk melakukan transformasi ekonomi pada masa pandemi. Terutama bagi pelaku UMKM yang hampir 50 persen usahanya tidak berjalan karena terdampak pandemi. Salah satunya dengan memberikan nilai tambah kepada barang atau jasa dari usaha UMKM pada masa pandemi yang lebih banyak menggunakan digital. [sm/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG