Tautan-tautan Akses

Surat Keprihatinan 26 Organisasi Profesi Kesehatan DIY


Sejumlah tenaga kesehatan sedang merawat pasien COVID-19 di sebuah tenda gawat darurat, di Sleman, DI Yogyakarta, 4 Juli 2021. (Foto: Antara via Reuters)
Sejumlah tenaga kesehatan sedang merawat pasien COVID-19 di sebuah tenda gawat darurat, di Sleman, DI Yogyakarta, 4 Juli 2021. (Foto: Antara via Reuters)

Untuk pertama kalinya sejak pandemi berlangsung Maret 2020, organisasi profesi kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengirim surat keprihatinan kepada pemerintah setempat. Tingginya tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19 dan minimnya upaya pencegahan menjadi pemicunya.

Dua puluh enam organisasi itu mewakili seluruh profesi kesehatan mulai dokter, dokter gigi, psikolog klinis, bidan, perawat, dan tenaga kesehatan lain yang bekerja di layanan kesehatan.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Yogyakarta, Dr Joko Murdiyanto mengungkap sebanyak 15 persen tenaga kesehatan DIY terpapar COVID-19 atau berjumlah 2.912 orang, dengan 25 orang meninggal. Sampai saat ini 860 orang masih menjalani isolasi dan 24 orang dalam perawatan di rumah sakit.

“Kondisi penularan COVID-19 masih cukup tinggi, angka positif masih tinggi, kemudian kondisi pelayanan kesehatan masih cukup berat. Antrian IGD masih ada walaupun sudah mulai menurun dibanding 2 minggu lalu. Kebutuhan oksigen sudah mulai teratasi, walaupun belum sepenuhnya seperti kondisi awal, dan obat sudah mulai aman,” kata Joko memaparkan kondisi umum di Yogyakarta dalam pertemuan dengan media, Senin (17/8) malam.

Tingginya angka penularan dan korban meninggal di lingkungan tenaga kesehatan, sudah dimitigasi oleh organisasi profesi kesehatan DIY. Berdasar data survei mitigasi risiko, terungkap bahwa hanya 44,4 persen tenaga kesehatan yang mengkonsumsi extra fooding. Sebanyak 25 persen unit kerja, seperti ruang periksa dan ruang tindakan, juga tidak dapat tata udara yang aman, sesuai standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).

Seorang pasien COVID-19 menunggu di ambulans untuk mendapat giliran perawtan di Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta, 7 Juli 2021. (Foto: AP)
Seorang pasien COVID-19 menunggu di ambulans untuk mendapat giliran perawtan di Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta, 7 Juli 2021. (Foto: AP)

Survei itu juga menemukan fakta, 88,2 persen tenaga kesehatan tidak didampingi tenaga pengawasan saat menggunakan dan melepas APD. Kondisi ini berpotensi mengakibatkan menempelnya virus pada bagian tubuh yang tak terlindung. Fasilitas pemberian vitamin bagi tenaga Kesehatan juga minim. Di sisi lain, tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19 dan menjalani Isoman, sangat minim menerima dukungan konsultasi psikologis ketika dibutuhkan.

Kebijakan rumah sakit pemerintah yang tidak boleh menolak pasien membuat kapasitas IGD overload, sehingga tidak memenuhi dalam standar PPI untuk merawat pasien COVID-19. Selain itu, kebijakan menaikkan jumlah tempat tidur hingga 40 persen, belum memenuhi standar ruang isolasi bertekanan negatif. Kondisi ini membahayakan, tidak hanya bagi pasien namun seluruh civitas hospitalia yang terlibat dalam layanan tersebut.

“Rasio tenaga kesehatan dan pasien yang tidak seimbang, menyebabkan kelelahan fisik dan psikis, berakibat pada menurunnya daya tahan sehingga banyak nakes yg terkena COVID-19, termasuk mengalami reinfeksi COVID-19,” tambah Joko.

Puskesmas juga mengalami beban tambahan berupa pelacakan kontak erat, target vaksinasi, pengambilan sampel untuk pemeriksaan PCR, pelayanan pasien COVID-19, pemantauan pasien isolasi mandiri, pelayanan rutin dalam gedung dan luar gedung. Selain itu, beban juga muncul karena adanya laporan harian yang diminta oleh beberapa instansi seperti BPOM, Dinkes, TNI, Kepolisian, dan Kemenkes dengan format yang berbeda. Hal ini membuat nakes mengerjakan pekerjaan dengan substansi sama secara berulang-ulang, dan ini menyebabkan waktu kerja menjadi tidak efisien.

Petugas kesehatan menunggu usai menerima vaksin COVID-19 Sinovac di Sleman, Yogyakarta, 28 Januari 2021. (Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko via REUTERS)
Petugas kesehatan menunggu usai menerima vaksin COVID-19 Sinovac di Sleman, Yogyakarta, 28 Januari 2021. (Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko via REUTERS)

Prof. Yayi Suryo Prabandari, dari Perkumpulan Promotor dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI) menyebut, konsentrasi penanganan sebenarnya sudah harus dilakukan sejak hulu atau upaya pencegahan di masyarakat.

“Dengan banyaknya kasus yang terjadi, dan nakes yang sakit dan terbatas SDM-nya, kalau ini bisa ditahan atau dikontrol sejak awal, maka tidak akan terjadi penumpukan kasus di layanan kesehatan,” kata Yayi.

Surat Keprihatinan 26 Organisasi Profesi Kesehatan DIY
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:31 0:00

Karena itulah, seruan keprihatinan ini harus dimaknai sebagai ajakan agar pemerintah pusat, daerah dan masyarakat bekerja sama dan saling mendukung. Surat keprihatinan, kata Yayi, ini adalah gambaran apa yang sebenanrya terjadi di lapangan.

“Kalau hulunya baik, hilirnya juga akan baik,” tambahnya.

Yayi mengapresiasi penurunan kasus yang saat ini terjadi, sebagai buah penerapan PPKM dengan baik. Tenggang rasa seluruh pihak dibutuhkan. Mereka yang bergerak di sektor kesehatan, kata Yayi, juga peduli dengan kondisi ekonomi. Prinsipnya, jika kondisi kesehatan baik, dengan sendirinya ekonomi akan membaik.

Dokter gigi pun menerima dampak luar biasa dari pandemi, seperti dipaparkan drg. Iwan Dwiyanto Dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Yogyakarta.

“Kami dari dokter gigi benar-benar tiarap sebenarnya, karena kita resikonya terpapar terlalu tinggi, kalau memeriksa gigi dan mulut itu jelas semua ada disitu,” ujarnya.

Secara nasional, PDGI juga sudah memberikan surat kepada anggotanya untuk tidak membuka praktik terlebih dahulu dan memakai layanan telemedis. Melihat perkembangan yang ada, PDGI juga meminta surat dari organisasi profesi kesehatan ini harus diperhatikan. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG