Tautan-tautan Akses

Suara Sempritan Bambu di Moskow


Rikko Indie pegiat edukasi mainan tradisional dari Kampoeng Hompimpa, Yogyakarta. (Foto courtesy: Rikko)
Rikko Indie pegiat edukasi mainan tradisional dari Kampoeng Hompimpa, Yogyakarta. (Foto courtesy: Rikko)

Indonesia dikenal kaya akan budaya dan produk kerajinan. Keduanya kini dikemas sebagai satu paket untuk menarik minat pasar internasional. Cerita di balik pembuatannya menjadi bumbu menarik minat pembeli.

Dua perempuan berusia lanjut mengantar tas kain perca buatan mereka sendiri ke Sang Bun, sebuah pusat penjualan produk Usaha Kecil Menengah (UKM) di Yogyakarta. Tas cantik itu dibuat dengan jahitan yang rapi dan terpola baik. Warna potongan kain berpadu serasi. “Ini produk buatan kami sendiri,” kata Latifah, perempuan yang mengisi waktunya lewat quilting (kerajinan kain perca).

Bukan sekedar sebuah toko, Sangbun adalah komunitas. Di dalamnya ada puluhan UKM yang tidak sekedar menitipkan produknya, tetapi juga saling belajar mengembangkan usaha.

“Ini semacam idealisme. Kami awalnya juga ragu apakah bisa jalan atau tidak. Tetapi ternyata dukungan kawan-kawan UKM sangat bagus, jadi bisa terus sampai sekarang,” kata Diana Dewi, pendiri Sangbun.

Sang Bun merupakan komunitas UKM yang bersama-sama berkembang di pasar lokal maupun internasional. (Foto:VOA/Nurhadi)
Sang Bun merupakan komunitas UKM yang bersama-sama berkembang di pasar lokal maupun internasional. (Foto:VOA/Nurhadi)

Sangbun adalah Sangga Budaya Nusantara. Di dalamnya terkumpul produk-produk UKM mulai dari kopi, minuman dan makanan tradisional, kerajinan kayu, bambu, barang berbahan kulit, tas kain hingga produk daur ulang. Produsen yang bergabung berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

Kepada VOA, Diana menunjukkan tas berbahan kertas koran bekas yang rutin dikirim ke Brazil. Belum lama ini, mereka juga terpilih untuk ikut serta dalam pameran di Moskow. Dengan tema permainan tradisional, komunitas ini memperkenalkan produk-produk asli Indonesia yang terkait dengan budaya keseharian masyarakat.

Suara Sempritan Bambu di Moskow
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:11 0:00

Namun karena bukan sekadar sebuah toko, di Sang Bun setiap produk memiliki kisah di belakangnya. Komunitas ini ingin membawa kisah para produsen kepada pembeli mereka. Bagaimana barang itu dibuat, oleh siapa, dan nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Misalnya, produsen diajak untuk bercerita tentang filosofi kain batik, bagaimana kayu diolah sesuai aturan yang ada, dan masyarakat seperti apa yang terlibat dalam proses produksinya.

“Ini sudah nilai jual yang tinggi, budaya Indonesia. Ada story telling yang kita jual itu memberi pengaruh yang sangat besar. Sekarang, selain back to nature, kita juga berhadapan dengan pembeli yang semakin pintar. Pintar dalam arti membeli produk bukan sekedar karena murah atau harganya, bukan sekedar modelnya, tetapi nilai apa, komitmen apa dan tujuan apa yang ada di dalam produk itu,” ujar Diana Dewi.

Produk Tradisional Berskema Global

Sebagai komunitas pemberdayaan, Sang Bun menerapkan konsep yang diterima oleh pasar global. Misalnya skema perdagangan adil atau fair tradeyang menjadi isu sensitif bagi sebagian pembeli. Fair trademenempatkan kesetaraan antara produsen dan pedagang, pembayaran yang adil, transparansi dan saling percaya. Selain itu, komunitas ini juga mendorong anggotanya untuk menerapkan cara-cara ramah lingkungan dalam memproduksi barangnya. Diana Dewi mengaku, butuh proses panjang untuk menerapkan idealisme semacam itu. Namun dia percaya UKM di Indonesia mampu mewujudkannya.

Diana Dewi pendiri Sang Bun mengajak UKM bersama-sama tumbuh. (Foto:VOA/Nurhadi)
Diana Dewi pendiri Sang Bun mengajak UKM bersama-sama tumbuh. (Foto:VOA/Nurhadi)

Dengan menyatu dalam komunitas, anggota UKM di dalamnya juga yakin mampu bekerja sama untuk tumbuh. “Banyak teman-teman bisa memproduksi barang, tetapi kesulitan menjualnya. Jadi, kita saling bantu untuk menjualkan. Tidak ada prinsip untuk menjadi besar sendiri, tetapi keinginannya adalah mari kita tumbuh dan membesar bersama-sama,” kata Nurhidayah Erna S, salah seorang pegiat UKM yang aktif di komunitas ini.

Indonesia memiliki potensi budaya yang cukup besar untuk dijual ke luar negeri. Berbeda dengan Korea atau Jepang yang menjual produk budaya modern, budaya tradisional justru menjadi andalan di sini. Korea mampu menjual K Pop, drama Korea, dan mode busana ke seluruh dunia. Kesuksesan Korean Wavesemacam itu seharusnya menjadi inspirasi bagi Indonesia. Seperti juga negara-negara yang bisa membawa produk budaya mereka ke pasar global, misalnya India dan Amerika Serikat dengan film-film, busana dan gaya hidupnya.

Sempritan bambu yang dibawa Sang Bun dimainkan anak Rusia di Moskow. foto dok Sang Bun. (Foto courtesy: Sang Bun)
Sempritan bambu yang dibawa Sang Bun dimainkan anak Rusia di Moskow. foto dok Sang Bun. (Foto courtesy: Sang Bun)

Produk budaya Indonesia selalu memperoleh sambutan positif di luar negeri. Dalam gelaran Salon International d’Alimentation (SIAL) di Paris, akhir Oktober lalu, produk makanan dan minuman Indonesia mampu meraup transaksi hingga 16,37 juta dollar AS. Produk Garam Nipak yang terinspirasi dari kearifan lokal Papua bahkan memperoleh penghargaan khusus.

Begitupun dalan gelaran pameran di Moskow, mainan tradisional sempritan bambu, othok-othok dan produk sejenis sangat laku. “Mainan ini dibuat oleh penjual keliling yang sering lewat di depan Sang Bun. Lalu kami bawa ke Moskow. Di akhir acara karena bahkan ada semacam lelang. Di sini dijual hanya 5 ribu rupiah, bisa laku sampai ratusan ribu rupiah di sana,” tambah Diana Dewi.

Di tengah pasar yang terus mengglobal, upaya mempopulerkan produk budaya di masyarakat lokal maupun internasional adalah juga bagian dari perang budaya. Karena remaja Indonesia kini kian gemar menyanyikan lagu Korea, sementara anak-anak Rusia main sempritan bamboo buatan Indonesia. [ns/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG