Tautan-tautan Akses

Setia pada Pasangan Dipercaya Ampuh Cegah Penularan HIV


Survei di Yogyakarta dan NTT menemukan sejumlah fakta menarik. Dari 482 responden, mayoritas percaya mereka akan terhindar dari resiko tertular HIV/AIDS jika bersikap setia pada pasangan, sebagai ilustrasi. (Foto: Reuters)
Survei di Yogyakarta dan NTT menemukan sejumlah fakta menarik. Dari 482 responden, mayoritas percaya mereka akan terhindar dari resiko tertular HIV/AIDS jika bersikap setia pada pasangan, sebagai ilustrasi. (Foto: Reuters)

Sebuah survei di dua wilayah, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur menemukan sejumlah fakta menarik. Dari 482 responden yang diwawancari secara mendalam, mayoritas memiliki pengetahuan cukup baik mengenai HIV/AIDS. Mayoritas juga percaya, bahwa mereka terhindar dari resiko tertular HIV/AIDS, karena bersikap setia pada pasangan.

Survei KAP (Knowledge, Attitude, Practice) ini diselenggarakan oleh lembaga CD Bethesda YAKKUM Yogyakarta yang konsen dalam bidang kesehatan. Survei ini menggunakan tiga dimensi, yaitu dimensi knowledge yang dikaitkan dengan pengetahuan dan kesadaran tentang HIV dan Aids. Dimensi attitute menelusur sikap dan stigma HIV dan Aids, serta kesadaran HIV dan sumber informasi. Serta dimensi practice untuk mengetahui perilaku mencari kesehatan serta perilaku mencari perawatan.

Hamdan Farchan, dari Divisi Pelayanan Kesehatan Primer CD Bethesda, Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)
Hamdan Farchan, dari Divisi Pelayanan Kesehatan Primer CD Bethesda, Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)

Hamdan Farchan, peneliti dari CD Bethesda Yogyakarta, memaparkan hasil peneitian itu Senin (14/12).

“Rutin tes HIV, tidak narkoba, tahu cara penularan, tidak melakukan seks bebas, tidak berperilaku beresiko, setia pada pasangan. Itu jawaban responden Yogyakarta tentang kenapa tidak bisa tertular. Kalau di Belu, kenapa tidak akan tertular, karena setia pada pasangan, belum memiliki pasangan, dan tidak seks bebas. Rata-rata setia kepada pasangan menjadi jawaban,” kata Hamdam di Yogyakarta.

Sejumlah fakta lain yang cukup menarik sebagai hasil survei ini adalah bahwa 84 persen responden percaya kondom bisa mencegah penularan. Ketika ditanya apakah mitos gigitan nyamuk bisa menularkan HIV, 15 persen mengiyakan dan lima persen mengaku tidak tahu. Sedangkan mengenai mitos makan bersama ODHA bisa menularkan HIV, 14 persen menjawab ya dan dua persen menjawab tidak tahu. Secara umum, masyarakat telah memiliki pemahaman cukup baik terkait HIV/AIDS.

Survei di Yogyakarta dan NTT menemukan sejumlah fakta menarik. Dari 482 responden, mayoritas percaya mereka akan terhindar dari resiko tertular HIV/AIDS jika bersikap setia pada pasangan. (Foto: AFP/Asit Kumar)
Survei di Yogyakarta dan NTT menemukan sejumlah fakta menarik. Dari 482 responden, mayoritas percaya mereka akan terhindar dari resiko tertular HIV/AIDS jika bersikap setia pada pasangan. (Foto: AFP/Asit Kumar)

Dari 75 ODHA (orang dengan HIV&AIDS) di Kota Yogyakarta, sebanyak 41 persen menyatakan bisa tertular virus itu karena seks bebas dan ganti-ganti pasangan, sementara 24 persen menduga karena perilaku seks beresiko. Penyebab lain adalah seks tanpa kondom dengan pengidap HIV, pasangan lebih dari satu, dan penggunaan bersama jarum suntik narkoba. Sementara itu dari 21 ODHA di Kabupaten Belu, 22 persen menyatakan seseorang tertular HIV karena berhubungan seks dengan yang sudah terinfeksi HIV, 33 persen karena pergaulan bebas, dan 22 persen karena berhubungan seks tanpa kondom.

Dari sisi perilaku, ada kontradiksi yang muncul sampai saat ini. Dari hasil survei, sebanyak 67 persen menyatakan merasakan belas kasihan dan ingin membantu jika mengetahui seseorang menjadi ODHA. Namun di sisi lain, dari perilaku, sebanyak 53 persen mangatakan bahwa masyarakat pada umumnya ramah, tapi cenderung menghindari ODHA.

Mayoritas responden, baik ODHA maupun bukan, menempatkan tenaga kesehatan sebagai sumber informasi utama terkait HIV/AIDS.

Belu Belajar dari Yogya

Peneliti CD Bethesda yang lain, Sukendri Siswanto, mengatakan Kabupaten Belu dipilih karena sejumlah faktor.

“Saat ini, kasus di Kabupaten Belu nomor dua setelah Kupang, tetapi angka kematiannya itu tertinggi di NTT. Itu yang membuat program CD Bethesda masuk ke sana, untuk melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS di kabupaten Belu,” kata Sukendri.

Faktor penyebabnya, lanjut Sukendri, terutama adalah perilaku hubungan seksual. Ada banyak praktik prostitusi terselubung, dan kedekatan dengan perbatasan Timor Leste.

Petugas menemui responden dalam pelaksanaan survei di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Courtesy/CD Bethesda)
Petugas menemui responden dalam pelaksanaan survei di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. (Foto: Courtesy/CD Bethesda)

Sementara di sisi lain, Yogyakarta memiliki berbagai keunggulan terkait isu HIV/AIDS. Survei Kementerian Kesehatan menyebut, pemahaman masyarakat Yogyakarta sangat baik. Program-program yang dijalankan juga dapat dicontoh. Salah satunya adalah akses terhadap ARV yang di Belu harus melalui rumah sakit, sedangkan di Yogyakarta sudah sampai ke tingkat Puskesmas. Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) di Belu juga diharapkan mampu mencontoh gerakan serupa di Yogyakarta.

“Kita ingin ada peningkatan layanan penanganan HIV/AIDS di Belu, dengan mengadopsi apa yang baik, yang ada di Yogya,” tambah Sukendri.

Komunitas Sambut Baik

Hasil penelitian ini ditanggapi positif oleh berbagai komunitas terkait HIV/AIDS. Magdalena, dari Jaringan Indonesia Positif (JIP) Yogyakarta mengakui, diskriminasi pada ODHA masih muncul karena pemahaman masyarakat yang kurang.

Setia Pada Pasangan Dipercaya Ampuh Cegah Penularan HIV
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:30 0:00

“Sehingga kami mohon, hasil survei ini menjadi rekomendasi baik di daerah maupun nasional, bahwa masih dibutuhkan edukasi sekarang ini, baik melalui sosial media maupun cara konvensional, seperti sosialisasi,” kata Magda.

JIP sendiri mencatat ada 53 kasus diskriminasi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sebagian besar, kasus itu justru tidak ditindaklanjuti, karena kekhawatiran dari ODHA sendiri, terkait apa yang akan terjadi nantinya.

“Dua mahasiswa anggota kita, di dua perguruan tinggi di Yogya dan Jawa Tengah, tidak bisa koas karena status HIV-nya,” lanjut Magda.

Sementara baru dua pekan yang lalu, terjadi tindakan penyebaran status HIV seseorang oleh tenaga medis di Yogyakarta. Tenaga medis tersebut mengabarkan status HIV seseorang kepada perangkat dusun dimana dia tinggal, yang melahirkan stigma. Hal-hal semacam inilah yang masih harus diatasi ke depan, melalui program penyadaran masyarakat.

Rully Malay, aktivis Yayasan Kebaya Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)
Rully Malay, aktivis Yayasan Kebaya Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)

Rully Malay, aktivis Yayasan Kebaya Yogyakarta mengaku hasil survei ini menjadi masukan menarik bagi mereka. Secara kelembagaan, kata Rully, hasil survei ini menjadi potret yang sangat penting dalam perencanaan program. Survei ini menggambarkan pemahaman masyarakat terkait HIV/AIDS, dan program yang perlu dijalankan ke depan untuk memperbaikinya.

“Meskipun kita juga tidak bisa mengesampingkan, misalnya komponen pengetahuan komprehensif masyarakat, tidak selalu berbanding lurus dengan kesadaran dari masyarakat itu sendiri,” kata Rully, seorang aktivis waria.

Rully juga menekankan perlunya kajian lebih lanjut agar lembaga-lembaga yang memiliki perhatian terhadap HIV/AIDS dapat menjadikan laporan ini untuk pogram kerja selanjutnya.

Kegiatan pelatihan SALT untuk WPA dan KDS di Kabupaten Belu, Februari 2020 oleh CD Bethesda. (Foto: Courtesy/CD Bethesda)
Kegiatan pelatihan SALT untuk WPA dan KDS di Kabupaten Belu, Februari 2020 oleh CD Bethesda. (Foto: Courtesy/CD Bethesda)

Riset Perilaku Penting

Dr Bagoes Widjanarko, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah survei pengetahuan, persepsi dan perilaku penting karena semua hal itu terus berubah. Pada tahun 90-an misalnya, ada kepercayaan di masyarakat Indonesia bahwa HIV/AIDS hanya menyerang masyarakat Barat.

Sementara dalam penelitian sekitar tahun 2003, menurut para ODHA di Indonesia, salah satu hal yang paling berat adalah bertemu dengan tenaga kesehatan. Ketika itu, mayoritas tenaga kesehatan belum memahami apa itu HIV/AIDS, sehingga justru memberikan stigma dan melakukan diskriminasi.

Dr. dr. Bagoes Widjanarko, MPH, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang. (Foto: VOA/Nurhadi)
Dr. dr. Bagoes Widjanarko, MPH, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Hal yang paling pasti adalah, bahwa kita harus terus menerus belajar, dan akan menjadi sangat bagus kalau ada survei semacam ini,” ujar Bagoes.

Karena pemahaman dan perilaku masyarakat selalu berubah, maka penelitian harus terus dilakukan.

“Kalau ini dilakukan lima tahun yang akan datang, kemungkinan akan berbeda. Dan apa yang ada sekarang dengan lima tahun yang akan datang tentu menjadi proses yang bisa kita pelajari seperti apa trennya. Karena perilaku bergeser dari waktu ke waktu dan bisa dijelaskan melalui berbagai macam teori,” lanjut Bagoes. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG