Tautan-tautan Akses

SETARA Institute Kecam Perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang


Pengikut aliran minoritas Islam Ahmadiyah memadamkan masjid yang terbakar di Desa Ciampea, Jawa Barat pada 2010. Ratusan orang yang merusak rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat pada 3 September 2021. (Foto: Reuters)
Pengikut aliran minoritas Islam Ahmadiyah memadamkan masjid yang terbakar di Desa Ciampea, Jawa Barat pada 2010. Ratusan orang yang merusak rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat pada 3 September 2021. (Foto: Reuters)

SETARA Institute mengecam keras aksi kekerasan oleh ratusan orang yang merusak rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Jumat (3/9). Aparat Kepolisian didesak untuk memproses hukum pelaku.

SETARA Institute mengutuk keras aksi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Jumat (3/9) siang.

Massa berjumlah sekitar dua ratus orang yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Sintang dengan motor utama Persatuan Orang Melayu (POM) melakukan pembakaran bangunan musala, merusak dan mengobrak-abrik Masjid Miftahul Huda yang dibangun oleh jemaah.

“Tindakan kekerasaan atas nama apapun merupakan kebiadaban, merusak kedamaian dalam tata kebhinekaan, dan oleh karena itu mestinya tidak dibiarkan oleh negara,” Kata Halili Hasan, Direktur Riset SETARA Institute dalam siaran Pers, Jumat (3/9) malam.

Seorang perempuan berjalan melewati masjid milik kelompok Ahmadiyah yang disegel oleh pihak berwenang di Jakarta Selatan, 9 Juli 2015. (Foto: Reuters)
Seorang perempuan berjalan melewati masjid milik kelompok Ahmadiyah yang disegel oleh pihak berwenang di Jakarta Selatan, 9 Juli 2015. (Foto: Reuters)

SETARA Institute menilai pemerintah gagal melindungi sekelompok warga negara Indonesia di Sintang yang diserang, dilanggar hak-hak konstitusional untuk beragama dan beribadah, serta direndahkan martabat kemanusiaannya hanya karena pilihan keyakinan berdasarkan nurani.

“Padahal, UUD 1945 menjamin hak-hak dasar tersebut. Dengan demikian, pemerintah pada dasarnya gagal menegakkan jaminan konstitusi,” tegas Halili Hasan.

Dalam pandangan SETARA Institute, kejadian penyerangan itu merupakan kulminasi dari tiga faktor. Pertama, ketundukan pemerintah daerah kepada kelompok intoleran. Sudah sejak awal pemkab tunduk, mengeluarkan SKB Pelarangan Ahmadiyah atas tuntutan kelompok intoleran.

Kedua, dinamika politik lokal. Beberapa elite bermain-main politik dengan kelompok intoleran demi dukungan politik, terutama saat bupati sedang sakit dan wakil bupati diangkat menjadi pelaksana tugas (Plt). Ketiga, kegagalan aparatur keamanan dalam mencegah terjadinya serangan dan menangani kekerasan yang dilakukan oleh penyerang di lokasi. Ancaman, intimidasi, dan indikasi kekerasan sebenarnya sudah mengemuka sejak jauh-jauh hari, terutama sejak awal Agustus.

“SETARA Institute mendesak aparat kepolisian untuk melakukan penegakan hukum yang adil dengan menetapkan para pelaku sebagai tersangka. Selain itu, aparat keamanan juga harus menjamin keamanan pribadi korban dari tindakan kekerasan lebih lanjut,” desak Setara Insitute.

SETARA Institute mendorong pemerintah pusat, khususnya Kemendagri, Kemenag, dan Kejaksaan Agung untuk mengambil langkah-langkah serius dalam mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Pelarangan Ahmadiyah.

Polisi memeriksa rumah pengikut Ahmadiyah yang rusak setelah diserang sekelompok orang di Pandeglang, Banten, 7 Februari 2011. (Foto: AP)
Polisi memeriksa rumah pengikut Ahmadiyah yang rusak setelah diserang sekelompok orang di Pandeglang, Banten, 7 Februari 2011. (Foto: AP)

Secara faktual, SKB tersebut telah memantik aneka peristiwa pelanggaran hak dan kekerasan terhadap Ahmadiyah.

Demikian pula, Kemendagri dan Kemenag harus mengambil langkah memadai dalam merevisi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Dua Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah. Kedua regulasi ministerial tersebut nyata-nyata bermasalah dari sisi substansi dan secara faktual telah dijadikan alasan pembenar dalam banyak peristiwa persekusi atas kelompok minoritas agama.

Situasi Kondusif

Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Barat Kombes Donny Charles Go kepada VOA mengatakan aparat keamanan gabungan TNI/POLRI masih melakukan pengamanan di desa Balai Harapan yang terdapat sekitar 20 kepala keluarga warga JAI. Secara umum situasi keamanan di wilayah itu kondusif.

“Dua atau tiga jam pasca adanya aksi perusakan itu, massa kan sudah kembali pulang, membubarkan diri, setelah kita lakukan negosiasi oleh personel kita yang ada di sana. Kemudian juga ada komunikasi bapak Gubernur bahwa menjanjikan dalam waktu dekat solusi yang terbaik, akhirnya massa berangsur-angsur kembali,” jelas Kombes Donny Charles Go.

Menjawab pertanyaan VOA, Kombes Donny Charles Go menjelaskan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Barat dan Polres Sintang masih melakukan penyelidikan untuk penegakan hukum terhadap para pelaku perusakan.

“Kita berharap sih dalam waktu dekat sudah ada hasil bagus untuk proses penegakan hukum ini” kata Kombes Donny. [yl/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG