Tautan-tautan Akses

SETARA Institute Dorong Pemerintah Cabut SKB Tiga Menteri


Tentara berjalan melintas sebuah masjid milik pengikut Ahmadiyah yang dibakar massa di Desa Ciampea, Jawa Barat, 2 Oktober 2010.
Tentara berjalan melintas sebuah masjid milik pengikut Ahmadiyah yang dibakar massa di Desa Ciampea, Jawa Barat, 2 Oktober 2010.

Setara Institute menyerukan kepada pemerintah pusat, khususnya Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung, untuk mencabut SKB Tiga Menteri yang kerap dijadikan alasan pelaku aksi intoleran.

Seruan ini menyusul pembubaran paksa diskusi buku tentang Ahmadiyah di Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu (5/1) oleh sekelompok massa dengan mengatasnamakan SKB kontroversial itu.

Peluncuran buku “Haqiqatul Wahy” di Bandung, Jawa Barat, pada Sabtu (5/1) dibubarkan sekelompok massa yang mengaku berasal dari gabungan ormas, antara lain FPI, Dewan Dakwah Islamiah Indonesia dan Jawara Sunda.

Mereka menilai diskusi buku di Masjid Mubarak itu merupakan bagian dari penyebaran paham Ahmadiyah yang “melanggar Peraturan Gubernur Jawa Barat No.12 Tahun 2011 dan SKB Tiga Menteri No.3 Tahun 2008.” Massa yang mengatasnamakan Paguyuban Pengawal NKRI juga menilai buku “Haqiqatul Wahy” sebagai salah satu kitab suci Jemaat Ahmadiyah.

Kelompok orang yang menolak diskusi buku Ahmadiyah berorasi dengan pengawalan ketat kepolisian. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)
Kelompok orang yang menolak diskusi buku Ahmadiyah berorasi dengan pengawalan ketat kepolisian. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

Untuk menghindari terjadinya aksi kekerasan, di bawah pengawalan ketat polisi dan diawasi Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) Kota Bandung, peserta diskusi buku memilih membubarkan diri dengan tertib.

“Saya tidak mau ada pertentangan dengan mereka. Biarlah yang marah, silakan. Tapi kami tetap berdamai dengan mereka. Kami mengalah untuk kedamaian. Sebab kami Ahmadiyah mengasihi semua, tidak memusuhi siapapun,” ujar Mansyur Ahmad, Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI Untuk Bandung Tengah, kepada wartawan.

Dihubungi melalui telepon, Ketua Institute for Criminal Justice Reform ICJR Anggara mengatakan “pembubaran diskusi tanpa prosedur hukum yang sah mestinya tidak boleh dilakukan.” Ia juga menyesalkan sikap polisi yang membiarkan adanya pihak yang melakukan tindakan agresif seperti kelompok pengunjuk rasa yang memaksa agar diskusi diakhiri lebih cepat dari yang dijadwalkan.

“Kejadian seperti ini berulang kali terjadi tanpa ada tindakan tegas kepolisian. Penguasa daerah juga diam saja, padahal mereka bersumpah untuk menegakkan aturan hukum,” ujar Anggara.

Kapolrestabes Bandung Irman Sugema mengatakan polisi bertugas menjaga sesuai dengan waktu yang disepakati. “Kesepakatannya pukul 10.30 WIB selesai. Nah, kita jaga sudah tidak ada apa-apa. Massa yang keluar tidak dianiaya dan tidak terjadi bentrok fisik,” ujarnya.

Seorang pengikut Ahmadiyah menunjukkan Alquran yang hangus terbakar di Desa Ciampea, Jawa Barat, 2 Oktober 2010.
Seorang pengikut Ahmadiyah menunjukkan Alquran yang hangus terbakar di Desa Ciampea, Jawa Barat, 2 Oktober 2010.

Lebih jauh SETARA Institute pada Minggu (6/1) mengkritisi SKB Tiga Menteri No.3/2008 yang dijadikan alasan pembubaran diskusi tentang Ahmadiyah itu.

“Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung, hendaknya mengambil langkah-langkah progresif untuk mencabut SKB tersebut, misalnya dengan terlebih dahulu melakukan evaluasi komprehensif terhadap dampak buruk SKB dalam bentuk intoleransi, eksklusi sosial, persekusi, dan pelanggaran hak yang dialami JAI sebagai warga negara dalam satu dekade terakhir,” kata SETARA Institute. JAI adalah singkatan dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Koresponden VOA Diintimidasi

Tak cukup dengan membubarkan diskusi, massa juga mengintimidasi wartawan yang awalnya meliput jalannya diskusi namun kemudian beralih ke luar masjid untuk meliput proses negosiasi dan pembubaran yang diwarnai teriakan dan sorak sorai bernada kebencian ke arah Jemaat Ahmadiyah.

Koresponden VOA Rio Tuasikal yang mengambil foto dan video dari arah massa, menghadap ke polisi, ditarik beberapa pengunjuk rasa.

“Mereka (massa pengunjuk rasa.red) menganggap saya mengambil fotonya dan tidak terima. Saya bilang, saya mengambil gambar di belakangnya, namun dia tidak percaya. Dia minta gambar tersebut dihapus dan menarik baju saya. Beberapa orang di kanan dan kiri saya juga langsung menarik saya, meminta foto dihapus,” ujar Rio.

Rio menambahkan ia tidak merespon permintaan mereka dan berupaya menembus barikade polisi. “Namun meski pun sudah menyatakan diri sebagai jurnalis VOA, polisi tetap menanyakan beberapa hal dulu sebelum saya diperbolehkan lewat,” ujar Rio.

Kelompok yang mengatasnamakan warga menolak kegiatan Jalsah Salanah dari kelompok Ahmadiyah di Bandung akhir September 2018 sementara polisi nampak berjaga. (Courtesy: LBH bandung)
Kelompok yang mengatasnamakan warga menolak kegiatan Jalsah Salanah dari kelompok Ahmadiyah di Bandung akhir September 2018 sementara polisi nampak berjaga. (Courtesy: LBH bandung)

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen AJI Abdul Manan mengatakan telah mendapat laporan tentang apa yang menimpa koresponden VOA Rio Tuasikal.

“Tentu saja kami menyesalkan sikap massa yang mengintimidasi wartawan, sebab ia ada di lokasi untuk menjalankan tugas jurnalistik dan itu dilindungi oleh UU Pers,” kata Abdul Manan menegaskan.

Lebih jauh Abdul Manan menggarisbawahi bahwa “jika terbukti mengintimidasi, apalagi menghapus foto atau video, itu jelas pelanggaran terhadap UU Pers dan bisa dipidana pakai UU Pers juga.”

Pasal 4 UU Pers memberi jaminan soal kemerdekaan pers, termasuk bebas dari sensor dan pembredelan. Pasal itu juga menjamin wartawan saat menjalankan tugasnya yaitu mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,” papar Abdul.

Sementara pasal 18 UU Pers, tambah Abdul Manan, memuat ancaman pidana penjara sampai dua tahun bagi mereka yang menghalang-halangi wartawan ketika menjalankan profesinya.

Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Bandung Tengah, Mansyur Ahmad, memegang buku "Haqiqatul Wahy" yang didiskusikan. Buku tersebut selesai diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan terbit Juli 2018. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Bandung Tengah, Mansyur Ahmad, memegang buku "Haqiqatul Wahy" yang didiskusikan. Buku tersebut selesai diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan terbit Juli 2018. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

Buku “Haqiqatul Wahy” Bahas Filosofis Wahyu

Buku “Haqiqatul Wahy” atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Filsafat Wahyu Ilahi” adalah buku yang mengisahkan perjalanan spiritual Mirza Ghulam Ahmad ketika mendapat wahyu.

Buku setebal 750 halaman yang sudah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa ini membahas filosofis wahyu ilahi, termasuk tiga kategori orang yang mengaku menerima wahyu, dan membenarkan wahyu yang benar dan salah.

Pembubaran diskusi buku terkait intoleransi di Bandung, Jawa Barat ini adalah yang pertama kali terjadi tahun ini. Sebelumnya beberapa minggu menjelang pergantian tahun terjadi perusakan makam Kristen di Magelang, dan juga pemotongan nisan salib dari kayu di pemakaman di Yogyakarta serta larangan doa penguburan secara Kristen. [em]

Recommended

XS
SM
MD
LG