Tautan-tautan Akses

Setahun Pasca Gempa Sulteng, 216 Narapidana Belum Kembali


Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA, Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: VOA/Yoanes Litha)
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA, Palu, Sulawesi Tengah. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Jelang setahun pascabencana alam di Sulawesi Tengah, 216 narapidana belum kembali melanjutkan masa hukuman mereka di Rutan dan Lapas

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tengah menyebutkan lebih dari 200 narapidana masih belum kembali untuk melanjutkan masa hukuman mereka, sejak keluar dari dalam lapas dan rutan yang mengalami kerusakan akibat gempa bumi berkekuatan 7,4 SR pada 28 September 2018 silam. Selain mencari, pihak berwenang mengimbau agar para narapidana itu kembali ke Rutan atau Lapas.

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tengah menyebutkan masih terdapat 216 narapidana yang belum kembali ke Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan di Kota Palu dan Donggala, Suprapto, Kepala Divisi Pemasyarakatan pada Kantor Wilayah Kemenkumham Sulawesi Tengah mengatakan upaya untuk mencari para narapidana itu masih terus dilakukan.

Aktifitas warga binaan di Rumah Tahanan Kelas II a Palu, Sulawesi Tengah, 10 September 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)
Aktifitas warga binaan di Rumah Tahanan Kelas II a Palu, Sulawesi Tengah, 10 September 2019. (Foto: VOA/Yoanes Litha)

“Hampir satu tahun ini mereka terus berangsur kurang. Kemarin terakhir ada 230-an tapi secara berangsur sudah berkurang, ada penangkapan-penangkapan lagi, kita terus mengupayakan untuk bisa kembali, baik secara himbauan, atau kalau ada informasi kita jemput. Masih di luar sekitar 216,” jelas Suprapto di sela-sela kegiatan Rapat Koordinasi Penyusunan Pedoman Penanganan Bencana (Disaster Plan) seluruh UPT (Unit Pelaksana Teknis) Pemasyarakatan di Rutan Kelas IIA Palu (10/9).

Kegiatan yang diprakarsai Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan atau United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkuham untuk merespon adanya kebutuhan regulasi yang dapat menjadi payung hukum standar operasional prosedur di lapas dan rutan saat terjadi bencana alam yang mengancam keselamatan jiwa warga binaan dan petugas.

Rapat Koordinasi Penyusunan Pedoman Penanganan Bencana (Disaster Plan) Seluruh UPT (Unit Pelaksana Teknis) Pemasyarakatan di Rutan Kelas IIA Palu (10/9/2019). (Foto: VOA/Yoanes Litha)
Rapat Koordinasi Penyusunan Pedoman Penanganan Bencana (Disaster Plan) Seluruh UPT (Unit Pelaksana Teknis) Pemasyarakatan di Rutan Kelas IIA Palu (10/9/2019). (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Suprapto, menjelaskan dalam peristiwa gempa bumi 28 September 2018 silam, demi alasan keselamatan jiwa dan kemanusiaan, membuat petugas Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) melepaskan para narapidana dari dalam Lapas maupun rutan yang mengalami kerusakan fisik bangunan akibat gempa bumi itu.

“Jadi mereka diberikan kesempatan kembali itu dalam rangka kemanusiaan, itu semua dalam rangka kemanusiaan. Aturannya tidak ada tapi dalam situasi darurat seperti itu kita memikirkan sesuatu yang lebih parah, seperti di rutan ini, gedungnya setinggi begini kalau terjadi bangunan rubuh mungkin di dalam sudah meninggal” jelas Suprapto.

Ia mengakui, memang ada pro kontra terkait kebijakan itu karena memang tidak ada aturan mengenai melepaskan warga binaan dari lapas atau rumah tahanan tapi situasi darurat dalam bencana gempa bumi tahun lalu, pihaknya harus mengutamakan keselamatan jiwa para warga binaan untuk dikeluarkan dari dalam bangunan yang dikhawatirkan akan rubuh.

Adhi Yanriko Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Palu, kepada VOA menceritakan dalam situasi gempa kuat pada 28 September 2018 ia para petugas lapas berupaya menyelamatkan para warga binaan yang panik dan ketakutan dari dalam sel yang terkunci. Para narapidana atau warga binaan itu kemudian ke luar dari lapas yang tidak lagi memiliki pagar bagian dalam yang membatasi mereka dengan dunia luar.

“Kalau di Lapas Palu kebetulan tembok runtuh semuanya, kemudian napi keluar begitu saja tanpa dikomando, tanpa di perintah, mereka dengan alasan berbagai macam menengok keluarganya, menyelamatkan keluarganya, untuk mengetahui kepastian keluarganya bagaimana, sehingga dia ingin keluar meninggalkan Lapas Palu,” jelasnya.

Adhi menyatakan belajar dari situasi darurat bencana alam itu, dibutuhkan adanya regulasi-regulasi yang menjadi payung hukum standar operasional prosedur (SOP) bagi lapas dan rutanjika terjadi bencana alam seperti yang terjadi di Palu, Sigi dan Donggala. Lapas Kelas II Palu berada di kelurahan Petobo yang berjarak sekitar 300 meter dari lokasi bencana likuefaksi.

“Yang kami butuhkan adalah bantuan untuk membuat regulasi-regulasi yang menjadi payung hukum, kemudian standar operasional prosedur jika terjadi bencana, baik itu yang sekarang terjadi di Palu, maupun kemungkinan-kemungkinan yang ada di seluruh Indonesia,” imbuh Adhi.

Aisyah Qadri Yuliani selaku kordinator program nasional UNODC menjelaskan, pihaknya bersama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkuham sedang penyusunan pedoman penanganan bencana dengan melibatkan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan di daerah rawan bencana seperti di Palu, Pekalongan, Mataram dan Padang.

“Di lapangannya, di UPTnya itu kan memiliki resiko-resiko tersendiri ada daerah yang resikonya itu gempa bumi, ada daerah yang resikonya itu tsunami dan bentuk bangunan itu Ian lapas dan rutan di Indonesia itu kan nggak rata,ada yang bertingkat, ada yang melebar, sehingga SOP ini menjadi rancangan awal yang menjadi resep khusus untuk setiap UPT-nya itu adalah contigency plan yang akan dikembangkan masing-masing UPT.”

Dikatakan Aisyah, pedoman penanganan bencana itu akan memperkuat prosedur tetap yang sesungguhnya sudah dimiliki tapi belum tersosialisasi dengan baik. [yl/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG