Tautan-tautan Akses

Selamatkan Lingkungan, Gerakan Tanpa Sedotan Plastik Mulai Nge-Trend di Masyarakat


Sedotan plastik yang dulu biasa digunakan untuk minum, kini mulai banyak ditinggalkan. (Foto: ilustrasi).
Sedotan plastik yang dulu biasa digunakan untuk minum, kini mulai banyak ditinggalkan. (Foto: ilustrasi).

Dalam kehidupan sehari-hari, hampir semua orang menggunakan sedotan plastik, yang kemudian berakhir menjadi sampah. Akibatnya jutaan sampah sedotan plastik mencemari lingkungan. Tapi kini, sedikit demi sedikit masyarakat sudah mulai meninggalkan sedotan plastik.

Beberapa waktu terakhir ini, ada gerakan yang dibuat untuk menggugah kepedulian masyarakat akan lingkungan, yaitu gerakan untuk tidak menggunakan sedotan plastik. Kini, sejumlah restoran cepat saji hingga social media influencer mengatakan bahwa mereka sudah mulai meninggalkan sedotan plastik.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh “Divers Clean Action”, LSM yang beranggotakan komunitas muda yang memusatkan perhatian pada isu-isu sampah laut – di Indonesia setiap hari digunakan sedikitnya 93 juta sedotan plastik, yang jika tidak di daur ulang akan mencemari lingkungan. Sampai saat ini, masih banyak pihak yang kurang peduli dengan sampah sedotan plastik. Bahkan pemulung pun cenderung hanya mengambil sampah botol dan gelas plastik yang lebih mudah didaur ulang kembali. Oleh karena itulah banyak sekali sampah sedotan plastik mencemari lingkungan, terutama laut dan merusak ekosistem.

Untuk mulai menggugah kepedulian dan mendidik masyarakat tentang bahaya sampah sedotan plastik bagi lingkungan, salah satu restoran cepat saji, yaitu McDonald’s Indonesia meluncurkan gerakan #MulaiTanpaSedotan pada 12 November 2018 lalu. Associate Director Communication McDonald’s Indonesia Sutji Lantyka mengatakan kini, di 190 gerainya di seluruh Indonesia, McDonald’s sudah tidak menyediakan dispenser sedotan plastik. Namun, masih ada beberapa minuman di McDonald’s Indonesia yang masih pakai sedotan, dan kalau ada konsumen yang ingin memakai sedotan bisa meminta kepada petugas di restoran tersebut.

"Jadi yang kita take out memang baru yang flexi straw dulu, karena minuman yang di McCafe itu masih belum bisa kita hilangkan karena nature dari minuman itu sendiri. Jadi kita masih mencari solusi yang lebih baik. Jadi untuk minuman yang sudah tidak kita berikan lagi straw adalah soft drink (coca cola, fanta, sprite) orange, ice lemon tea, milo, teh botol, itu semua kita sudah tidak lagi berikan straw," kata Sutji.

Selamatkan Lingkungan, Gerakan Tanpa Sedotan Mulia Nge-Trend di Masyarakat
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:07:43 0:00


Gerakan #MulaiTanpaSedotan Serukan Warga Bawa Sedotan yang Bisa Dipakai Berulang Kali

Gerakan #MulaiTanpaSedotan ini, kata Sutji, merupakan gerakan awal McDonald’s Indonesia untuk menjaga lingkungan. Ke depan, pihaknya pun masih mencari solusi yang terbaik untuk penggunaan kemasan dan tempat makan serta minuman yang ada di restoran ini agar lebih ramah terhadap lingkungan. Sutji juga menyarankan kepada masyarakat agar membawa sedotan yang terbuat dari bambu atau stainless agar bisa dipakai berulang kali.

"Ini kan juga bagian dari planning global yang mana tahun 2025 itu maunya kita itu sudah 100 persen menggunakan barang-barang yang terbuat dari bahan-bahan yang ramah lingkungan, bisa di daur ulang dan ada sertifikasi. Jadi semuanya pada tahun 2025 kita sudah bisa menggunakan bahan-bahan atau barang yang bisa di daur ulang.

Ikut Kampanye #MulaiTanpaSedotan, Febrian Kerjasama dengan Produsen Sedotan Stainless

Sama halnya dengan travel blogger yang juga social media influencer Febrian. Berawal dari hobi jalan-jalan ke laut dan selalu menemukan sampah sedotan plastik baik di laut maupun di pantai, Febrian kini tidak lagi menggunakan sedotan plastik.

Terlebih ketika ia mengetahui dari sebuah artikel yang dibacanya bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sampah sedotan plastik terbanyak di dunia. Febrian akhirnya memutuskan untuk tidak menggunakan lagi sedotan plastik dan mencoba mendidik masyarakat di sosial media untuk mengurangi, bahkan kalau bisa untuk tidak lagi menggunakan sedotan plastik tersebut.

Bak gayung bersambut, kini Febrian pun bekerja sama dengan salah satu produsen sedotan stainless dimana sebagian penjualannya akan disumbangkan ke bidang konservasi yang membutuhkan.

"Surprisingly, ternyata Indonesia salah satu penyumbang sampah sedotan plastik top 4 di dunia ke laut. Kadang kan orang mikirnya ah pakai sedotan plastik gak apa-apa kali, orang kecil doang, ya betul. Tapi bayangkan kalau satu orang saja dari sekian jutaan penduduk bumi tiap hari menggunakan sedotan plastik, ya akan jadi sampah juga. Sementara sampah plastik ini kan susah untuk diuraikan. Akhirnya aku bikin movement kecil-kecilan awalnya sih sendiri aja, ah coba deh cari stainless straw untuk aku bisa pakai berulang kali. Terus sampai akhirnya aku encourage orang-orang untuk pakai itu dan aku kerjasama dengan satu penjual sedotan juga untuk menjual sedotan stainless yang penjualannya itu didonasikan untuk area konservasi yang membutuhkan," jelas Febrian.

Febrian pun kini sebisa mungkin berkomitmen untuk selalu menjaga lingkungan. Setelah tidak lagi menggunakan sedotan plastik, kini dirinya berusaha untuk tidak menggunakan kantong plastik ketika sedang berbelanja. Selain itu Febrian pun selalu membawa tumbler atau botol minuman sendiri kemana pun dia pergi.

Ia berharap langkah kecilnya dapat ikut menyelamatkan lingkungan.Lebih jauh Febrian mengapresiasi sejumlah restoran yang sudah mulai menghilangkan penggunaan sedotan plastik yang menurutnya ikut mendidik masyarakat secara langsung.

Greenpeace Indonesia : Kampanye #MulaiTanpaSedotan Saja Tidak Cukup

Salah satu media kampanye pengendalian sampah plastik KLHK (Foto courtesy: KLHK).
Salah satu media kampanye pengendalian sampah plastik KLHK (Foto courtesy: KLHK).

​Meskipun demikian juru kampanye Urban ‘’Greenpeace Indonesia’’ Muharram Atha Rasyadi menilai bahwa gerakan untuk mulai tidak menggunakan sedotan sebenarnya tidak cukup efektif untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan yang ada. Menurutnya restoran cepat saji yang menggerakkan penghentian penggunaan sedotan plastik masih tetap menggunakan bahan atau material yang tidak ramah lingkungan baik untuk kemasan, tempat makan dan tempat minuman produk restoran tersebut. Padahal restoran cepat saji memiliki kemampuan lebih besar dibanding sekedar menghentikan penggunaan sedotan plastik.

"Jadi kita melihat sebenarnya kalau inisiatifnya untuk mengurangi, seharusnya mereka bisa lebih dari sekedar hanya menghilangkan sedotan. Cuma kita lihat bahwa, paling tidak kita berharap bahwa dengan adanya kebijakan ini masyarakat lebih aware dan jadi perbincangan, jadi masyarakat sedikit demi sedikit mulai peduli dan ya walaupun belum benar-benar bisa terhindar 100 persen, tapi minimal sudah coba pelan-pelan untuk mengganti kebiasaannya," kata Atha.

Menurut Atha, pemerintah harus lebih giat lagi meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup. Ia mencontohkan kebijakan plastik kantong berbayar yang pernah dikeluarkan beberapa waktu lalu, yang secara tidak langsung memaksa masyarakat untuk membawa tas kanvas ketika berbelanja. Kampanye yang baik ini menurutnya harus diikuti dengan infrastruktur yang memadai, seperti infrastruktur untuk mendaur ulang sampah.

Perusahaan Didesak Gunakan Produksi Barang Tanpa Bahan Plastik

Selain itu pihak korporasi atau swasta yang memproduksi barang yang menggunakan bahan-bahan plastik juga harus didesak untuk mencari formula produksi barang tanpa bahan plastik, dengan menemukan bahan yang lebih ramah lingkungan.

Sampah plastik mengotori lautan (Foto: VOA-Steve Baragona/Videograb)
Sampah plastik mengotori lautan (Foto: VOA-Steve Baragona/Videograb)

"Dari sekian banyak perusahaan ini yang jadi fokus mereka itu sebenarnya lebih ke arah daur ulang atau recycle. Jadi mereka menganggap masalah plastik ini serius dan ingin menyelesaikannya dengan inisiatif daur ulang, sedangkan kita melihat ya tidak cukup dengan hanya daur ulang saja, karena secara global saja hanya sembilan persen sampah plastik yang bisa didaur ulang, apalagi kita di Indonesia angkanya di bawah itu. Apalagi kita untuk daur ulang masih mengandalkan sektor informal, pemulung dan sebagainya. Belum ada masuk ke sistem formal pemerintahan," jelasnya.

Jadi menurutnya, selain gerakan untuk tidak menggunakan sedotan plastik lagi, masyarakat harus melakukan sebuah gerakan yang lebih besar lagi untuk memberikan dampak yang lebih besar untuk menyelamatkan lingkungan hidup.

Dengan kebijakan pemerintah yang lebih tegas dan infrastruktur daur ulang yang ada, Atha yakin kampanye apapun – termasuk kampanye menghentikan penggunaan sedotan plastik – akan berdampak besar dalam upaya menyelamatkan lingkungan hidup. [gi/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG