Tautan-tautan Akses

Sebagian Besar Perempuan Pencari Suaka di Inggris Jadi Jatuh Miskin


Para wanita pengungsi asal Afghanistan beristirahat di tenda darurat. (Foto: VOA/Ahadian Utama)
Para wanita pengungsi asal Afghanistan beristirahat di tenda darurat. (Foto: VOA/Ahadian Utama)

Sebuah laporan aktivisyang memperjuangkan hak-hak pencari suaka di Inggris menyatakan perempuan yang melarikan diri dari persekusi dan kekerasan seksual seringkali jatuh miskin di Inggris.

Laporan dari LSM “Women for Refugee Women” mengatakan perempuan yang mencari suaka menjadi jatuh miskin di Inggris, karena tiga per empat klaim suaka mereka ditolak.

LSM itu mengkaji bagaimana perempuan yang mencari suaka bertahan hidup di Inggris setelah jatuh miskin. Laporan itu mengatakan mereka menderita kelaparan, menjadi tunawisma dan sebagian bahkan mengidap masalah kesehatan mental. Sepertiga dari perempuan yang disurvei mengatakan mereka diperkosa atau dilecehkan secara seksual di negara asal mereka, dan sebagian besar mengalami hal yang sama ketika mereka jatuh miskin di Inggris.

Priscilla Dudhia yang mengepalai kajian LSM “Women for Refugee Women” itu mengatakan perempuan yang jatuh miskin mengalami penderitaan yang berbeda dari laki-laki.

Seorang wanita mendorong kereta bayi di sepanjang jalan bertingkat semi-telantar di daerah Gresham di Middlesbrough, Inggris utara, 20 Januari 2016. (Foto: Reuters)
Seorang wanita mendorong kereta bayi di sepanjang jalan bertingkat semi-telantar di daerah Gresham di Middlesbrough, Inggris utara, 20 Januari 2016. (Foto: Reuters)

“Misalnya, prevalensi kekerasan seksual terhadap mereka yang terjebak dalam hubungan yang dipenuhi kekerasan, perjuangan yang harus dilalui perempuan untuk mengakses produk-produk kebersihan seperti pembalut dan tampon," kata Priscilla Dudhia.

"Adanya perasaan diantara para perempuan dalam jaringan kami, kemiskinan yang melilit para migran dan pengalaman spesifik para pengungsi perempuan umumnya tidak dipahami dengan baik," lanjutnya.

Christina, bukan nama sebenarnya, adalah satu diantara 16 persen perempuan yang menurut laporan LSM itu kerap dianiaya karena orientasi seks mereka. Christina yang berasal dari Kamerun, sebuah negara yang memberlakukan undang-undang yang menentang homoseksualitas, menghadapi pelecehan dan pengucilan keluarga dan masyarakat ketika orang-orang mengetahui bahwa ia seorang lesbian.

Ia datang ke Inggris sebagai mahasiswi dan ingin mendapatkan rasa aman. Setelah menyelesaikan pendidikan strata dua dalam bidang bisnis, ia mengajukan suaka politik dengan alasan menghadapi kekerasan karena orientasi seksnya di tanah airnya. Tetapi hingga sepuluh bulan, belum ada kemajuan dalam permohonan suaka yang diajukannya. Ketidak-pastian dengan statusnya membuat dirinya merasa rentan.

“Saya memiliki gelar sarjana. Saya juga memiliki gelar master. Tetapi saya tidak dapat melakukan apapun dengan gelar yang saya miliki. Ini semua membuat saya sangat stress dan akhirnya hanya menghabiskan waktu. Sepanjang hari saya tidak melakukan apapun. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Saya tidak bekerja sehingga keuangan saya sangat terbatas. Jadi saya tidak dapat pergi kemana pun. Secara fisik saya merasa lebih aman, tetapi secara mental saya merasa tidak aman," kata Christina.

Christina beberapa kali menjadi tunawisma dan berjuang untuk bertahan hidup hanya dengan tunjangan kesejahteraan bernilai 47 dolar yang didapatkannya dari pemerintah setiap minggu.

Christina tinggal di perumahan di luar kota London dan bergantung pada badan-badan amal yang memberikan uang transportasi untuk mengikuti pertemuan di ibukota, di mana ia dapat berkomunikasi dengan perempuan-perempuan pencari suaka lainnya. Kesepian kerap menjadi hal yang dialami responden penelitian ini.

Heike Langbein bekerja dengan berbagai badan amal untuk memberi nasehat pada perempuan yang mencari suaka, termasuk mereka yang permohonannya telah ditolak dan tidak punya tempat untuk kembali.

Langbein mengatakan salah satu tantangan utamanya adalah mengembalikan perempuan-perempuan miskin ini ke dalam sistem sehingga bisa mendapat akses dukungan.

“Ada kekurangan bantuan hukum yang berkualitas baik. Banyak kuasa hukum yang kewalahan dan tidak benar-benar mewakili klaim-klaim baru," kata Langbein.

"Ketika perempuan jatuh miskin dan berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ketika mereka tidak sehat dan bahkan memiliki masalah kesehatan mental atau kondisi fisik lainnya; sangat sulit bagi mereka untuk memusatkan perhatian guna mengumpulkan bukti-bukti dan mengajukan klaim baru," lanjutnya.

Penelitian ini dilakukan di empat kota di Inggris dan dua kota di Wales. Seratus enam perempuan dari 29 negara telah diwawancarai, di mana seperempat dari jumlah itu berasal dari Republik Demokratik Kongo DRC. Belum ada angka statistik yang tersedia tentang jumlah keseluruhan pencari suaka yang dililit kemiskinan di Inggris itu. [em/jm]

XS
SM
MD
LG