Tautan-tautan Akses

Satu Jam Pertama Ditangkap, Resiko Tertinggi Penyiksaan Tahanan


Riset Asosiasi untuk Pencegahan Penyiksaan (APT) menyebutkan, seseorang yang ditahan memiliki resiko tertinggi menerima penyiksaan dalam satu jam pertama setelah penangkapan. (Foto: ilustrasi).
Riset Asosiasi untuk Pencegahan Penyiksaan (APT) menyebutkan, seseorang yang ditahan memiliki resiko tertinggi menerima penyiksaan dalam satu jam pertama setelah penangkapan. (Foto: ilustrasi).

Riset yang dilakukan oleh Association for the Prevention of Torture (APT) atau Asosiasi untuk Pencegahan Penyiksaan menyebutkan, seseorang yang ditahan memiliki resiko tertinggi menerima penyiksaan dalam satu jam pertama setelah penangkapan. Pernyataan itu disampaikan oleh peneliti senior APT, Shazeera Zawawi dalam seminar internasional: Inisiatif Nasional dan Internasional dalam Pencegahan Penyiksaan, Selasa (24/11).

“APT telah melakukan penelitian di 16 negara dalam 10 tahun. Dari penelitian itu ditemukan bahwa resiko tertinggi penyiksaan adalah dalam jam pertama penangkapan oleh polisi. Penyiksaan memang bisa terjadi di penjara, tetapi resiko tertinggi adalah dalam jam pertama penangkapan oleh polisi,” kata Shazeera.

Seminar internasional ini merupakan bagian dari pertemuan tahunan ke-17, The South East Asia National Human Rights Institutions Forum (SEANF). Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK menjadi penyelenggara seminar, sekaligus dalam bingkai Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang dilakukan oleh lima lembaga tersebut.

Peneliti senior APT, Shazeera Zawawi. (Foto: VOA)
Peneliti senior APT, Shazeera Zawawi. (Foto: VOA)

Shazeera menambahkan, ada banyak upaya sudah dilakukan untuk menurunkan potensi penyiksaan terhadap tahanan. Sejak tahun 2017, bersama sejumlah pakar dan peneliti, APT telah mengembangkan apa yang disebut sebagai teknik wawancara yang efektif. Teknik ini didesain untuk menggantikan proses yang selama ini disebut sebagai investigasi kepada tahanan. Mereka terus menyempurnakan panduan yang akan berlaku bagi semua negara,dan diharapkan akan diadopsi oleh PBB setidaknya pada tahun depan.

Sebuah panduan aman juga disusun oleh APT, yang bisa diterapkan untuk mengurangi potensi penyiksaan. Beberapa hal penting yang ditekankan adalah bahwa informasi tentang hak tahanan yang semakin baik, dan jika tahanan semakin memahami hak mereka akan menurunkan potensi penyiksaan. Selain itu, konfirmasi kepada keluarga secepatnya, akses kepada pengacara dan dokter juga akan sangat mendukung upaya itu.

Seorang tahanan berisiko mengalami penyiksaan pada jam-jam pertama setelah ditangkap pihak berwenang. (Foto: ilustrasi)
Seorang tahanan berisiko mengalami penyiksaan pada jam-jam pertama setelah ditangkap pihak berwenang. (Foto: ilustrasi)

“Dalam beberapa kejadian, pemasangan kamera CCTV di kantor polisi juga sangat membantu. Saya percaya, bahwa sejumlah negara di Asia Tenggara telah menerapkan langkah ini,” tambah Shazeera yang berbicara dari kantor APT di Jenewa, Swiss.

Asia Tenggara, adalah wilayah yang cukup menarik dalam isu ini, kata Shazeera. Negara-negara di kawasan ini aktif melakukan diskusi dan kerja sama untuk menekan praktik penyiksaan. Indonesia juga dinilai APT mampu mengambil posisi terdepan, dan mengambil inisiatif dalam isu ini.

Secara khusus APT juga memberikan perhatian terkait potensi penyiksaan sebagai dampak pandemi Covid 19. Populasi penjara yang melebihi kapasitas dan petugas yang tidak terlatih dengan baik bisa menjadi faktor.

Menurut catatan APT, hingga akhir tahun 2019 ada lebih 77 juta orang ditahan di penjara, dan lebih dari 3 juta orang ditahan dalam proses hukum. Data hingga awal November 2020, ada 283.332 tahanan di 111 negara terinfeksi virus corona, dan 2.537 tahanan di 29 negara meninggal dunia akibat virus ini.

Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga. (Foto: VOA)
Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga. (Foto: VOA)

APT menyadari, penjara adalah salah satu pusat penularan Covid 19. Karena itulah, langkah sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang membebaskan ribuan tahanan di awal pandemi memperoleh dukungan. Langkah ini, secara tidak langsung mampu menekan potensi kekerasan dan penyiksaan di penjara.

Berbicara dalam seminar ini, Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga yang menguraikan berbagai langkah Indonesia mencegah tindak penyiksaan terhadap tahanan. Salah satunya adalah menjadikan tindakan ini sebagai tindak kriminal dan melawan hukum.

“Pertama, kami percaya bahwa menjadi penyiksaan sebagai tindak kriminal, adalah salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mencegah penyiksaan. Pemerintah telah memasukkan tindakan penyiksaan dalam revisi undang-undang. Prosesnya masih berjalan, karena saat ini draft undang-undangnya sedang disusun,” kata Sandra.

Satu Jam Pertama Ditangkap, Resiko Tertinggi Penyiksaan Tahanan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:28 0:00

Langkah kedua yang dilakukan, kata Sandra, adalah aktif melakukan investigasi terhadap setiap tindakan penyiksaan terhadap tahanan untuk membawa pelaku ke muka hukum. Selain itu, mereka juga meningkatkan kepedulian publik terhadap isu ini dalam berbagai cara, dan membangun kapasitas semua pihak yang terlibat.

Lembaga-lembaga yang terlibat dalam upaya pencegahan di Indonesia juga melakukan tindakan preventif, seperti melakukan kunjungan ke penjara. Kunjungan dilakukan secara resmi maupun melalui petugas yang tidak diketahui. Dari langkah ini, laporan yang berbasis pada bukti akan disusun.

Militer membantu para napi yang dibebaskan sebelum masa tahan habis untuk menghindari peningkatan kasus virus corona (COVID-19) di penjara-penjara yang kelebihan penghuni di Depok, 2 April 2020. (Foto: Antara via Reuters)
Militer membantu para napi yang dibebaskan sebelum masa tahan habis untuk menghindari peningkatan kasus virus corona (COVID-19) di penjara-penjara yang kelebihan penghuni di Depok, 2 April 2020. (Foto: Antara via Reuters)

Sandra mengakui, Indonesia sudah 12 tahun meratifikasi kesepakatan penghapusan penyiksaan terhadap tahanan, tetapi tindakan ini masih ada. Karena itulah, terus dibangun kerja sama antarkementerian, mulai dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri , hingga organisasi masyarakat sipil dan pers. Dibutuhkan kemauan politik, dialog lebih luas serta keterbukaan dan kerja sama antar organisasi pemerintah.

“Penyiksaan adalah fenomena gunung es. Ada budaya sistemik terkait penyiksaan, sehingga ini menjadi umum dilakukan. Penahanan yang terlalu lama sebelum seorang tersangka dibawa ke pengadilan juga menjadi masalah,” tambah Sandra.

KuPP telah dibangun bersama sejak 2016, namun secara efektif bekerja pada 2018. Langkah yang dilakukan terkait isu ini adalah mengembangkan koordinasi, monitoring dan aduan. Peningkatan kemampuan untuk lebih dari 75 staf lokal dan nasional khusus untuk penanganan penyiksaan juga telah dilakukan. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG