Tautan-tautan Akses

Hasil Studi: 1 dari 3 Pasien di 10 Negara Terlambat Menjalani Pengobatan HIV


ARSIP – Pham Huu Khoi, seorang pasien yang telah mengidap penyakit AIDS pada tahap lanjut, terbaring di tempat tidurnya di Mai Hoa Center for HIV and AIDS di desa An Nhon Tay, 60 kilometer baratdaya Ho Chi Minh, Vietnam (foto: AP Photo/David Guttenfelder, arsip)
ARSIP – Pham Huu Khoi, seorang pasien yang telah mengidap penyakit AIDS pada tahap lanjut, terbaring di tempat tidurnya di Mai Hoa Center for HIV and AIDS di desa An Nhon Tay, 60 kilometer baratdaya Ho Chi Minh, Vietnam (foto: AP Photo/David Guttenfelder, arsip)

Tigapuluh persen dari individu yang positif mengidap HIV di hampir selusin negara terlambat mendapatkan obat yang dapat menyelamatkan hidup mereka.

Tim peneliti internasional dalam jumlah besar telah menemukan 30 persen dari individu yang positif mengidap HIV di hampir selusin negara terlambat mendapatkan obat yang dapat menyelamatkan hidup mereka.

Sebuah studi yang dipelopori oleh the U.S. Centers for Disease Control and Prevention mengamati prevalensi HIV di Haiti, Vietnam, Nigeria, Namibia, Swaziland, Zimbabwe, Mozambique, Tanzania, Uganda dan Zambia.

Para peneliti mengkaji lebih dari 694.000 catatan perawatan dari tahun 2004 hingga 2015, dari hampir 800 fasilitas klinik, dengan menitik beratkan fokus pada pasien berusia 15 tahun atau lebih.

Pakar HIV, Andrew Auld, Direktur untuk Malawi di CDC, adalah peneliti utama di studi ini. Ia menyatakan di delapan dari negara-negara tersebut, persentase orang yang menerima perawatan dini meningkat, di Haiti, Mozambique dan Namibia meningkat 40 persen atau lebih selama periode waktu tersebut.

Namun Auld menyatakan perawatan itu masih belum menyentuk porsi signifikan dari orang yang positif mengidap HIV.

“Jadi beberapa dari hal penting masih perlu dilakukan di negara-negara ini untuk mengurangi prevalensi lebih lanjut dari peningkatan penyakit dan dimulainya perawatan HIV untuk menggencarkan strategi pengujian dan memfasilitasi diagnosis HIV di tahap awal penyakit tersebut, dan juga kebijakan perawatan yang berarti begitu pasien didiagonosa mengidap HIV, saat itu juga mereka berhak mendapatkan perawatan HIV di hari yang sama,” ujarnya.

HIV menginfeksi dan merusak sistem sel kekebalan tubuh yang dikenal sebagai sel CD-4T, sehingga tubuh perlahan-lahan kehilangan kemampuannya untuk melawan infeksi, yang pada akhirnya memiliki konsekuensi yang menyebabkan kematian pada individu yang tidak mendapatkan perawatan.

Target ambisius

UNAIDS telah menentukan target 90-90-90 dalam menanggulangi epidemi HIV.

Menjelang tahun 2020, diharapkan 90 persen dari semua orang yang mengidap HIV akan mengetahui status mereka, 90 persen akan menerima terapi antiretroviral, dan 90 persen dari mereka yang mendapatkan perawatan berhasil mengatasi penyebaran virus.

Perawatan antiretroviral dengan segera tidak hanya bermakna menghindari konflikasi yang dapat mengancam nyawa, namun Auld juga mengatakan perawatan itu mengurangi risiko penularan.

Studi lainnya, yang dipublikasikan di the New England Journal of Medicine pada tahun 2016, menemukan perawatan tersebut mengurangi risiko penularan HIV ke pasangan seksual hingga 96 persen. Risiko penularan vertikal, dari wanita hamil kepada bayi yang baru lahir, juga diminimalisir apabila sang ibu menerima pengobatan antiretroviral.

Meskipun ada kemajuan di bidang pengobatan dan perawatan orang-orang yang terinfeksi virus AIDS, artikel NEJM mencatata ada lebih dari dua juta infeksi HIV yang dilaporkan di seluruh dunia di tahun 2014.

Auld mengatakan alasan utama orang menunda hingga tahapan sakit mereka sangat parah guna mendapatkan pengobatan adalah ketidaktahuan mereka bahwa tindakan cepat meningkatkan peluang mereka untuk bertahan hidup.

Pria dengan kasus dimana penyakit sudah parah, menurut Auld, kebanyakan disebabkan oleh tuntutan pekerjaan yang menghalangi mereka untuk mendapatkan perawatan di tahap dini saat mengidap penyakit. Sedang untuk wanita, perawatan anak dan kewajiban pada keluarga sering disebut sebagai penyebabnya. Di antara anak-anak yang terinfeksi, Auld mengatakan permasalahannya adalah akses kepada pengujian dan perawatan.

“Didiagnosa HIV bukan merupakan vonis hukuman mati,” tekannya. “Perawatan HIV yang baik tersedia dan orang dapat hidup lebih lama, sehat, dan produktif apabila mereka mematuhi aturan perawatan HIV. Dan diagnosa ini akan meningkatkan perawatan baik untuk pengujian maupun perawatan.”

Studi yang dilakukan oleh Auld dan para koleganya dipublikasikan pada jurnal Morbidity and Mortality Weekly. [ww]

XS
SM
MD
LG