Tautan-tautan Akses

Salah Satu Perguruan Tinggi AS Ajarkan Seni Asal Pribumi


Lukisan George Catlin menggambarkan seorang pemain tongkat bola Choctaw bernama Tullockchisko memegang sepasang tongkat tradisional, 1834. Courtesy Smithsonian American Art Museum. (Foto: Courtesy)
Lukisan George Catlin menggambarkan seorang pemain tongkat bola Choctaw bernama Tullockchisko memegang sepasang tongkat tradisional, 1834. Courtesy Smithsonian American Art Museum. (Foto: Courtesy)

Di Santa Fe, New Mexico, sebuah perguruan tinggi yang unik mengajarkan seni dan budaya kontemporer asli Amerika selama lebih dari 55 tahun kepada mahasiswanya. Ini lah satu-satunya perguruan tinggi yang menarik baik bagi warga pribumi Amerika maupun non-pribumi dari seluruh negeri, untuk mengeksplorasi kemampuan artistik mereka sambil belajar lebih banyak mengenai beragam budaya asli di tanah air mereka.

The Institute of American Indian Arts (Institut Seni Indian Amerika) di Santa Fe, New Mexico, berdiri di tengah pemandangan gurun yang menakjubkan di barat daya Amerika.

Lukisan warna air para pengungsi Vietnam dipajang di pameran "Tiffany Chung: Vietnam, Past is Prolog" yang dibuka di Museum Seni Amerika Smithsonian dari 15 Maret hingga 22 September 2019. (Foto: VOA/Linh Dan)
Lukisan warna air para pengungsi Vietnam dipajang di pameran "Tiffany Chung: Vietnam, Past is Prolog" yang dibuka di Museum Seni Amerika Smithsonian dari 15 Maret hingga 22 September 2019. (Foto: VOA/Linh Dan)

Di kampus seluas 56 hektar ini, sekitar 500 siswa mempelajari seni dan budaya asli Amerika kontemporer.

Pimpinan Institut ini Robert Martin, anggota suku Cherokee. Ia mengatakan rata-rata sekitar 100 anggota suku Indian kuliah di perguruan tinggi ini.

"Jadi sangat beragam. Dan, tentu saja, kami juga memiliki mahasiswa non-pribumi, kami terbuka bagi semua orang, tetapi misi kami akan selalu mencerminkan perspektif pribumi atau penduduk asli. Saya kira ini aspek penting yang kami miliki di sini, rasa kebersamaan, hampir seperti keluarga," kata Robert Martin.

Daniel Yazzie Natonabah juga merasa demikian.

"Tumbuh di lingkungan pelestarian saya sepenuhnya terisolasi, saya dikelilingi oleh suku-suku asli lainnya dan seluruh perspektif saya tentang dunia hanya Navajo. Tetapi ketika saya kuliah disini saya belajar perspektif lain dari suku Yaqui, Tohono Oʼodham, Pueblos," kata Daniel Yazzie Natonabah.

Sementara seorang siswa seni, Dolores Scarlett Cortez, mengatakan ia bekerja keras untuk menghormati orang-orang yang telah membesarkannya. Selanjutnya ia mengeksplorasi asal muasalnya melalui seni grafis dan fotografi.

"Ketika tumbuh dewasa saya merasa sangat merindukan asal saya karena orang tua saya tidak pernah membicarakannya. Saya berharap bisa mengabdi pada komunitas saya untuk mendokumentasikan warga suku saya," kata Dolores Scarlett Cortez.

Perasaan untuk kembali mengabdi kepada masyarakat bukanlah hal baru di antara para mahasiswa, kata Martin.

"Jika kita bertanya kepada mahasiswa umumnya mengapa mereka melanjutkan ke universitas biasanya mereka akan menjawab, 'Saya ingin memiliki pekerjaan.' Tetapi mahasisa kami akan mengatakan mereka ingin mengabdi kepada keluarga dan komunitas ' Dan itu membuat mahasiswa kami berbeda," kata Martin.

Mahasiswa IAIA Studio Arts, Daniel Forest, menghargai perspektif unik itu.

"Saya belajar untuk berbeda; dan sangat memperhatikan. Karena budaya barat cenderung bersifat ingin menaklukkan - agresif - dan itu kita gunakan kemana saja kita pergi di dunia ini, seakan-akan itu cocok untuk kita, tetapi itu tidak berlaku disini. Jadi saya belajar untuk menelaah ulang semuanya," kata Daniel Forest.

Pasar Seni tahunan di Museum Nasional Smithsonian di Indian Amerika menampilkan kerajinan trh)adisional asli, termasuk tekstil, perhiasan, dan keranjang. (Foto: VOA / J.Tabo
Pasar Seni tahunan di Museum Nasional Smithsonian di Indian Amerika menampilkan kerajinan trh)adisional asli, termasuk tekstil, perhiasan, dan keranjang. (Foto: VOA / J.Tabo

Banyak lulusan perguruan tinggi ini kembali mengajar di sana bertahun-tahun kemudian. Anthony Deiter, yang lulus 25 tahun yang lalu, mengajarkan konsep baru dalam pembuatan film; kubah digital tempat pemirsa menonton gambar bergerak pada layar bulat dan bukannya layar datar. Teknologi baru ini sangat cocok mengingat latar belakang asalnya. Anthony adalah profesor virtual, game, dan simulasi IAIA.

"Kami adalah budaya asli, dan kami tidak linear, kami bulat. Dan tiba-tiba ada media yang benar-benar berbaur dengan kami untuk menceritakan kisah-kisah kami di babak itu," kata Deiter.

Yang dikatakan Deiter secara teknologi dan budaya menjadi keseimbangan yang sempurna.

"Saya rasa mereka memperkirakan sejak lahirnya Hollywood, 4000 film telah melibatkan penduduk pribumi Amerika. Tantangan saya terhadap industri adalah ini, baiklah kami telah mendengar apa yang Anda katakan mengenai kami, sekarang Anda akan mendengar apa yang harus kami ungkapkan mengenai kami," kata Deiter.

Para mahasiswa mengekspresikan pendapat mereka dengan lantang dan jelas, di kampus, di museum sekolah, dan di seluruh dunia. [my/jm]

XS
SM
MD
LG