Tautan-tautan Akses

Ritual Berujung Kematian, Masyarakat Diminta Lebih Rasional


Polisi menggelar rekonstruksi insiden yang menewaskan sepuluh orang ketika menjalankan sebuah ritual di Pantai Payangan, Jember, Jawa Timur, 13 Februari 2022. (Foto: Sebastian Revan Junardi/AFP)
Polisi menggelar rekonstruksi insiden yang menewaskan sepuluh orang ketika menjalankan sebuah ritual di Pantai Payangan, Jember, Jawa Timur, 13 Februari 2022. (Foto: Sebastian Revan Junardi/AFP)

Sebelas orang tewas terseret ombak saat melakukan ritual di Pantai Payangan, Jember, Jawa Timur pekan lalu. Ritual semacam itu kerap dilakukan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia. Namun, tujuan dan keselamatan seharusnya menjadi perhatian agar terhindar dari bahaya.

Peristiwa tewasnya 11 orang saat menjalani ritual di pantai Payangan, Jember, Jawa Timur, memunculkan keprihatinan. Ritual mandi di pantai selatan Jember ini dilakukan oleh kelompok Padepokan Tunggal Jati Nusantara, yang bergerak di bidang pengobatan alternatif.

Naen Soeryono, Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), mengatakan ada banyak kelompok dengan beragam aliran kepercayaan maupun ritual yang dilakukan, sebagai bagian dari keberagaman yang ada di Indonesia. Menurut Naen, tidak ada yang salah dengan ritual yang bertujuan melestarikan budaya leluhur, tetapi perlu tetap memperhatikan norma dan peraturan yang ada di masyarakat dalam menjalankan ritualnya.

“Seluruh Indonesia laku-laku (ritual) begini banyak, luar Jawa pun banyak, karena itu memang budayanya leluhur kita. Cuma saya herannya kok sampai diingatkan terus tidak mencari waktu, moment yang tepat,” kata Naen Soeryono.

Naen mengatakan peristiwa yang menewaskan 11 orang saat dilakukan ritual mandi di pantai Jember itu telah mengabaikan peringatan dan keselamatan peserta ritual.

“Kapan hari kami juga ke Merapi, misalnya. Ketika ada itu (awan panas) ya, kalau tanda-tanda alamnya seperti itu ya kita tidak boleh menantang, tidak boleh takabur yang penting. Tapi biasanya, sebelumnya harus dihubungkan dulu kita dengan sana, dengan alam, karena ada tanda-tanda khusus biasanya, kalau misalnya sana memberikan jawaban, kulo nuwun (permisi), di sana mangga (silakan), ya kita berangkat,” lanjut Naen.

Seharusnya ritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, kata Naen, harus jauh dari keinginan menentang alam maupun menonjolkan kekuatan diri.

Sejumlah anggota SAR mengevakuasi jenazah anggota kelompok masyarakat yang tewas terseret ombak saat melakukan ritual di Pantai Payangan, Jember, Jawa Timur, 13 Februari 2022. (Foto: Sebastian Revan Junardi/AFP)
Sejumlah anggota SAR mengevakuasi jenazah anggota kelompok masyarakat yang tewas terseret ombak saat melakukan ritual di Pantai Payangan, Jember, Jawa Timur, 13 Februari 2022. (Foto: Sebastian Revan Junardi/AFP)

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo, Madura, Surokim Abdussalam, menyebut lahirnya ritual-ritual tertentu dalam suatu komunitas merupakan bagian dari keyakinan yang dibawa oleh pemimpin komunitas, dengan berbagai maksud dan tujuan. Surokim mengatakan, perlu menggali lebih dalam motif dari ritual yang terjadi di Jember, yang menewaskan 11 orang saat ritual mandi di pantai, sebagai antisipasi kejadian serupa terjadi di tempat berbeda.

“Bagi komunitas-komunitas tertentu, hal-hal seperti itu bagian dari keyakinan pemimpinnya, dan tentu kita harus juga bertanya, sebenarnya ritual seperti itu oleh mereka diyakini sebagai apa. Sepanjang yang saya tahu di dalam konteks, hal-hal seperti itu ada kaitannya dengan keberanian, atau mungkin dalam konteks membuang nasib jelek, atau apa, bisa terjadi hal-hal seperti itu,” papar Surokim.

Ritual yang berkaitan dengan olah kanuragan (kesaktian), maupun mencari kesembuhan, menurut Surokim, seringkali dianggap tidak rasional karena dilakukan dengan cara-cara yang tidak dapat dipahami oleh pikiran, dan cenderung membahayakan nyawa orang yang melakukan ritual.

Surokim mengatakan, masyarakat yang mengikuti berbagai kelompok yang melakukan ritual perlu menyadari ada tidaknya prinsip kebaikan dalam ritual itu, serta keselamatan diri saat melakukannya. Kesadaran ini penting, kata Surokim, sebagai preventif bagi nalar masyarakat terhadap suatu keyakinan yang muncul dalam sebuah komunitas.

“Pemahaman tentang kebaikan tadi, dan yang kedua tentang keselamatan diri. Dengan demikian, keyakinan-keyakinan yang muncul, dan diikuti di dalam sebuah komunitas tertentu harus dibalut oleh pertimbangan-pertimbangan dua hal tadi itu, dengan demikian bukan keyakinan yang membabi buta, tetapi adalah keyakinan yang juga memiliki nalar yang preventif,” tandas Surokim. [pr/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG