Tautan-tautan Akses

Ribuan Pengungsi di Indonesia Sulit Akses Fasilitas Umum Karena Tak Punya Bukti Vaksinasi


Ratusan etnis Muslim-Rohingya yang terdampar di perairan Aceh, Minggu, 6 Maret 2022. (Courtesy: Panglima Laot Bireuen)
Ratusan etnis Muslim-Rohingya yang terdampar di perairan Aceh, Minggu, 6 Maret 2022. (Courtesy: Panglima Laot Bireuen)

Ribuan pengungsi di Indonesia tidak dapat mengakses layanan publik, termasuk perjalanan dan belanja, karena kesalahan birokrasi yang menghalangi mereka untuk membuktikan bahwa mereka telah divaksinasi COVID-19.

Indonesia merupakan negara transit bagi 13.175 pengungsi, lebih dari separuhnya berasal dari Afghanistan. Berbeda dengan beberapa negara lain yang menampung pengungsi di kamp-kamp, para pengungsi di Indonesia bisa bebas berkeliaran dan menggunakan fasilitas umum. Sebagian besar dari mereka tinggal di sekitar wilayah metropolitan Jakarta.

Pada tahun 2020, Indonesia meluncurkan “Peduli Lindungi,” aplikasi pelacakan kontak digital COVID-19 yang memberi warga yang telah divaksinasi akses ke fasilitas umum dan angkutan massal.

Program ini, bagaimanapun, mengharuskan orang untuk mengunggah Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terdiri dari 16 angka, yang dikeluarkan pemerintah sebelum mereka divaksinasi. Hanya warga negara, penduduk tetap, dan orang asing dengan visa kerja yang memiliki nomor tersebut. Para pengungsi yang lebih dari 56 persen di antara mereka telah divaksinasi, tidak memiliki nomor itu.

Badan Urusan Pengungsi PBB, UNHCR, dengan dukungan perusahaan farmasi milik negara Bio Farma mengembangkan sistem untuk menghasilkan nomor registrasi yang berbeda untuk memungkinkan pengungsi mendaftar di aplikasi itu. Namun, Dinas Kesehatan Jakarta, yang mengawasi penanganan COVID, tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan nomor-nomor itu. Masalah ini sekarang sedang dibahas di antara Kementerian Kesehatan dan Luar Negeri dan UNHCR.

Oleh karena itu, para pengungsi yang telah divaksinasi di klinik-klinik kesehatan setempat tidak menerima sertifikat vaksin elektronik yang dapat diunggah ke aplikasi Peduli Lindungi. Mereka juga tidak memiliki bukti vaksinasi selain surat tulisan tangan dari dokter atau petugas kesehatan.

Pengungsi Somalia Ahmed Sheikh menggambarkan masalah yang dihadapinya ketika dihentikan oleh petugas keamanan yang meminta bukti vaksinasi di fasilitas transportasi umum atau pusat perbelanjaan. “Ketika kami menunjukkan kepada mereka tulisan tangan yang dikeluarkan oleh petugas kesehatan di puskesmas, mereka tidak percaya. …. Sulit untuk menjelaskan kepada mereka karena mereka tidak berbicara bahasa Inggris juga,” katanya kepada VOA.

Dr. Ngabila Salama, kepala Dinas Kesehatan Jakarta mengakui adanya kendala administratif terkait masalah itu. Ia mengatakan kepada VOA bahwa badan yang dipimpinnya menghadapi ketidakpastian hukum dan tidak memiliki kewenangan hukum untuk mengeluarkan nomor catatan sipil yang dapat digunakan untuk regristasi.

“Kita harus bertanggung jawab untuk setiap vaksin yang kita berikan. Sayang sekali jika kita tidak bisa mendaftarkan semua penerima vaksin ke dalam aplikasi Peduli Lindungi. Bayangkan jika kita memberikan lebih dari 5.000 vaksin kepada pengungsi yang tidak terdaftar di aplikasi Peduli Lindungi. Bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkan setiap vaksin, padahal kita harus menjalani audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan? Mereka mungkin berpikir kita menyia-nyiakan banyak vaksin,” katanya.

Beberapa pengungsi sedang mempertimbangkan untuk menunda menjalani vaksinasi pertama atau dosis kedua sampai masalah administrasi ini terpecahkan.

Meskipun sudah divaksinasi, Syekh ragu untuk mengizinkan istrinya segera divaksinasi, mengingat situasinya. “Saya kira saya tidak akan membawa istri saya ke Puskesmas untuk divaksinasi. Pasalnya, setelah mereka memberinya vaksin, mereka tidak akan mengaktifkan aplikasi Peduli Lindungi untuknya dan tidak dapat memberinya sertifikat vaksin elektronik yang dibutuhkan. Saya tidak ingin ia divaksin jika kita tidak bisa mendapatkan sertifikat vaksin elektronik. Itulah yang diinginkan semua pengungsi,” jelasnya.

UNHCR dan LSM-LSM mencoba menyoroti masalah ini.

Zico Pestalozzi, koordinator kampanye dan advokasi Suaka, sebuah LSM yang menangani masalah pengungsi, mengatakan “Satuan Tugas Pengungsi di bawah Kementerian Politik, Keamanan, dan Hukum harus berkoordinasi lebih baik dengan para pemangku kepentingan terkait dan memastikan akses inklusif ke Aplikasi Peduli Lindungi.”

“UNHCR dan LSM adalah lembaga non-pemerintah, jadi terserah pemerintah untuk mengambil alih masalah ini dan tidak hanya mengalihkan tanggung jawab kembali ke UNHCR,” katanya.

Dicky Budiman, seorang ahli epidemiologi Indonesia di Griffith University di Australia memperingatkan bahwa “Jika kita tidak melindungi populasi yang rentan ini dengan cukup cepat, kita kemungkinan menyimpan 'kantong infeksi'. Ini akan menjadi masalah besar karena kemudian bisa menghasilkan varian baru atau setidaknya klaster baru di antara komunitas pengungsi.” [ab/ka]

Recommended

XS
SM
MD
LG