Tautan-tautan Akses

Reformasi: Musuh Bangsa Sekarang Politik Identitas


Diskusi Refleksi 21 Tahun Reformasi di Yogyakarta. (foto: VOA/Nurhadi)
Diskusi Refleksi 21 Tahun Reformasi di Yogyakarta. (foto: VOA/Nurhadi)

Tanggal 20 Mei 1998 menjadi saat yang kritis dalam sejarah bangsa Indonesia. Gerakan demonstrasi memuncak, dan memaksa Soeharto turun sehari kemudian. Kini, Indonesia sebagai bangsa menghadapi musuh yang berbeda, yaitu politik identitas.

Sejarah mencatat, setidaknya ada sejuta orang berkumpul di kota Yogyakarta pada 20 Mei 1998. Ketika Jakarta terbakar, dan sejumlah kota lain dilanda kerusuhan, aksi massa besar di Yogya itu justru berjalan damai. Rakyat yang digerakkan mahasiswa bergerak dari berbagai titik kumpul menuju ke Alun-Alun Utara yang merupakan halaman depan Kraton, rumah raja Yogya, Sri Sultan Hamengkubuwono X.

“Dan memang, sungguh kita sedang berada di ujung jalan, atau di permulaan jalan baru yang mungkin saja masih panjang, di mana dituntut peran segenap rakyat guna mengantar bangsa ini ke gerbang cita-cita,” kata Sultan dalam pidatonya ketika itu.

Sehari kemudian Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden.

Perubahan Orientasi Gerakan Sipil

Sejumlah aktivis ‘98 di Yogyakarta, Senin (20/5) petang berkumpul mengenang kembali tahun-tahun penuh perjuangan itu. Puluhan mahasiswa datang menyimak. Supriyanto Antok, dari Rumah Perjuangan Rode 610 mencoba memahamkan kepada anak milenial itu, bahwa apa yang mereka hadapi saat ini berbeda dengan masa Orde Baru.

Kraton Yogyakarta, salah satu saksi bisu gerakan reformasi (foto: VOA/Nurhadi).
Kraton Yogyakarta, salah satu saksi bisu gerakan reformasi (foto: VOA/Nurhadi).

“Kalau dulu, jangankan baca buku-buku kiri. Baca novelnya Pram, yang Bumi Manusia saja, Isti, Bambang Subono dan Coki divonis penjara 8 tahun. Sekarang, buku yang sama, diangkat ke film dengan pemeran anak milenial. Ini kan ironi. Dulu baca saja ditahan,” kata Antok.

Tiga aktivis yang disebut Antok itu adalah Isti Nugroho, Bambang Subono dan Bonar Tigor Naipospos (Coki). Rode adalah sebuah gang di Yogya dan 610 merupakan nomor rumah tempat para aktivis era 80-an dan 90-an berkumpul. Saat ini, Antok dan sebagian mantan aktivis Rode menjadi pendukung Jokowi.

Meski mendukung Jokowi, kata Antok, Rode tetaplah gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang kritis. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatan mereka dalam penolakan atas kekerasan yang terjadi selama proses pembebasan tanah untuk pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo. Rode membela petani yang tidak mau menyerahkan tanahnya kepada pemerintah.

Susilo Bambang Yudhoyono, mantan presiden 2004-2014 adalah salah satu pejabat militer yang pernah bertugas di Yogyakarta. SBY, panggilan akrabnya, menjabat sebagai Komandan Korem Pamungkas pada 1995. Dalam posisi itu, dia sangat dekat dengan sejumlah aktivis mahasiswa. Andi Arif, yang kini bernaung di Demokrat, adalah mantan aktivis yang pernah berada di bawah radar SBY selama di Yogyakarta.

“Mereka (mahasiswa) siang hari melakukan unjuk rasa menginginkan perubahan. Malam hari saya ajak dialog. Saya tidak bisa mengekang kebebasan mereka berekspresi. Alhasil waktu itu Yogyakarta boleh dikatakan tetap dinamis, tetapi tidak ada kekerasan apapun di kota ini,” kenang SBY ketika berkunjung kembali ke Yogyakarta pada 8 April 2018 lalu seperti dikutip sejumlah media.

Selain Andi Arif, aktivis ’98 yang kemudian merapat ke SBY adalah Heri Sebayang. Ketika mahasiswa, dia adalah Ketua Senat Universitas Janabadra. Salah satu kampus nasionalis yang penuh aktivis ketika itu.

Dalam obrolan Senin petang, Heri Sebayang mengakui, perubahan rezim membuat gerakan mahasiswa ’98 tidak dapat begitu saja diduplikasi saat ini.

“Yang dihadapi berbeda, jadi yang diperjuangkannya juga beda. Kalau dulu proses demokratisasi memang represif, jaman Soeharto. Jaman sekarang, yang perlu kita lakukan atau kita lawan beda. Misalnya ada kesenjangan sosial, penegakan hukum. Itu saja sebenarnya, yang lain tidak ada. Masih harus ada perjuangan itu karena masih kita lihat di depan mata, ketidakadilan itu masih ada,” kata Heri yang kini menjabat Ketua DPD Partai Demokrat DIY.

Diskusi Refleksi 21 Tahun Reformasi di Yogyakarta. (foto: VOA/Nurhadi)
Diskusi Refleksi 21 Tahun Reformasi di Yogyakarta. (foto: VOA/Nurhadi)

Membaca Indonesia yang Bhinneka

Selain berpolitik praktis, ada juga mantan aktivis ’98 yang memilih berjuang di kampus. Arie Sujito, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM Yogyakarta adalah salah satunya.

Dalam penilaiannya,gerakan ‘98 adalah gagasan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan anti otoritarianisme. Membandingkan era Soehato dengan saat ini, tentu ada banyak perbaikan. Arie mengambil contoh soal sistsem multipartai. Namun, lanjutnya, dikaitkan dengan harapan yang dulu ada, apa yang dicapai belum sesuai.

“Partai yang kita bayangkan sebagai pilar demokrasi belum menggambarkan itu. Kolusi, korupsi juga masih banyak. Itu pekerjaan rumah kita. Pemerintah yang bersih itu cita-cita kita. Selain itu, isu keadilan dan pemerataan,” kata Arie.

Jokowi sudah melakukan banyak hal, lanjut Arie, namun ada bahaya yang mengancam Indonesia saat ini, yaitubenturan politik identitas dan reproduksi agama. Kedua hal itu menjadi lawan serius bangsa Indonesia.

“Tumbuhnya gerakan Islam di Indonesia harus diorientasikan untuk membaca ke-Indonesia-an dalam multikultural itu. Jangan sampai terjadi menebalnya sentimen identitas. Ini sumbernya pada politik kita yang tidak solutif. Kalau politik kita demokratis, benturan seperti ini bisa dikelola. Karena itu saya usul, demokrasi kita itu bobotnya ke depan, harus lebih membenahi civil society,” ujar Arie.

Pengamat politik ini meyakini, fundamentalisme dan sektarianisme di Indonesia menguat karena nasionalisme tidak tumbuh dengan baik. Tantangan bagi gerakan mahasiswa ke depan, adalah tidak terjebak dalam kotak-kotak. Para pendiri bangsa, seperti dulu Soekarno, Hatta dan Syahrir bisa bersatu karena melawan imperialisme.

“Indonesia sekarang melawan apa? Melawan kemiskinan, melawan ketidakadilan. Bukan melawan orang yang berbeda identitas. Tempatkan agama pada porsinya. Jangan campur aduk dengan urusan politik. Ini bisa dilakukan jika demokrasi kita membaik, dan itu artinya masyarakat sipil harus diperkuat,” tambah Arie.

Arie mengingatkan peran elit terkait gejala politik identitas ini. Masyarakat di bawah sebenarnya mampu hidup dalam toleransi yang lebih baik. Para elit, untuk kepentingan mereka sendiri, justru membawa rakyat ke dalam pemisahan semacam itu. (ns/em)

Recommended

XS
SM
MD
LG