Tautan-tautan Akses

Rapid Test Jadi Komersial, Perlukah Dihentikan?


Staf medis mengambil sampel uji cepat dari vendor di pasar tradisional untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Semarang, Provinsi Jawa Tengah, 22 Mei 2020. (Foto: Antara via Reuters)
Staf medis mengambil sampel uji cepat dari vendor di pasar tradisional untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Semarang, Provinsi Jawa Tengah, 22 Mei 2020. (Foto: Antara via Reuters)

Lembaga negara pengawas pelayanan publik, Ombudsman, mengendus upaya komersialisasi alat tes cepat Covid-19. Pakar wabah pun mendesak pemerintah menghentikan tes cepat, dan fokus pada tes PCR.

Wakil Ketua Ombudsman RI, Lely Pelitasari, mengatakan upaya komersialisasi itu terlihat dari semakin banyaknya pihak yang mensyaratkan rapid test. Di sisi lain, tidak ada standar yang mengatur tes cepat dan biayanya.

"Belakangan kemudian disyaratkan bagi mereka yang akan naik pesawat. Bahkan terakhir informasinya—kami masih harus konfirmasi— di Jawa Timur, disyaratkan untuk mereka yang akan ujian, anak-anak disyaratkan untuk rapid test,” ungkapnya dalam sebuah diskusi, Sabtu (4/7) pagi.

Tangkapan layar Wakil Ketua Ombudsman RI, Lely Pelitasari Soebekty dalam diskusi Sabtu (4/7) pagi. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)
Tangkapan layar Wakil Ketua Ombudsman RI, Lely Pelitasari Soebekty dalam diskusi Sabtu (4/7) pagi. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

Bahkan, Lely menyebut, sejumlah rumah sakit di Jakarta mensyaratkan rapid test bagi penunggu pasien.

"Saya dua minggu yang lalu menjadi penunggu pasien, dan itu salah satu persyaratannya harus lulus rapid test dan rontgen paru," tambahnya yang sempat menjadi pasien Covid-19 dan kini telah sembuh.

Karena itu, dia menegaskan, perlu ada standarisasi layanan, biaya, regulasi, dan standar prosedur operasi (standard operating procedure/SOP). Dia mendesak pemerintah turun tangan dan tidak menyerahkan rapid test ke mekanisme pasar.

"Ini kan kaitannya dengan kepentingan umum, pemerintah atau negara harus intervensi. Apa lagi ini kondisinya extraordinary," tegasnya.

Ahli Wabah Minta Fokus pada PCR

Sementara itu pakar wabah dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, PhD, melihat ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kecemasan publik. Akhirnya, rapid test pun menjadi sesuatu yang diperjualbelikan.

Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, PhD, dalam diskusi Sabtu (4/7) pagi.
Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, PhD, dalam diskusi Sabtu (4/7) pagi.

"Saya nggak tahu siapa yang memetik keuntungan dari masalah ini. Dan harus ada tindakan tegas untuk menghentikan semua ini,” tegasnya dalam kesempatan yang sama.

Pandu menjelaskan, tes cepat tidaklah akurat. Sebab tes cepat tidak benar benar mendeteksi keberadaan virus melainkan mendeteksi antibodi.

"Yang dites itu antibodi, respon tubuh terhadap adanya virus. Itu baru terbentuk seminggu atau 10 hari setelah terinfeksi. Jadi kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berarti juga bisa infeksius, paparnya.

Para petugas medis mengambil sampel darah dalam lantatur tes cepat di tengah wabah virus corona (COVID-19) di Bandung, Jawa Barat, 4 April 2020. (Foto: Antara via Reuters)
Para petugas medis mengambil sampel darah dalam lantatur tes cepat di tengah wabah virus corona (COVID-19) di Bandung, Jawa Barat, 4 April 2020. (Foto: Antara via Reuters)

Selain itu, tambah Pandu, di Indonesia sekarang beredar 100 jenis tes cepat yang tidak pernah diuji tingkat akurasinya. Karena itu dia mendesak pemerintah segera menghentikan tes cepat dan fokus pada tes PCR (polymerase chain reaction).

"Kalau enggak (dihentikan), publik rugi. Atau banyak uang negara yang harusnya bisa meningkatkan kapasitas testing PCR akhirnya untuk membeli rapid test, tambahnya.

Rapid Test Jadi Komersial, Perlukah Dihentikan?
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:30 0:00

Puji Daerah yang Tingkatkan PCR

Sementara itu, Pandu mengatakan ada sejumlah wilayah yang patut diberi pujian karena meningkatkan kapasitas tes PCR-nya. Daerah ini adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat.

"Karena dalam jangka panjang--pandemi ini panjang--kita butuh surveilans yang masif. Surveilansnya apa? Testing, lacak, isolasi," imbuhnya.

Pemprov DKI Jakarta mengumumkan, sampai 28 Juni kemarin telah melakukan tes PCR terhadap 296.360 sampel. DKI Jakarta meningkatkan kapasitas tes lewat jejaring laboratorium yang kini mencapai 41 lokasi.

Pemprov Jabar melakukan tes cepat di Stasiun Bojonggede, Kecamatan Bojonggede, Kota Bogor, Jumat (26/6). Ombudsman menduga, tanpa standarisasi yang jelas, tes cepat telah dikomersilkan oleh sejumlah pihak. (Foto: Courtesy/Humas Jabar)
Pemprov Jabar melakukan tes cepat di Stasiun Bojonggede, Kecamatan Bojonggede, Kota Bogor, Jumat (26/6). Ombudsman menduga, tanpa standarisasi yang jelas, tes cepat telah dikomersilkan oleh sejumlah pihak. (Foto: Courtesy/Humas Jabar)

Sementara Pemprov Jabar mencatat telah mengetes 78.108 orang dengan metode PCR. Pemprov Jabar mengatakan saat ini masih memiliki stok 70 ribu test kit PCR. Dalam waktu dekat Pemprov akan membeli 150 ribu test kit PCR sebagian impor sebagian buatan dalam negeri.

Di sisi lain, Lely dari Ombudsman mengapresiasi inisiatif daerah yang meningkatkan kapasitas PCR, seperti dilakukan Sumatera Barat.

"Skema inisiatif dari daerah. Contoh bagaimana kawan-kawan di Universitas Andalas di Sumbar, membuat inisiatif membuat alat (PCR) sendiri," tutupnya. [rt/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG