Tautan-tautan Akses

Ranjau Kian Jarang Digunakan, Tapi Terus Timbulkan Korban


Asap mengepul akibat ledakan ranjau darat saat pejuang Pasukan Demokratik Suriah membersihkan jalan setelah pembebasan Raqqa, Suriah, 18 Oktober 2017. (Foto: dok)
Asap mengepul akibat ledakan ranjau darat saat pejuang Pasukan Demokratik Suriah membersihkan jalan setelah pembebasan Raqqa, Suriah, 18 Oktober 2017. (Foto: dok)

Kampanye Internasional untuk Melarang Ranjau Darat (ICBL) menyatakan penggunaan baru ranjau darat “luar biasa jarang” tetapi pertempuran di Afghanistan, Libya, Ukraina dan Yaman telah menjadikan ini tahun kedua berturut-turut di mana ranjau menyebabkan korban dalam jumlah besar.

ICBL menyatakan dalam laporan tahunannya, Kamis, bahwa ada 8.605 korban, 2.089 di antaranya tewas, akibat ranjau dalam tahun 2016. Ini mencakup bom rakitan dan persenjataan bukan bom yang diaktifkan seperti ranjau.

Di antara para korban, 78 persennya adalah warga sipil. Para korban mencakup jumlah korban anak-anak terbanyak selama ini. Serangan ranjau ini terjadi di 52 negara.

Loren Persi, editor mengenai korban dan bantuan bagi para korban di Landmine Monitor mengemukakan, beberapa konflik yang intens, yang sama sekali mengabaikan keselamatan warga sipil, telah menyebabkan korban ranjau dalam jumlah sangat banyak untuk tahun kedua berturut-turut. Ini, ujarnya, menunjukkan perlunya bagi semua negara untuk bergabung dengan Perjanjian Pelarangan Ranjau dan untuk meningkatkan bantuan bagi para korban ranjau.

Berdasarkan perjanjian internasional tahun 1999 itu, negara-negara sepakat untuk tidak menggunakan atau memproduksi ranjau darat antipersonel, menghancurkan cadangan ranjau yang masih ada, memberikan bantuan untuk para korban, dan membersihkan ranjau di wilayah mereka dalam waktu 10 tahun setelah bergabung dengan perjanjian itu.

Hari Rabu, ICBL menerima Sri Lanka sebagai negara ke-163 yang patuh sepenuhnya pada perjanjian itu dan menyatakan berharap negara-negara lain di kawasan akan bergabung dengan perjanjian tersebut.

Laporan hari Kamis ini menyebutkan Myanmar dan Suriah adalah dua negara yang pasukannya aktif menanam ranjau selama tahun lalu. Kedua negara itu tidak bergabung dalam perjanjian pelarangan ranjau.

Laporan itu juga menyebutkan 61 negara dan daerah terkontaminasi oleh ranjau hingga November tahun lalu. Dan meskipun 33 di antaranya bergabung dengan perjanjian pelarangan ranjau, hanya Chili, Mauritania, Peru dan Republik Demokratik Kongo yang diperkirakan akan memenuhi tenggat untuk membersihkan ranjau di wilayah mereka. [uh/ab]

XS
SM
MD
LG